Kekerasan terhadap warga Rohingya di Myanmar [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Genosida di Myanmar. Demikianlah judul berita berbagai media arus utama dunia dalam beberapa hari terakhir ini, termasuk di Indonesia. Foto-foto kekerasan dan pembantaian terhadap suku Rohingya di negara bagian Rakhine bertebaran di media sosial dan internet. Masyarakat bereaksi.

Derasnya arus informasi soal Rohingya mengaburkan antara fakta dan hoaks. Sulit membedakan kejadian sebenarnya dan informasi yang telah diubah. Di Indonesia – negara berpenduduk agama  Islam terbesar – kabar demikian langsung memicu reaksi yang berlebihan. Pemerintah pun dicerca karena dianggap tak mampu berbuat apapun kepada suku Rohingya yang juga mayoritas beragama Islam.

Sebagian masyarakat bahkan mendesak pemerintah agar mengusir Duta Besar Myanmar dari Indonesia. Pasalnya, pemerintah Myanmar membiarkan pembantaian terhadap warga Islam. Akan tetapi, pemerintah tentu saja tidak mau gegabah. Terlebih hanya Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang diizinkan berdialog dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Langkah diplomatik tersebut mendapat penghargaan luar biasa dari PBB dan sejumlah negara lain.

Dalam empat tahun terakhir, kekerasan terhadap kelompok Rohingya sebagai minoritas di Myanmar terus meningkat tajam. Kendati telah hidup berabad-abad di Myanmar, warga Rohingya acap mengalami kekerasan dari tentara dan kaum ultra-nasionalis yang sebagian adalah biksu Budha. Seperti tahun ini, kekerasan pada 2012 juga menyebabkan suku Rohingya mengungsi ke perbatasan negara-negara tetangga.

Sebuah tulisan di The Guardian berjudul Is Rohingya persecution caused by business interests rather than religion? dimuat pada awal tahun ini menyebutkan, pasukan militer memasuki sebuah pedesaan di negara bagian Rakhine dan menghancurkan setidaknya 1.500 bangunan serta menembaki warga. Korban berjatuhan baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Sebuah video pun muncul dan tersebar di media sosial yang memperlihatkan warga desa duduk di tanah dengan tangan di atas kepala ketika tentara sedang memukuli seorang pria.

Sedangkan beberapa hari terakhir, badan PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR) mencatat sekitar 5.200 orang suku Rohingya memasuki Bangladesh sejak Kamis 31 Agustus lalu. Ribuan orang disebutkan berada di wilayah perbatasan Myanmar. UNHCR mendapat informasi ribuan orang Rohingya ini dilarang memasuki wilayah Bangladesh. Padahal, negara ini penting untuk menerima suku Rohingya demi keselamatan jiwa mereka.

“Kami meminta masyarakat internasional untuk mendukung Bangladesh menerima suku Rohingya. Juga perlu memberi bantuan yang diperlukan para pengungsi,” demikian UNHCR yang dikutip dari laman resmi badan tersebut.

Dari fakta itu, liputan berbagai media terutama media arus utama menempatkan konflik Rohingya di Myanmar selalu dalam sudut pandang konflik agama atau etnis. Konflik tersebut dibatasi sebagai ciri dari penganiayaan terhadap agama Islam yang merupakan agama mayoritas suku Rohingya. Sedangkan, Human Rights Watch (HRW) menggambarkan kekerasan terhadap Rohingya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang berujung kepada pembersihan etnis tertentu atau disebut sebagai genosida.

Tindakan kekerasan tentara dan ultra-nasionalis Myanmar mendapat kecaman dari berbagai pihak. Pemerintah Malaysia, misalnya, mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan praktik pembersihan etnis tersebut. Kesimpulan bahwa genosida sedang terjadi di Myanmar diperkuat oleh Kepala UNHCR PBB John McKissick pada awal tahun ini, dengan mengatakan, pemerintah Myanmar sedang melakukan genosida.

Perampasan Tanah
Akan tetapi, tulisan Saskia Sassen berjudul Is Rohingya persecution caused by business interests rather than religion? menemukan fakta lain. Profesor sosiologi di Universitas Columbia itu berpendapat, agama dan masalah etnisitas boleh jadi hanya bagian dari apa yang terjadi saat ini. Dalam dua dekade terakhir, tulis Sassen, telah terjadi peningkatan akuisisi perusahaan secara besar-besaran di seluruh dunia baik pertambangan, kayu, pertanian maupun air.

