Koran Sulindo – Nama Aris Budiman disebut Miryam S. Hariyani dalam pemeriksaan sebagai saksi kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP), pada Desember 2016. Menurut Miryam, pemanggilan dirinya bocor sebulan sebelum pemeriksaan. Ia diiming-imingi namanya bisa hilang dari berkas penyidikan.
Nama Aris disebut lagi, tapi tak terpantau media masssa saat itu, karena menolak penetapan tersangka pada Ketua DPR, Setya Novanto, dengan alasan belum ada bukti kuat adanya aliran dana ke Setnov. Pendapat Aris itu berlawanan dengan penuntut umum, yang menilai sudah ada 2 dua alat bukti yang cukup untuk mengadili Ketua Umum Golkar itu. Aris tetap mengirim nota gelar perkara kepada pimpinan KPK yang menyatakan penyidik tak punya bukti kuat peranan Setnov dalam penggarongan proyek di Ditjen Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri itu.
Kini, nama Aris barangkali tak lama lagi keluar dari peredaran penyidikan di KPK. Ia dianggap membangkang karena tetap hadir dalam rapat panitia khusus hak angket DPR; pansus yang ingin memberangus lembaga yang didirikan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2002 tersebut.
“Via email saya sudah laporkan akan datang. Saya tak bisa dilarang, karena ini kehormatan pribadi. Sepanjang karier saya, ini pertama kali saya bantah perintah pimpinan,” kata Direktur Penyidikan KPK itu, pekan lalu.
Di rapat di gedung DPR Senayan akhir Agustus lalu itulah mencuat Aris berpolemik sengit dengan mantan Ketua Wadah Pegawai KPK, Novel Baswedan awal tahun ini. Novel melayangkan protes keras saat Aris meminta rekrutmen penyidik polisi berpangkat komisaris besar sebagai calon ketua satuan tugas penyidikan kasus-kasus korupsi di KPK.
Permintaan Aris itu dinilai tak sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK selama ini. Biasanya, Ketua Satgas dipegang penyidik senior atau yang telah lama bertugas di KPK.
Sehari sebelum hadir di Senayan itu, Aris mampir ke Polda Metro Jaya melaporkan pencemaran nama baik yang dilakukan Novel. Novel disebutnya mengirim surat elektronik (email) kepadanya dan diteruskan ke seluruh wadah pegawai KPK. Email bertanggal 14 Februari 2017 itu, yang mengatasnamakan ‘Wadah Pegawai’, meragukan integritas Aris.
“Tentu saya marah, tersinggung, terhina, dikatakan saya tidak berintegritas,” kata Aris,
Walau agak aneh kasus email yang terjadi awal tahun itu baru dilaporkan menjelang ujung tahun sekarang, tapi konflik internal yang makin lama makin besar ini mencuat keluar.
Cicak versus Buaya Jilid 4?
Pertempuran antara polisi dengan KPK bukan barang baru dan nampaknya masih akan sering muncul, terutama ketika KPK sedang menangani kasus besar. Perseteruan ini bahkan sudah mempunyai nama keren: Cicak versus Buaya.
Pada jilid 1, geger “cicak vs buaya” terjadi pada 2009. Bermula dari penyadapan KPK terhadap Kabareskrim Polri saat itu, Komjen Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil “memaksa” Century mencairkan dana nasabah itu sebelum bank ditutup.
Istilah itu pertama dinyatakan Susno dalam wawancara dengan Majalah Tempo (edisi 6-12 Juli 2009), “Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja,” kata Susno.
Tidak menunggu lama, Polri menyerang balik dengan melakukan kriminalisasi pada beberapa pimpinan KPK. Komisioner Chandra M Hamzah dan Bibit Waluyo dinyatakan menerima suap Rp 6 miliar, dan Polri langsung menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Akhirnya, Jaksa Agung meredam kasus itu dengan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan pada Chandra dan Bibit.
Pada cicak vs buaya jilid 2, geger bermula ketika KPKmenetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM. Padahal, sebelumnya, Mabes Polri menyatakan tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut.
Upaya kriminalisasi KPK kembali dilakukan: pada 5 Oktober 2012, sejumlah besar polisi mengepung Gedung KPK mau menangkap salah satu penyidik KPK yang juga berasal dari Polri, Komisaris (Pol) Novel Baswedan, salah satu penyidik yang berperan penting dalam pengungkapan kasus simulator itu. Novel diperkarakan untuk kasus pada 2004 ketika masih bertugas di Bengkulu. Ia diduga pernah melakukan penganiayaan berat terhadap tersangka pencuri sarang burung walet dan menyebabkannya meninggal.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan perseteruan ini “cicak vs buaya” itu. Djoko tetap diproses hukum dan dipenjara 18 tahun.
Cicak vs buaya jilid 3 bermula dari penetapan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi. Dan badai serangan menghanatam KPK. Awalnya, puluhan polisi menggeruduk kantor pusat KPK.
Mabes Polri juga mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka itu.
Selanjutnya seperti film aksi, Badan Reserse Kriminal Polri mengirimkan 12 polisi bersenjata lengkap menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Bambang diborgol sesaat setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Penangkapan itu didasarkan pada pengaduan bekas anggota legislatif dari fraksi PDI-P, Sugianto Sabran, dengan tudingan mendalangi kesaksian palsu dalam sengketa pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah, pada 2010.
Ketua KPK KPK, Abraham Samad, diisukan bermalam di hotel dengan Putri Indonesia 2014, Elvira Devinamira.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja diadukan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri atas dugaan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber. Wakil Ketua KPK Zulkarnaen yang diadukan ke kepolisian. Ia terjerat dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008.
Cicak vs buaya jilid 3 ini pelan-pelan memudar ketika Budi diangkat menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Ketua KPK Samad dan Bambang terpental.
Apakah perseteruan, lagi-lagi Novel, dengan polisi Aris ini akan berkembang menjadi cicak vs buaya jilid 4? Belum jelas benar. Tapi yang jelas drama ini kemungkinan besar masih akan panjang, mungkin lebih panjang dari masa perawatan Novel sejak disiram air keras pada 11 April lalu dan hingga kini sudah menginjak 5 bulan.
Apalagi pada awal Juni lalu Novel mengatakan, dalam wawancara dengan majalah Time, menerima informasi seorang jenderal polisi terlibat dalam kasus penyerangannya.
“Awalnya saya ragu, tapi kini kasus saya sudah 2 bulan dan belum ada tanda-tanda terbongkar, perasaan saya mengatakan informasi itu benar,” kata Novel.
Pernyataan Novel itu memberi bensin kepada api. Friksi lama KPK versus Polri bersemi kembali.
Di tempat lain, parlemen terus merangsek mencoba melemahkan KPK.
“Pansus bekerja guna membuka kotak pandora berbagai penyimpangan, penyelewengan dan pelanggaran yang dilakukan oleh KPK yang selama ini tertutup rapi dan absolut karena KPK menutup diri untuk diawasi,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Hal Angket Komisi Pemberantasan Korupsi Masinton Pasaribu, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pekan lalu.
Upaya DPR yang teguh ini menunjukkan para politisi itu percaya KPK terlalu powerful sehingga harus diredam. [DAS]