Di serambi Hotel Empress, Makassar, beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Bung Karno tampak serius menjelaskan kepada lawan bicaranya, apakah rakyat Indonesa memang benar-benar secara mental siap untuk merdeka. “Kalau kita hendak menunggu sampai rakyat Indonesia mencapai mentale rijpheid, maka sampai 100 tahun kita belum akan mencapai Indonesia Merdeka,” kata Bung Karno.
Lebih lanjut, untuk meyakinkan lawan bicaranya, dia mengutip pengalaman Revolusi Prancis. Dia menekankan, para pemimpin rakyat mesti mencontoh teladan Mirabeau atau Marat, dengan bertindak sebagai katalisator yang mempercepat pencapaian tujuan revolusi.
Sesungguhnya, lawan bicara Bung Karno itu juga tak buta-buta amat dengan 1001 cerita Revolusi Prancis. Lama tinggal di Eropa, kisah itu dihapalnya luar kepala. Namun, sikap intelektualnya kadang membuat dia harus memperhitungkan segala sesuatu dengan cermat. Lelaki yang menjadi lawan bicara Bung Karno itu adalah Gerungan Saul Samuel Jacob Ratu Langie.
Lahir tanggal 5 November 1890 di Distrik Kesendukan, G.S.S.J. Ratu Langie merupakan putra satu-satunya Kepala Distrik Jizias Ratu Langie, yang beristri Augustina Ratu Langie Gerungan. Mewarisi kesukaannya membaca buku dari ayahnya, Sam menjadi sangat memahami makna kebangsaan dan rasa cinta Tanah Air. Lewat ayahnya juga, Sam tertempa naluri kepemimpinannya. Akan halnya dari ibunya, dia mewarisi kecintaannya kepada Tanah Minahasa, nilai-nilai kemanusiaan, dan keberagaman budaya.
Sejak kecil, Sam sudah terbiasa menunggang kuda tanpa pelana dan senang bekerja di kebun atau menggembalakan sapi di padang rumput. Genap enam tahun, Sam didaftarkan sekolah di Europesche Lagere School (ELS) di Kasendukan. Meski tetap dianggap sebagai inlander, kemahirannya berbahasa Belanda sanggup mengungguli anak-anak Belanda totok. Dia ngotot mempelajari bahasa itu karena ingin melahap tumpukan buku-buku ayahnya.
Lulus sekolah dasar dengan gemilang, Sam remaja mudah saja diterima di Hooffdenschool Tondano, yang kala itu merupakan satu-satunya di seluruh Sulawesi Utara. Merasa tak cukup puas belajar di sekolah itu, Sam justru berangan-angan bisa belajar di Pulau Jawa untuk menjadi dokter, seperti sepupunya yang menuntut ilmu di Sekolah Kedokteran Jawa (STOVIA). Waktu itu memang hanya ada dua sekolah kedokteran di seluruh Hindia, NIAS di Surabaya dan STOVIA di Batavia. Tamatan sekolah itu, di Minahasa dikenal dengan sebutan “dokter Jawa”.
Tak bisa dicegah, di usianya yang ke-14 tahun, Sam nekat merantau meninggalkan ayahnya, ibu, dan kedua kakak perempuannya. Namun, nasib membawa Sam ke jalan lain.
Sesampainya di Jakarta, dia malah ogah masuk STOVIA dan justru tertarik belajar di Koningin Wilhelmina School (KWS), semacam sekolah teknik menengah. Tamat dari KWS, kesengsem dengan mesin-mesin, Sam langsung melamar kerja di Jawatan Kereta Api Lin Barat, yang beroperasi di wilayah Bandung, Maos, hingga Cilacap.
Di masa-masa inilah Sam mulai benar-benar merasakan hubungan kerja yang diskriminatif. Sementara teman-teman Belanda-nya menginap di hotel, Sam dan pekerja pribumi yang lain justru diinapkan di kampung-kampung. Darahnya mulai mendidih, namun amarah pemberontakannya ia tahan.