Koran Sulindo – Entah direncanakan dengan rapi atau cuma kebetulan, kunjungan Presiden Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger itu seperti benar-benar menjadi isyarat. Begitu mereka meninggalkan Indonesia, Presiden Soeharto segera meneken penyerbuan ke Timor Timur.

Serangan bersandi ‘Seroja’ itu dibuka dengan operasi lintas udara pada dini hari 7 Desember 1975.  Unit-unit dari Komando Pasukan Sandi Yudha diterjunkan dengan parasut di kawasan dermaga pelabuhan dan pantai Dili dengan dukungan serangan udara.

Selain pasukan elit itu, ABRI juga mengerahkan unit-unit pasukan dari Kodam Brawijaya, Diponegoro dan Siliwangi dengan jumlah totalnya mencapai 10.000 personel. Gerak maju pasukan ini didukung 19 kapal perang yang mendarat di Pelabuhan Dili yang diperkuat tank ampibi dan juga helikopter.

Selain kekuatan darat dan laut, ABRI pergerakan pasukan juga didukung dua pembom B-26, dua buah  AC-47 Gunship serta satu skuadron angkut dari Skuadron-31 dengan 10 pesawat C-130 dari Lanud Iswahyudi, Madiun. Rencana operasi adalah menggabungkan operasi lintas udara dengan pasukan pendarat untuk melingkari dan mengepung Dili.

Garis besarnya adalah, ABRI akan merebut kota Dili dengan penerjunan tiga sortie pasukan lintas udara. Sortie pertama yang mengincar Dili, ABRI menerjunkan Grup-1 Kopassandha dan Linud 501. Sortie kedua, akan diterbangkan Batalyon 502 dan Denpur-1 Kopassanda dari Lanud Penfui di Kupang untuk menduduki Komoro. Sortie ketiga juga direncanakan dari Kupang.

Terlihat gagah di atas kertas, pada kenyataannya operasi di Timor Timur itu tak sesukses kelihatannya.

Jauh-jauh hari H serangan, sebuah rencana kontigensi disusun Mabes ABRI jika sewaktu-waktu Indonesia harus mengerahkan pasukan ke Timor Timur atas ‘permintaan’ rakyat.

Wilayah Timor Timur mulai bergolak menyusul Revolusi Bunga di negara induk Portugal yang memicu jatuhnya rezim Salazar dan digagasnya politik dekolonialisasi atas semua wilayah jajahan. Di tingkat lokal, proses politik tersebut memicu perpecahan politik dan persaingan antara faksi-faksi yang berseberangan.

Ada tiga pilihan bagi rakyat Timor kala itu; bergabung dengan persemakmuran yang digagas Portugis, meminta kemerdekaan penuh atau bergabung dengan Indonesia.

Khawatir dengan perkembangan di Timor Timur, Gubernur Lemos Pires mengirim permintaan tambahan bala bantuan kepada Lisbon untuk meredakan perang saudara. Ketika permintaan itu tak digubris, Lemos memerintahkan evakuasi tentara Portugal ke Pulau Kambing.

Sebuah laporan PBB menyebut kekosongan pemerintahan di Timor Leste itu berlangsung selama tiga bulan sejak September hingga November. Lowongnya kekuasaan itu dimanfaatkan Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente (Fretelin) untuk menurunkan bendera Portugal sekaligus mendeklarasikan Republik Demokratik Timor Leste yang berhaluan kiri pada tanggal 28 November 1975.

Proklamasi itu ditentang empat partai lain yakni Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti), Uniao Democratica de Timorense (UDT), Klibur Oan Timor Aswain(KOTA), dan Trabalista. Mereka pada tanggal 30 November 1975 menggelar Proklamasi Balibo dan mengumumkan integrasi dengan Indonesia.

Di Indonesia, hampir semua pejabat sipil dan militer dengan suara bulat sepakat, satu-satunya penyelesaian masalah di bekas jajahan Portugal itu adalah intervensi militer ke Timor Timur. Satu-satunya yang masih menjadi ganjalan hanya soal kapan waktu operasi digelar. Rupanya, Presiden Soeharto dan Menhankam/Pangab Jenderal M Panggabean masih ‘menunggu’ persetujuan AS.

Operasi Diam-diam

Sejauh itu militer Indonesia diam-diam sudah mengirimkan tim-tim sukarelawan ke pedalaman Timor Timur sejak kuartal ketiga tahun 1974. Militer telah membentuk operasi intelijen yang luas di wilayah itu dengan sandi Operasi Komodo.

