La Gode sewaktu di pos satgas TNI.

Koran Sulindo – “Sekali lagi, jangan ada niat, apalagi upaya, untuk menutup-nutupi kasus ini. Apabila terbukti, saya yakin TNI pasti akan mengambil langkah tegas sesuai aturan hukum yang berlaku,” demikian dikatakan Ketua Komisi Pertahanan DPR, Abdul Kharis Almasyhari, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/11).

Pernyataan tersebut terkait dugaan penganiayaan yang dilakukan anggota TNI terhadap warga sipil, La Gode, di Maluku Utara, 24 Oktober 2017 lalu. La Gode mengembuskan napas terakhirnya setelah ditahan di Pos Satuan Tugas (Satgas) Operasi Pengamanan Daerah Rawan Batalyon (Ops Pamrahwan)  Infanteri Raider Khusus 732/Banau. Di jasadnya terdapat luka, delapan gigi dan kukunya pun tercerabut.

La Gode diduga mencuri singkong parut (kasbi gepe) sebanyak lima kilogram seharga Rp20 ribu. Masyarakan Maluku Utara biasanya menggunakan kasbi gepe untuk membuat penganan.

Sebenarnya, La Gode telah mengakui perbuatannya dan siap bertanggung jawab untuk mengganti kerugian dengan uang Rp 200 ribu atau berapa pun sesuai keinginan pemilik kasbi gepe. Tapi, menurut sang istri yang sempat mengobrol dengan La Gode, polisi tak peduli atas tawaran tersebut.

Ia lalu dipukuli oleh tentara di Pos Ops Pamrahwan TNI. Kepada istrinya, La Gode mengaku merasa nyeri di bagian dadanya akibat pukulan itu. Itu sebabnya, La Gode memutuskan untuk melarikan diri. Namun, pada dini hari 23 Oktober lalu, La Gode ditangkap oleh anggota kepolisian Pos Lede, anggota Satgas TNI, dan anggota tentara yang menjadi Bintara Pembinan Desa. Mereka membawa paksa La Gode paksa ke Pos Satgas Ops Pamrahwan. Di sana, ia kembali disiksa den kemudian dikabarkan meninggal dunia. Jenazahnya ada di Puskesmas Lede. Pihak keluarga mengatakan, La Gode meninggal pada 24 Oktober sekitar pukul 04.30 dengan kondisi tidak wajar.

Abdul Kharis Almasyhari pun meminta TNI melakukan investigasi menyeluruh serta mendalam atas kasus ini. “Semua pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik pihak sipil maupun militer,” tutur Abdul.

Sebelumnya, Kepala Penerangan Kodam XVI/Pattimura Letnan Kolonel Sarkitansi Sihaloho mengatakan, pihaknya telah membuat surat pernyataan bahwa La Gode meninggal karena dikeroyok warga. Surat tersebut berasal dari Pemerintah Kabupaten Taliabu, kata Sihaloho, dan ditandatangani oleh 1.200 warga, bertanggal 30 Oktober 2017.

Namun, hasil investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Mormoi memperlihatkan, La Gode tidak dikeroyok oleh massa. Korban meninggal di pos satgas

Menurut KontraS, ada sejumlah pelanggaran hukum dan hak asasi yang diduga dilakukan TNI terhadap La Gode. Selain itu, dengan mendengarkan lima saksi, KontraS juga mengungkapkan, warga dipaksa tanda tangan dan mereka tidak tahu untuk apa mereka membubuhkan tanda tangan itu. Jumlah yang tanda tangan pun hanya 187 warga, bukan 1.200.

Pekerjaan sehari-hari La Gode adalah berkebun cengkih, sementara istrinya berdagang. Pasangan berusia 31 tahun dan 28 tahun ini dikaruniai tiga anak dan tinggal di Desa Balohang, Pulau Taliabu. Pulau ini bila dijangkau dari Ternate, ibu kota Maluku Utara, dengan kapal laut membutuhkan waktu dua hari-dua malam.

KontraS dengan sejumlah penggiat hak asasi Maluku Utara pun pada 20 November lalu mendampingi istri La Gode mendatangi Detasemen Polisi Militer XVI/1 dan Polda Maluku Utara di Kota Ternate. Sang istri mengadukan kasus biadab ini yang membuat nyawa suaminya melayang.

Pengaduan ke Detasemen Polisi Militer XVI/1 diketahui komandannya, Kapten CPM Dwi Anto Saputra. Di kepolisian, laporan ditandatangani Kepala SPKT Kepolisian Daerah Maluku Utara AKBP Ervan Drachman.

