Koran Sulindo – Kedua anak muda itu tengah bersekolah di Bandung, jauh dari tempat lahir mereka. Yang satu lahir besar di Padang, yang lain dari Surabaya. Yang satu belajar di sekolah guru (Hogere Kweekschool), satunya lagi di sekolah tinggi teknik. Mereka berjumpa pertama kali entah di rumah Tjipto Mangunkusoemo atau Douwes Dekker. Atau mungkin juga di kantor Nationaal Indische Partij.
Soekarno muda dan Roestam Effendi muda itu sama-sama gandrung pikiran kiri, seperti layaknya anak muda saat itu, dan mereka cocok dalam hampir banyak hal. Tapi tetap saja sangat sering keduanya beradu pendapat dan berbeda pendapat. Hanya dalam satu hal mereka sepaham dan sependapat. “Yaitu agak prihatin dengan banyaknya organisasi-organisasi pemuda waktu itu yang mengibarkan dan mengikuti bendera-bendera kesukuan,” kata Roestam, dalam“Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Mudaku”(Bunga Rampai Soempah Pemoeda; Balai Pustaka;1978).
Sejak 1918 itu di Hindia Belanda memang marak pembentukan organisasi-organisasi baru dielite terpelajar, yang sebagian besar didasarkan atas identitas-identitas kesukuan. Para mahasiswa STOVIA di Batavia, tempat Budi Utomo lahir pada tahun 1908, juga menghasilkan beberapa organisasi baru ini, yang pertama adalah Tri Koro Dharmo (1915) yang pada 1918 berubah menjadi Jong Java (pemuda Jawa). Diikuti Jong Sumantranen Bond (Perserikatan Pemuda Sumatera, 1917); Studerenden Vereeniging Minahasa (perserikatan mahasiswa Minahasa, 1918), Jong Ambon (pemuda Ambon. 1918) dan seterusnya.
Masa-masa setelah Perang Dunia Pertama itu memang ditandai awalnya dengan polarisasi lalu di saat bersamaan merebak radikalisme. Mungkin di sini, di dalam usia awal-awal mahasiswa itu, Bung Karno menemukan satu keyakinan yang kelak akan terus dipertahankan hingga ajal: persatuan. Satu Indonesia.
Sejak itu Bung Karno sering melontarkan ide agar kekuatan-kekuatan yang ada harus menyatukan diri untuk menghadapi kekuasaan kolonialistik itu. Pada 1926, ia menulis di Suluh Indonesia Muda, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, gagasan menyatukan tiga ideologi itu dalam satu nafas Indonesia merdeka. Setahun kemudian, Bung Karno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Seiring itu ia terus mendekati pemimpin partai dan organisasi lain. Partai Sarekat Islam (SI) salah satu yang setuju.
Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dibentuk setelah Kongres Pertama pada 30 Agustus—2 September 1928 itu, digagas Bung Karno sebagai barisan kaum kulit berwarna, yang keluar menghadapi pemerintah kolonial dan ke dalammemperkukuh persatuan.
Sejarawan Anhar Gonggong (dalam edisi khususSumpah Pemuda Majalah Tempo, November 2008), menulis Maskoen, tokoh pemuda generasi 1928 yang ikut mendirikan PNI bersama Bung Karno, mengatakan Permufakatan ini dibayangkan sebagai wadah tunggal buat semua kekuatan politik di negeri ini, termasuk pemuda. Sejak itu, Bung Karno mengejar para pemuda menyatukan diri dan meninggalkan kedaerahan.
Menurut Maskoen, Bung Karno menganggap penting persatuan di kalangan pemuda untuk masa depan dan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia. Bung Karno setelah itu disebut-sebut sering mengunjungi asrama pemuda di IC (Kramat 106) dan terlibat dalam pelbagai topik diskusi yang sedang hangat. Dengan senioritas, kemampuan berdebat dan berpidatonya, bisa jadi banyak yang mahfum anak-anak muda itu akhirnya tergerak anjuran Bung Karno.
“Pengaruh Bung Karno dalam pelaksanaan Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 itu memang sangat kuat,”kata Maskoen, seperti dikutip dalam tulisan Anhar.
Benarkah? Kesaksian Maskoen itu dibantah Sekretaris Organisasi Kongres Pemuda II-1928, Abu Hanifah.
Dalam “Renungan tentang Sumpah Pemuda” (Bunga Rampai Soempah Pemoeda, Balai Pustaka, 1978), Abu mengatakan Bung Karno memang sering berkunjung ke asrama anakj-anak muda itu, tapi tidak banyak ikut campur, apalagi mempengaruhi keputusan para pemuda.
Mana yang benar sebenarnya tidak terlalu penting. Yang jelas sebelum Soempah Pemuda pada 1928, gagasan persatuan Indonesia sudah meresapi Bung Karno. Setelah tahun itu Bung Karno berkeliling Jawa dari kota ke kota mengajak anak negeri bergabung ke PNI, partai yang berasas nonkooperasi dan bertujuan utamamenciptakan persatuan menuju Indonesia merdeka. Sampai akhirnya ia ditangkap kolonialis, diadili, menulis pledoi mengguncang penjajah yang berjudul Indonesia Menggugat, dan dipenjarakan. Semua demi persatuan. Bangsa, tanah air, dan bahasa. [DAS]