Tanah Deli, tak pelak lagi, menorehkan tonggak penting dalam perjalanan hidup Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Ia datang pertama kali ke Medan akhir tahun 1927, seusai menunaikan ibadah haji. Usianya saat itu masih 19 tahun.
Selama di Medan, ia menulis artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk koran Pelita Andalas milik orang Tionghoa. Itulah karya pertamanya sebagai jurnalis profesional. Hamka juga menulis, untuk pertama kalinya, mengenai Sumatra Thawalib dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri: Haji Abdul Karim Amrulah alias Haji Rasul. Di artikel-artikel awal itulah, seperti dicatat James Rush dalam kitab Adicerita Hamka (2017), Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis, dan membubuhkan nama pena “Hamka”.
Hamka juga bekerja sebagai guru agama di perkebunan. Selama empat bulan di Deli memberinya kesan mendalam. “Saya saksikan dan saya pergauli kehidupan pedagang kecil, dan melihat kehidupan kuli-kuli kontrak yang diikat oleh poenale sanctie yang terkenal dahulu itu,” tulis Hamka.
Ia kembali lagi ke Medan pertengahan tahun 1936, di usia 28 tahun, untuk bekerja sebagai pemimpin redaksi majalah mingguan Pedoman Masjarakat. Di masa itu, Medan merupakan salah satu kota yang tumbuh paling cepat di Hindia Belanda. Menjelang pertengahan 1930-an itu penduduk kota Medan sudah mencapai 77 ribu lebih. Penduduk Keresiden Sumatra Timur, dimana Medan sebagai ibukotanya, berjumlah 1,5 juta orang. Bisnis perkebunan tembakau di Medan sekitarnya yang booming di masa itu, telah menarik banyak pendatang ke Tanah Deli.
Kawasan niaganya selalu ramai, dan pemilik toko dan bisnis komersial didominasi orang Tionghoa. Sedangkan orang Minangkabau, Batak, dan Jawa menguasai industri penerbitan yang baru tumbuh di kota itu. Ada juga para pendatang dari Sunda, Arab, dan India dalam jumlah yang lebih kecil. Ada pula warga asli Melayu yang hidup dibawah kekuasaan terbatas para Sultan yang hidup nyaman dan mewah dibawah kontrak dengan para pengusaha Belanda dan asing lainnya.
Dalam hal terbitan berbahasa Melayu (Indonesia), di masa itu Medan hanya kalah dari Batavia. Ada tiga koran harian, termasuk Pewarta Deli (di bawah pimpinan Adinegoro) yang terkenal hingga ke seantero Nusantara. Juga ada majalah mingguan Islam yang terkenal, seperti Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat.
Di bawah pimpinan Hamka, Pedoman Masjarakat berkembang pesat dan menjangkau seluruh Sumatra hingga ke Jawa, Sulawesi, dan beberapa daerah lain di Hindia-Belanda. Bahkan sampai ke Semenanjung Malaya. Oplahnya pernah mencapai 4.000 eksempelar, jumlah yang terbilang besar di masa itu.
Nama Hamka pun melambung. Pedoman Masjarakat terutama membawa suara kaum reformis Islam di Indonesia, yang terpengaruh gerakan reformis di Timur Tengah di akhir abad 19 yang digerakaan Jamaludin Al Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905).
Tapi, beberapa kali Hamka juga mendapat tantangan keras. Salah satunya dari A. Hasan, ulama besar yang juga memimpin Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Pasalnya, Hamka menolak pandangan Persis yang mengatakan bahwa kebangsaan berlawanan dengan Islam. Menurut Hamka, antara kebangsaan dan Islam tidak perlu dipertentangkan, malah bisa sesuai.
Akibat perbedaan pendapat itu, tulis Hamka dalam memoarnya, Kenang-Kenangan Hidup: “A. Hasan Bangil menyerang saya habis-habisan… Tuan A. Hasan sampai mengeluarkan majalah Al Lisan satu nomor khusus diberi nama ‘Hamka nomor’ yang didalamnya tuan A. Hasan memuntahkan segala caci-maki dan penghinaan, ejekan, dan tudingan, yang kalau jiwa tidak kuat bisa menghancurkan mental dibuatnya…”
Tak hanya mengenai hal-ihwal keislaman, Pedoman Masjarakat juga menampilkan kiprah dan tulisan para pemimpin nasionalis pergerakan, sebagai tokoh-tokoh terhormat dan berwenang. Secara teratur majalah ini menampilkan artikel tentang Soekarno, Mohammad Hatta, M. Natsir, dan Haji Agus Salim.
Pada salah satu edisi Agustus 1938, misalnya, Hamka menggambarkan daya tarik populer Soekarno dengan menjabarkan cara rakyat Indonesia menyambut pidato-pidatonya. Juga pernah memuat beberapa artikel Bung Karno mengenai Islam. Dalam salah satu tajuk rencana Pedoman Masjarakat, edisi tahun 1940, Hamka menulis: “Sebagai ahli pikir, Soekarno kita hormati! Tetapi buah pikirannya dan anjurannya belum dapat kita terima semuanya, dan belum dapat pula kita tolak semuanya”.
