Ilustrasi: Bung Karno/JFKlibrary
Ilustrasi: Bung Karno/JFKlibrary

Koran Sulindo – Meski mengagumi Bung Karno, Sabam Sirait hanya dua kali bertemu langsung dengan idolanya itu sepanjang hidupnya. Pertemuan pertama terjadi pertengahan tahun 1960-an. Ketika itu, Angkatan ‘45 mengadakan rapat umum di Istora Senayan untuk mendukung kebijakan Bung Karno tentang Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Massa yang hadir sekitar 10.000 orang. Bung Karno juga hadir untuk menyampaikan pidatonya. Para pimpinan partai politik juga diundang untuk menghadiri acara tersebut.

Sabam hadir bersama beberapa pimpinan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). “Saya lupa bagaimana persisnya, tapi yang jelas sayalah yang tampil berpidato mewakili pimpinan Parkindo. Padahal, waktu itu saya tidak siap untuk berpidato. Malah, saya cuma pakai sandal,” tulis Sabam dalam buku Sabam Sirait Berpolitik Bersama 7 Presiden.

Dengan segudang kekaguman terhadap sosok Bung Karno, Sabam harus berpidato di depan Bung Karno dan ribuan orang. “Terus terang, awalnya saya sempat nervous juga. Tapi, untunglah saya berhasil juga menyelesaikan pidato politik tersebut, yang berlangsung hanya sekitar 10 menit,” katanya.

Ketika giliran Bung Karno tampil di atas mimbar untuk berpidato, ia sempatkan sepintas memuji pidato beberapa orang sebelumnya, termasuk pidato Sabam. “Mana tadi anak muda yang namanya Bambang Sirait. Pidatonya lumayan bagus,” kata Bung Karno. Karena tak mengenal Sabam, Proklamator dan Presiden pertama RI itu salah menyebut nama Sabam menjadi “Bambang” Sirait.

Pertemuan kedua dan terakhir saya dengan Bung Karno terjadi beberapa tahun kemudian. Pertengahan Desember 1964, Sabam diajak Ketua Umum Parkindo, Melanchton Siregar, ke Istana Negara di Bogor. Hari itu, semua pimpinan partai politik diundang Presiden Soekarno untuk mendiskusikan situasi politik yang memanas. Nah, dalam pertemuan itu Sabam duduk cukup dekat  dengan Bung Karno, dan terlibat dalam satu meja pembicaraan.

Dalam pertemuan itu, Bung Karno mengatakan bahwa ada ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. “Saya mau disingkirkan, Republik mau dihancurkan,” kata Bung Karno. Pada akhir tahun 1964 itu, situasi politik sudah mengarah kepada perpecahan negara-bangsa. Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah melakukan gerakan-gerakan demonstrasi dan rapat-rapat umum di mana-mana.

Sebaliknya, partai-partai lain berupaya melawan gerakan PKI dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS), yang anggotanya berasal dari kalangan partai politik dan aktivis politik. Chaerul Saleh, Wakil Perdana Menteri III yang juga pimpinan Partai Murba, menyatakan secara terbuka tentang adanya ancaman terhadap kesatuan Republik serta upaya pihak-pihak tertentu yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Karena situasi politik yang kritis itulah, Bung Karno memanggil para pimpinan partai politik ke Istana Negara Bogor. Tapi, yang terjadi pada pertemuan itu bukanlah semangat mempersatukan bangsa, sebagaimana yang dikehendaki Bung Karno. Dalam forum itu malah terjadi perdebatan keras di antara pimpinan partai-partai politik, terutama antara PKI dan Partai Murba. Suasana pertemuan sangat panas, perbedaan tajam, bahkan clash fisik nyaris terjadi antara Ketua PKI Aidit dan pimpinan Partai Murba, Chaerul Saleh.

Sebenarnya, ketika itu Sabam mau angkat bicara. “Saya mau bilang bahwa di tengah situasi kritis yang dihadapi bangsa dan negara, mengapa para pemimpin justru gontok-gontokan,” ujar Sabam lagi. Tapi, waktu ia mau tunjuk tangan, Johannes Leimena datang menghampirinya, sambil bilang, “Nyong, kau catat-catat saja dulu. Nggak usah bicara”. Maka, tidak jadilah Sabam angkat bicara di pertemuan penting tersebut.

Begitupun, pada akhir pertemuan dibentuklah panitia untuk menyusun pernyataan bersama, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Deklarasi Bogor”. Isi deklarasi ini antara lain ingin mempersatukan kembali seluruh potensi bangsa untuk menyukseskan Revolusi Indonesia, sebab hal itu menjadi lambang cita-cita seluruh bangsa Indonesia.

Namun, sejarah mencatat, apa yang terjadi kemudian adalah pengkhianatan terhadap isi dan semangat “Deklarasi Bogor”. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 pecah. Dan setelah itu, perpecahan bangsa tak terelakkan. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer, yang dibantu kaum sipil, menyebabkan ratusan ribu anak bangsa kehilangan nyawa dan jutaan lainnya menderita hanya karena stigma simpatisan PKI. Luka mendalam yang dialami bangsa Indonesia itu sampai sekarang pun belum pulih sepenuhnya. [Satyadarma Hs]