Operasi ini bertujuan membentuk jaringan kecil agen lintas batas sekaligus memberi pelatihan militer kepada ratusan pemuda yang dikirim oleh pemimpin Apodeti. Beberapa perwira menengah yang dikirim untuk operasi ini di antaranya Mayor Tarub, Yusman Yutam, Yunus Yosfiah dan Sofian Effendi. Mereka dipimpin oleh Kolonel Dading Kalbuadi.

Kolonel Fading Kalbuadi
Kolonel Fading Kalbuadi

Di bawah kewenangan Operasi Intelijen Khusus (Opsus) Ali Moertopo, Operasi Komodo belakangan diubah strateginya melalui pendekatan sosio-politik menjadi opersasi militer-sipil dengan Sandi Operasi Flamboyan yang dikoordinasikan Dephankam.

Mengikuti laporan tim di lapangan, para perancang perang di Mabes ABRI akhirnya menghasilkan seri rencana mutakhir antara lain operasi keamanan dan penguatan perbatasan. Markas Komando Tugas Gabungan didirikan di Motaain yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari garis perbatasan.

Mabes ABRI juga sudah menunjuk panglima operasi yakni Mayjen Soeweno dan wakilnya Laksma Kasenda. Cikal bakal staf juga sudah siap dan diperintahkan menanggalkan pakaian dinas dan identitas ABRI.

Ketika Operasi Seroja benar-benar dilaksanakan pasukan penyerbu itu kalah siap dengan Fretelin yang memang sudah bersiaga menghadapi masuknya ABRI. Dalam buku ‘Bukan Puntung Rokok’ Letjen Soeyono menulis akibat kurangnya latihan dan penguasaan medan lebih dari 2.000 personel tewas dalam 4 bulan pertama tahun 1976.

Soeyono melihat ada ketidaksiapan sumber daya manusia dan peralatan militer untuk sebuah operasi skala besar di balik kemampuan positif yang dimiliki, yakni semangat tugas yang tinggi. Banyak alat-alat tempur dan pendukungnya yang tidak efesien.

Dalam operasi lintas udara misalnya, bagaimana menerjunkan dua brigade pasukan dalam satu hari sementara pada kenyataannya Skuadron-51 yang memiliki sembilan pesawat terganggu operasinya setelah empat pesawat tertembak dan tidak bisa dioperasikan. Pembatalan sortie-3 Brigif 18/Linud Kostrad dari Lanud Penfui mengakibatkan sebagian pasukan gagal diterjunkan.

Dalam sebuah kasus, pasukan payung yang berniat mengunci gerakan mundur Fretelin dengan terjun di belakang mereka, malah mendarat tepat di atas musuh. Kontan saja mereka menjadi sasaran empuk.

Di bulan-bulan pertama serangan ABRI mengerahkan 10.000 sampai 15.000 personel untuk menghadapi 2.500 anggota reguler eks-Angkatan Bersenjata Portugis yang ditambah 7.000 milisi dan 15.000 pasukan cadangan.

Selain persenjataan yang relatif baik, keunggulan utama Fretelin adalah logistik yang cukup dan pengetahuan medan yang sempurna. Meski ABRI berhasil menguasai kota-kota besar seperti Dili, Baucau, Aileu dan Same di bulan-bulan pertama masuk Timor Timur, Fretelin tetap menguasai wilayah pedalaman. Hingga 23 tahun kemudian ketika dilakukan jajak pendapat pada tahun 1999, Fretelin tak pernah bisa dikalahkan dengan tuntas.

Sebagai sebuah operasi militer, Operasi Seroja dianggap gagal karena sejak awal tidak direncanakan dengan jelas serta banyaknya kepentingan politik bermain. Bagi sebagian militer, Operasi Seroja menjadi tempat latihan tempur ‘real time’ sekaligus batu loncatan karir mereka. Di sisi lain, bagi sebagian kalangan operasi ini menjadi ajang korupsi karena besarnya perhatian pemerintah.

Operasi Seroja lebih mengutamakan operasi darat dibanding sebuah operasi gabungan yang secara menyeluruh melibatkan  unsur laut dan udara. Menjadi bumerang, karena musuh dengan mudah mendapat suplai senjata melalui laut dan udara.  Selain itu, secara umum operasi militer tersebut tidak didukung upaya diplomasi yang serius di panggung internasional. [TGU]