Pada malam 30 September 1965, saya mendengar suara dar-der-dor dari arah rumah Jenderal A.H. Nasution. Rumah orang tua saya ketika itu memang di Jalan Teuku Umar, Jakarta, kurang-lebih hanya 150 meter dari rumah Jenderal Nasution.
Namun, pada pagi harinya, saat saya pergi ke sekolah, saya tidak melihat ada yang aneh di jalan depan rumah dan jalan-jalan lain. Jalan depan rumah sepi saja seperti biasanya.
Baru di sekolah, saya mendengar teman-teman membicarakan suara letusan senjata itu. Saya pun terlibat dengan pembicaraan mereka. Hebatnya, kita anak anak SMA sudah bisa berkesimpulan bahwa ini ulah PKIĀ karena yang diserang adalah rumah Jenderal A.H. Nasution, yang kita semua tahu musuh bebuyutan PKI.
Rata-rata, kawan-kawan saya, anak Menteng, memang sudah muak terhadap PKI. Karena, kader-kader PKI itu umumnya militan, provokatif, dan kasar kepada orang-orang di lingkungan mereka. Mereka juga memboikot film Amerika Serikat, musik The Beatles, dan melarang orang berambut gondrong. Jadi, saat Soeharto mengambil alih RRI dan Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma, kami semua gembira dan mendukung Soeharto.
Waktu terus bergulir. Saya sempat ikut demo bersama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Saat itu, nalar politik kami belum berjalan, sehingga tak tahu arah demonstrasi itu sesungguhnya. Apalagi, setelah 11 Maret 1966, arah demonstrasi bukan hanya ke PKI, tapi sudah ke Bung Karno, Presiden, Panglima Tertinggi, dan Pemimpin Besar Revolusi.
Memasuki pertengahan tahun 1966 dan seterusnya, kami merasakan kebebasan yang lebih luas. Bisa mendengarkan lagu-lagu The Beatles, bisa pesta dansa setiap malam Minggu, lucunya dengan pakaian lengkap jas dan dasi.Tapi, mana bisa kawan-kawanSMA zaman dulu bikin jas sendiri? Jadi, yang dipakai adalah jas bapaknya yang tua dan out of date di-vermaak di tukang jahit di Pasar Boplo atau yang lebih mahal di Pasar Cikini. Kami juga sudah bisa lagi menonton film-film Barat.
Namun, yang menyedihkan, Jakarta dipenuhi tentara. Dan, kami sebagai anak muda menjadi harus berhati-hati sekali bersikap di depan para tentara itu. Bila kami menyetir mobil dan mereka ingin menumpang, kami harus bersedia memberi tumpangan. Kalau tidak, kami akan digampar.
Begitupun kalau antre, para tentara tak mau antre, mereka akan langsung kedepan. Kalau ditegur, mereka akan menggampar orang yang menegur. Antre bensin juga begitu.
Begitu pula kalau naik angkutan umum. Para tentara tak mau membayar. Coba coba saja kondektur menagih, pasti kena gaplok.
Kalau kami pakai sepatu Beatles (yang sedang ngetren saat itu) danberambut gondrong , rambut kami langsung digunting. Jadi, bukan respek yang ada, tapi rasa takut. Memang, tidak semua tentara seperti itu, ada juga yang baik.
Kebetulan, di SMA saya banyak anak jenderal,juga banyak tetangga jenderal.Mereka dijaga oleh para tamtama. Jadinya, kalau kami mau kebut-kebutan di jalan, kami ajak tantama-tantama itu, agar kami aman dan terhindar dari tumpangan atau tempelengan tentara yang lain. Akhirnya, walau kami masih muda, kami sudah sadar bahwa “perkawanan” sangat penting, baik dengan sesama pelajar maupun ABRI sekalipun. Beberapa dari mereka masih bertemu dengan saya pada tahun 1980-an dan ada yang sudah menjadi perwira. Kami pun berkawan baik.