Ilustrasi: Usaha garam rakyat/disperindang.pamekasankab.go.id

Koran Sulindo – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT Garam bekerja sama membangun pabrik garam industri di kawasan lahan pergaraman terintegrasi di Bipoli, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Pabrik itu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan garam industri Indonesia.

“Konsep pembangunan proyek percontohan tersebut untuk mengelola sumber daya air laut secara terintegrasi dan satu kawasan, sehingga nantinya tdapat diperoleh berbagai komoditas produk antara lain garam industri, trace mineral, produk budidaya perikanan dan artemia,” kata Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT, Enyati Listiani, di BPPT, Jakarta, Senin (20/11), seperti dikutip antaranews.com.

Jika proyek ini berhasil, akan diterapkan pada sentra penggaraman lainnya sehingga industri garam nasional mampu meningkatkan nilai tambahnya secara keseluruhan dan sekaligus membuktikan bahwa garam kualitas industri dapat diproduksi di dalam negeri.

Pada 2018 akan dibangun proyek percontohan pabrik refinery garam untuk menghasilkan garam kualitas industri.

Dipilihnya NTT menjadi pilot project karena daerah tersebut berpotensi menjadi kawasan lahan pergaraman modern, antara lain di Teluk Kupang, Sabu Raijua, Negekeo, Ende, dan Waingapu.

NTT diperkirakan memiliki lahan potensial sebesar 15 ribu hekatare, dengan pembangunan lahan pergaraman secara meodern maka potensi produksi garam industri dari NTT diperkirakan mencapai 1,5 juta tin per tahun.

Pengimpor Abadi

Indonesia sudah mengimpor garam sejak 27 tahun lalu. Pada 1990 tercatat pemerintah mengimpor garam sebanyak 349.042 ton, senilai 16,97 juta dolar AS, untuk memenuhi kebutuhan industri serta kelangkaan stok garam dampakanomali cuaca.

“Impor terus dilakukan sampai hari ini dengan alasan kelangkaan stok garam sebagai dampak anomali cuaca,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati di Jakarta, 12 Agustus lalu, seperti dikutip Antaranews.com.

Pada Kabinet Pembangunan IV atau Pelita IV itu, di tengah standardisasi garam iodium, produksi garam rakyat melimpah hingga 800 ribu ton sedangkan kebutuhan konsumsi hanya 600 ribu ton. Melimpahnya garam produksi petambak tidak dapat diserap industri karena tidak memenuhi kriteria kadar Natrium Chlorida (NaCl) 97 persen, sehingga kebutuhan garam industri sejak itu selalu dipasok dari Australia.

Menurut Kiara, impor garam selalu menjadi solusi ketika garam langka saat kemarau basah. Pemerintah juga selalu mempermudah impor dengan menerbitkan setidaknya 9 regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri sejak 2004.

Baca juga: Lebih Seperempat Abad Ini Indonesia Mengimpor Garam

Yang terbaru, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 makin menyederhanakan perizinan impor garam.

Kiara mendesak pemerintah menunjukkan keseriusan untuk menghentikan impor garam, caranya bisa dimulai dengan pembenahan dan pengelolaan garam rakyat.

“Impor itu dampak dari kita yang tidak pernah serius mengembangkan teknologi. Harus ada political will dari bangsa untuk menghentikan impor dan memperkuat pergaraman nasional,” kata Susan.

Mafia Garam

Dalam rilis media 4 Agustus 2017 lalu, Kiara menyatakan impor garam memukul harga garam lokal dan membunuh usaha para petambak garam di Indonesia yang saat ini berjumlah lebih dari 21 ribu orang.

“Selain itu, impor garam sebanyak 75 ribu ton dari Negeri Kangguru yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan baru-baru ini jelas-jelas mengangkangi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.”

Presiden diminta menunjukkan keseriusannya untuk menghentikan impor garam, salah satunya dapat dimulai dengan memberantas mafia impor di dalam lembaga negara yang terindikasi terlibat permainan dengan sejumlah perusahaan impor. [DAS]