Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru dalam pengembangan kasus korupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP).
Sebelumnya beredar foto surat dengan kop dan cap KPK bernomor B-619/23/11/2017 perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan tertanggal 3 November 2017.
Surat itu ditujukan kepada Setya Novanto di Jalan Wijaya XIII No. 19, Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan ditandatangani oleh Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman.
Di dalam surat itu disebutkan pada Selasa, 31 Oktober 2017 telah dimulai penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP elektronik) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri.
Tindak pidana itu diduga dilakukan Setya Novanto bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri, dan kawan-kawan.
“Itu Sprindik baru dan ada nama tersangka,” kata juru bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (7/11), seperti dikutip antaranews.com.
Febri belum mau mengatakan nama tersangka atau soal Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). KPK akan mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan pengumuman lebih lengkap mengenai penetapan tersangka baru.
“Terkait dengan informasi lain yang lebih teknis, misalnya, soal SPDP atau soal nama tersangka atau peran yang lain, kami belum bisa konfirmasi hal itu hari ini. Tetapi kami pastikan KPK akan terus berjalan menangani kasus KTP elektronik,” kata Febri.
Dalam pengembangan kasus ini, KPK hari ini memanggil beberapa saksi termasuk politisi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa dan Chairuman Harahap, Wakil Ketua Komisi II DPR RI 2009-2010 dari Fraksi Partai PAN Teguh Juwarno, dan pengacara sekaligus Ketua Bidang Hukum Partai Golkar Rudy Alfonso.
KPK juga memeriksa mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, Dedi Prijono –kakak Andi Narogong–, dan Vidi Gunawan, adik Andi Narogong.
“Kami sekarang sedang mendalami lebih lanjut peran dari pihak-pihak lain dari kasus KTP elektronik ini. Jadi, dibutuhkan pemeriksaan sejumlah saksi, di tingkat penyidikan,” kata Febri.
Praperadilan
Pada 29 September lalu, sidang praperadilan yang diajukan Setya Novanto atas status tersangka yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabulkan hakim tunggal Cepi Iskandar. Dengan kemenangan ini, status tersangka dalam kasus korupsi pengadaan kartu penduduk elektronik (e-KTP) Setya otomatis hapus.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Cepi, membacakan amar putusan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Jumat (29/9).
Menurut hakim, penetapan tersangka harus dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara agar hak-hak tersangka dilindungi.
Baca juga: Setya Novanto Menangkan Gugatan Praperadilan
Hakim menyatakan surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 tidak sah. Selain itu, bukti yang digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.
“Menimbang setelah diperiksa, bukti-bukti merupakan hasil pengembangan dari perkara orang lain yaitu Irman dan Sugiharto,” kata Cepi.
Latar Belakang
KPK menetapkan Ketua DPR RI itu sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E), pada 17 Juli 2017 lalu. Setya mengajukan praperadilan atas status tersangka itu 4 September lalu.
Setya diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korproasi dengan menyalahgunakan kewenangan sarana dalam jabatannya sehingga diduga merugikan negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan.
Dalam persidangan kasus e-KTP, Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman mengaku Setya adalah kunci dalam melancarkan proyek pengadaan KTP Elektronik (KTP-e).
Dalam dakwaan yang disusun JPU KPK, Setnov adalah salah satu pihak yang berperan dalam pengadaan KTP-E dengan total anggaran Rp5,95 triliun itu.
Sejumlah peran Setnov antara lain, menghadiri pertemuan di hotel Gran Melia pada 2010 yang dihadiri Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini dan Setnov. Dalam pertemuan itu Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP-E.
Selanjutnya pada Juli-Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan Rencana APBN 2011, Andi Agustinus beberapa kali bertemu Setnov, Anas Urbaningrum, Nazaruddin karena dianggap representasi Partai Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui KTP-E.
Proses pembahasan akan dikawal fraksi Partai Demokrat dan Golkar dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri. Sebagai imbalan, Setya Novanto dan Andi Agustinus mendapat sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar sedangkan Partai Golkar mendapat Rp150 miliar.
Selain Irman, terdakwa dalam perkara ini adalah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto; Miryam Hariani, dan Markus Nauri. [DAS]