Ditegaskan Koordinator KontraS Yati Andriyani, TNI tak punya hak mengadili atau memproses hukum tindak pidana oleh masyarakat. Seharusnya, kantor Kepolisian Pos Lede menyerahkan La Gode ke institusi di atasnya, baik ke polsek, polres, maupun polda. Alasan pos polisi setempat tak punya ruang tahanan tak bisa diterima.

Memang, keluarga korban mengakui La Gode pernah masuk penjara karena mencuri cengkih. Namun, tambah Yati, itu tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap korban. “Apa pun statusnya tidak boleh dilakukan penyiksaan. Dalam kasus ini, terjadi pelanggaran hak asasi,”  tutur Yati.

Pihak TNI setempat, Komandan Yonif Raider Khusus 732/Banau Letkol Infanteri Raymond Sitanggang mengatakan, langkah anggota Kepolisian Pos Lede yang membawa La Gode ke Pos Satgas Ops Pamrahwan merupakan upaya menitipkan La Gode, bukan untuk menahan. Sementara itu, Komandan Detasemen Polisi Militer XVI/1 Ternate Letkol CPM Ali Mustofa memastikan pihaknya akan serius mengusut kasus ini.

“TNI tidak akan menutup-nutupi. Apabila memang benar terbukti ada keterlibatan oknum TNI dalam kasus La Gode, TNI akan mengambil langkah tegas sesuai aturan hukum yang berlaku. Ini sekali lagi menegaskan bahwa TNI tak main-main dalam kasus La Gode,” kata Ali, Rabu (29/11).

Pada konferensi pers di Café Soccer, Kota Ternate, 22 November 2017 lalu, KontraS membagikan pula transkripsi percakapan antara antara oknum TNI dengan Istri La Gode. Berikut beberapa bagian isi transkripsi tersebut.

Pada malam ketiga setelah meninggalnya La Gode, sekitar pukul 16.00 WIT, Danki Pos Satgas mendatangi rumah korban dan berbicara kepada istri korban serta beberapa warga yang hadiri saat itu. Danki mengatakan siap membantu istri korban dan anak-anak korban.

Danki             : Ikhlaskan saja suamimu biar dimanapun saja dia akan mati karena sudah ajalnya, dan berapa penghasilanmu selama sebulan berdagang di Bobong?

Istri Korban  : Saya tidak tahu kalau satu bulan, tapi kalau satu minggu paling tinggi satu juta saja.

Danki             : Saya akan kasih uang satu juta empat ratus ribu selama sembilan bulan berjalan, kalau saja Ibu tidak melapor ke pimpinan TNI; dan sampai kalau dilaporkan, kami siap diproses sebab kami sudah salah. Untuk itu uang tersebut, kami tidak akan berikan.

Tanggal 3 November 2017 pukul 12.00 WIT, salah satu oknum TNI bernama Eko mendatangi rumah korban dengan menggunkan pakaian loreng.

Eko               : Ada yang pernah jenguk kamu selama ini?

Istri Korban  : Tidak ada.

Eko               : Amanat Danki kalau tidak usah tuntut; dan kalau ibu mau, silakan tuntut saya juga dan saya siap untuk melepaskan seragam saya, dan kalau luka-luka di kaki itu saya yang pukul karena saya sakit hati. Sudah saya didik dia, tidak mendengar. Sudahlah, Ibu tidak usah menuntut, ikhlaskan saja suami ibu, karena yang sudah mati tidak akan hidup lagi. Kalau kami belum ditarik sampai sembilan bulan di sini, insya Allah kami akan patungan biar sedikit, cuma Rp 100 ribu untuk anak-anak korban per hari.

Setelah itu, Eko pun pamit. Namun, sekitar pukul 13.30 WIT, Eko bersama temannya kembali mendatangi rumah korban.

Eko              : Ibu di panggil ke Pos Satgas.

Istri Korban  : Tidak bisa. Sampaikan di sini saja, karena ini korban baru 11 hari
meninggal dunia, perasaan saya masih tidak enak.

Eko              : Tidak bisa, harus turun ke pos satgas sekarang.

Dengan terpaksa, istri La Gode ikut ke pos satgas, dengan dibonceng sepeda motor yang dikendarai Eko. Di pos itu, Eko kembali menegaskan soal amanat dari Danki. “Pesan Danki, besok atau lusa, kalau ada yang turun dan menanyakan Ibu, bilang saja kalau Ibu tidak menuntut,” tutur Eko. [RAF]