Koran Sulindo – Kebijakan pengenaan biaya isi ulang saldo uang elektronik menuai protes. Setelah beberapa lembaga, protes serupa disampaikan Lembaga Pusat Antikorupsi Universitas Sahid kepada Ombudsman RI.
Selain Bank Indonesia (BI), pemrotes juga menyasar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pasalnya, kebijakan tersebut, faktanya, kata anggota Ombudsman Dadan Suharmawijaya, juga berasal dari Kementerian PUPR.
Buktinya, penggunaan uang elektronik resmi berlaku di seluruh ruas jalan tol pada akhir Oktober nanti. “Dengan demikian, sosialisasi uang elektronik ini juga diwadahi oleh Kementerian PUPR,” kata Dadan seperti dikutip CNN Indonesia pada Rabu (27/9).
Sebelum Lembaga Pusat Antikorupsi Universitas Sahid, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat juga melaporkan hal serupa kepada Ombudsman. Akan tetapi, pada waktu itu kebijakan BI belum berlaku. Kebijakan ini baru berlaku pada 21 September lalu.
Dadan berpendapat, kebijakan mengutip biaya untuk mengisi ulang uang elektronik adalah bentuk mal-administrasi terhadap konsumen. Pasalnya, itu membebani. Aturan tersebut juga berpotensi memaksa masyarakat mengikuti aturan main yang dikeluarkan bank maupun pembuat kebijakan. Sebab, seluruh transaksi dilakukan dengan elektronik.
Terkait laporan tersebut, Ombudsman berjanji akan memanggil BI, Jasa Marga dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Dalam hal ini, kata Dadan, BI masih berkeras berdasarkan undang undang bahwa uang bisa berbentuk fisik dan dalam bentuk lain termasuk uang elektronik.
Ombudsman karena itu akan menelaah lagi kebijakan itu agar tidak ada pihak yang dirugikan. Dan masyarakat yang masih menggunakan uang tunai tidak diblokir karena belum memakai skema uang elektronik. Jangan ada pemaksaan, katanya.
Untuk itu, Ombudsman dipastikan akan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terkait hal itu. Dan akan mengundang Kementerian PUPR untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan. [KRG]