Ketika Bung Karno dipindahkan pengasingannya dari Ende ke Bengkulu, Hamka selalu mengirimkan majalah Pedoman Masjarakat setiap kali terbit. “Beliau (Bung Karno) mulai mengenal tulisan-tulisan saya. Mulailah terjadi hubungan yang mesra diantara kami. Kepada saudara Oei Tjeng Hin, konsul Muhammadiyah di Bengkulu di waktu itu, pernah beliau bertanya tentang pribadi saya, pendidikan dan keahlian. Dia kagum mendengar bahwa saya hanya sekolahan pondok saja,” tulis Hamka dalam Kenang-Kenangan Hidup.
Ketika Hamka menghadiri Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta, tahun 1941, ia mendapat pesan Bung Karno yang disampaikan Abdulkarim Oei (Oei Tjeng Hin) agar singgah di Bengkulu ketika akan kembali ke Medan. “Saya sendiripun ingin hendak melihat wajahnya, lalu saya singgah di Bengkulu dan bercakap-cakap dengan dia (Bung Karno) hampir dua jam. Sesudah itu, pertama kami pergi bertiga-tiga dengan saudara Oei Tjeng Hin berfoto bersama-sama sebagai kenang-kenangan….,” tutur Hamka.
Tumbuh Sebagai Sastrawan
Di Medan pula, Hamka melahirkan sejumlah buku yang kemudian menjadi terkenal, termasuk karya sastra—seperti novel Dibawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Novel Dibawah Lindungan Ka’bah awalnya dimuat secara bersambung di Pedoman Masjarakat. Inspirasi ceritanya berasal dari perjalanan ibadah haji yang dilakukan Hamka sendiri beberapa tahun sebelumnya.
Sedangkan bagian pertama novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk mulai diterbitkan April 1938. Tokoh-tokoh dalam novel itu—Zainudin, Hayati, dan teman-teman mereka—adalah pemuda-pemudi modern yang bergelut dengan kebebasan baru dalam hidup di luar pedesaan. Pembaca Pedoman Masjarakat dekat dengan mereka, dan Hamka berhasil menyentuh para pembacanya. (Rush 2017: 23)
Selama bermukim di Medan (1936-1942), Hamka menerbitkan enam novel—termasuk kedua novel diatas dan Merantau ke Deli— dan beberapa cerpen, yang sebagian besar terlebih dahulu terbit di halaman-halaman Pedoman Masjarakat. Dia menulis cerita sebagai hiburan, membantu penjualan majalahnya, dan menambah penghasilan. Penerbitan ceritanya sebagai buku, Hamka membantu menghidupkan pasar novel murah di Hindia-Belanda, yang digarap percetakan swasta.
Buku Hamka di masa itu memang laris-manis. Betapa lakunya novel-novel Hamka pernah diceritakan oleh Mohammad Said, wartawan kawakan di Medan yang kelak kemudian mendirikan harian Waspada. Awalnya, Said tidak tertarik membaca novel-novel karya Hamka. “….(saat itu) tidak pernah terlintas di hati ku untuk membacanya, walaupun sebagai redaktur sebuah mingguan, buku-buku itu sudah sampai ke mejaku untuk di resensi. Aku juga penulis, dan karya-karyaku… kuanggap sudah dapat dikelaskan ke tempat yang bermutu dibanding (kupikir) apalah arti karya Hamka yang berupa cerita-cerita itu…,” tulis Said, dalam Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka.
Sampai suatu ketika, di akhir 1930-an, Said berencana berkelana ke Semenanjung Malaya. Untuk biaya berkelana, sebuah penerbit di Medan tidak memberikan uang tunai, malah mengamanahkan dua koper berisi buku-buku (yang terbanyak adalah karya-karya Hamka). Apa yang terjadi kemudian? Buku-buku Hamka itu semuanya langsung dibeli tunai dengan harga tinggi oleh pemilik toko buku di Penang. Kata Said, “… akupun menjadi seorang yang kurasa kaya dalam melanjutkan perjalanan….”
Lalu, setiap kali ia singgah ke toko buku di Semenanjung Malaya, yang dibicarakan para pemilik toko adalah buku-buku Hamka. Sedangkan buku Said sendiri “sama sekali tidak masuk nomor…” Dan sejak itu “Mulai kukenal siapa Hamka, dan dengan mengenal orang lain mulai kuketahui ukuran ku sendiri. Terus terang saja aku malu sekali ketika pemilik-pemilik toko di sana lebih banyak bercerita tentang Hamka daripada aku sendiri…” tutur Said.
Penerbit langganan Hamka di Medan masa itu adalah Lukisan Pudjangga, yang dipimpin Jousoef Sou’yb. Novel Hamka yang diterbitkan oleh Lukisan Pudjangga, antara lain: Merantau ke Deli, Toean Direktoer, dan Dijeput Mamaknya.
Hampir semua novel Hamka bernuansa cerita sedih atau tragis. Seorang penulis bernama A.S. Hamid (yang belakangan diketahui nama samaran Hamka sendiri) di Pedoman Masjarakat pernah berkomentar: “Karangan-karangan tuan Hamka sendiri saya perhatikan sejak dari dahulu sampai sekarang. Ada dua kali dia mengarang cerita yang mentertawakan, tapi yang lain semuanya menyedihkan saja, seakan-akan dunia ini tempat bersedih. Ujungnya tidak ada yang bersifat pertemuan, hanyalah perceraian dan kematian…”
Begitupun, roman dan novel Hamka sangat digemari masyarakat, terutama kalangan remaja di masa itu. “Nama Hamka membawa kenangan panjang kataku, lama, sebab sekaligus yang menggugah saya ialah Dibawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk, dua buah roman yang membuat masa remajaku dulu jadi nikmat. Membaca dua buku itu aku ingin menjelma jadi Hamid atau Zainuddin, mengisi khayalku dengan Zainab dan Hayati,” kata Ali Audah, seorang sastrawan terkemuka Indonesia.
Hamka-san dan Pengucilan
Tapi di Medan pula, Hamka memendam kenangan tidak mengenakkan. Pasalnya, ketika pasukan pendudukan Jepang menguasai wilayah Tanah Deli, Hamka termasuk salah seorang yang dekat dengan Gubernur Militer Sumatra Timur, Jenderal Tetsuzo Nakashima. Ia tercatat pernah menjadi penasehat urusan agama bagi Nakashima.
Pada Juni 1943, misalnya, Hamka mengadakan rapat pemimpin Muslim se-Sumatra Timur—unjuk kesetiaan yang menampilkan para sultan dan pangeran Sumatra Timur, parade ulama bersorban dan berjubah, pidato demi pidato, gerak jalan pemuda. Otoritas Jepang membangun gerbang seremonial baru di pintu masuk alun-alun kota Medan untuk acara besar itu dan mendatangkan enam puluh ribu orang dari luar kota dengan bus. Tim propaganda Jepang memfilmkan seluruh acara itu, termasuk pidato penuh semangat Hamka yang mendorong sesama Muslim menganggap upaya perang Jepang sebagai upaya mereka juga, sebagai perjuangan yang layak dijadikan alasan bertumpah darah, “darah syahid, darah jihad”. Hamka mengakhiri seruannya dengan mengatakan: “Hiduplah kaum Muslim di bawah perlindungan Dai Nippon!” (Rush 2017: 91)
Pokoknya, bagi rakyat kota Medan masa itu, Hamka-san sudah dikenal sebagai “anak mas” Gubernur Nakashima. Ketika pemerintah pendudukan Jepang membentuk semacam dewan penasehat di Sumatra Timur, Shui Sangi Kai, Hamka ditunjuk menjadi anggotanya.
Dengan keterlibatannya di dewan penasehat itu, Hamka berharap bisa memperjuangkan kepentingan kalangan pergerakan dan masyarakat. Tapi, sebagaimana di tempat lain, Jepang tidak tertarik dengan gagasan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat. Yang terjadi malah sebaliknya: pasukan pendudukan Jepang makin menindas rakyat, sehingga kehidupan mereka makin sengsara.
Ketika mendengar proklamasi kemerdekaan telah diumumkan oleh Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945, Hamka malah panik. Capnya sebagai kolaborator Jepang yang terkemuka sudah melekat di masyarakat Medan dan Sumatra Timur. Di saat-saat genting itu, Hamka “melarikan diri” bersama keluarganya, dengan mengendarai mobil pemberian Nakashima, dari Medan menuju Bukittingi. Dan ketika, delapan belas hari kemudian ia kembali ke Medan, orang-orang sudah memusuhi dia, termasuk teman akrab dan rekannya.
Hamka tidak lagi diundang berceramah atau menjadi khatib shalat Jumat. Bahkan, ia diberhentikan sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah di Medan, dan tak lama kemudian jabatannya sebagai konsul Muhammadiyah di Sumatra Timur pun dicopot. Hamka menanggung penderitaan itu selama tiga bulan, sebelum akhirnya ia memutuskan hengkang dari Medan. Dalam memoarnya, Hamka menulis tentang kemerdekaan Indonesia, “di halaman rumah ku telah berkibar bendera merah putih” sambil menangis sedih.
Mengenai peristiwa penyingkiran Hamka itu, serta pengakuan Hamka dalam memoarnya, Mohammad Said menulis: “Kupupus selaput mata sampai dua kali ketika terbaca dalam naskah Hamka yang panjang itu beberapa baris yang menyinggung sendiri peristiwa ia kelemparan yang sebenarnya sudah lama hilang dari ingatan orang Medan. Nyatanya dalam tulisan itu ia tidak mempokroli diri, bahkan menghargai semangat dari peristiwa pelemparan itu. Bertambah kagum ku padanya, aku tidak seterbuka Hamka untuk mau melihat soalku dari tempat tegak orang lain.” [Saytadarma]
Artikel ini pernah dimuat 4 September 2017