Dalam kasus Myanmar, militer telah menguasai lahan dengan merampas tanah petani kecil sejak 1990-an. Di bawah todongan moncong senjata, perampasan lahan itu sama sekali tanpa ganti rugi. Perampasan lahan tersebut terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Dan meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Ketika kekerasan terhadap warga Rohingya pecah pada 2012, lahan yang dipergunakan untuk mega-proyek meningkat 170 persen antara 2010 hingga 2013.

Warga protes karena militer Myanmar merampas tanah mereka [Foto: Istimewa]
Warga protes karena militer Myanmar merampas tanah mereka [Foto: Istimewa]
Sassen mengatakan, dengan mengusir warga Rohingya dari tanah dan desa mereka, tentu saja menguntungkan tentara. Terlebih pada 2017, rezim Myanmar menyediakan sekitar 1,3 juta hektare dari total 3,1 juta hektare lahan untuk investor dan itu berada di wilayah suku Rohingya. Itu demi memberikan keistimewaan terhadap perusahaan besar yang konon demi membangun pedesaan.

Angka tersebut tentu saja melonjak cukup fantastis. Pasalnya, penyediaan lahan di pedesaan pada 2012 hanya 7.000 hektare dari total 17 ribu hektare. Ketika masyarakat internasional hanya fokus pada konflik agama dan etnisitas, justru perampasan tanah jutaan hektare telah membawa dampak buruk terhadap jutaan rakyat Myanmar, termasuk Rohingya.

Sebuah tulisan berjudul Myanmar: Land Grabbing As Big Business yang diunggah www.cetri.be pada 2013 mendukung penelitian Sassen tersebut. Sejak rezim mengubah UU tentang tanah, perusahaan-perusahaan besar merajalela merampas tanah di pedesaan. Perampasan tersebut sebagai langkah antisipasi meningkatnya investasi dan pembangunan properti. Praktik demikian, tidak saja sebagai bentuk kegagalan reformasi, tapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Di bawah bekas rezim militer, perampasan tanah menjadi praktik umum dan sulit untuk dibantah. Pemerintahan terutama militer bisa memanfaatkan lahan pertanian dalam skala besar dan umumnya tidak memberi ganti rugi terhadap kaum tani kecil. Selain untuk membangun pangkalan militer, kantor pemerintahan, tujuan komersial oleh militer, perampasan tanah tersebut juga digunakan untuk proyek infrastruktur dan dijual kepada swasta. Kendati rakyat protes, militer mengabaikannya. Bahkan militer tidak segan-segan menggunakan senjata untuk “mematikan” protes dan perlawanan rakyat Myanmar itu.

Departemen Pertanian Myanmar pada Januari 2010 melaporkan, sekitar 216 perusahaan menguasai sekitar 1,75 juta hektare lahan. Dari jumlah tersebut 708.200 hektare merupakan konsesi. Sebagian konsesi ini terjadi di daerah-daerah perbatasan dengan Tiongkok yang merupakan bagian dari negara bagian Kachin dan Shan. Juga di sepanjang perbatasan dengan Thailand di negara bagian Karen dan Mon. Militer menancapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah ini terutama karena acap mendapat perlawanan dari Kachin Independent Army serta Shan Independent  Army. Kachin disebut daerah yang kaya akan batu mulia dan sumber mineral.

Sejak 1990-an
Beberapa lembaga hak asasi manusia seperti HRW, Karen Human Rights Group (KHRG), the Shan Human Rights Foundation (SHRF), the Human Rights Foundation of Monland (HURFOM), and Earth Rights International (ERI) mendokumentasikan perampasan tanah sejak 1990-an. Seperti di wilayah-wilayah lainnya, perampasan tanah di negara bagian Rakhine juga meningkat pesat. Perampasan tanah warga Rohingya itu sebagian besar digunakan untuk proyek infrastruktur, agribisnis, pariwisata, fasilitas industri dan jaringan pipa gas.

Jaringan pipa gas di wilayah itu mulai beroperasi sejak Juli 2013 yang menghubungkan Kyauk Phyu ke perbatasan Tiongkok sepanjang 803 kilometer dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari. Sementara untuk pipa minyak mulai beroperasi sejak 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrel per hari. Pengelola jaringan pipa gas ini adalah konsorsium dengan komposisi kepemilikan saham 50,9 persen CNPC (Tiongkok), 25,04 persen Daewoo International (Korea), 8,35 persen ONGC (India), 7,37 persen MOGE (Myanmar), 4,17 persen GAIL (India) dan 4,17 persen investor swasta lainnya.

Kemudian, di Semenanjung Rakhine, blok-blok minyak dan gas yang dikuasai perusahaan-perusahaan swasta asing diperkirakan memiliki cadangan sebesar 7,836 triliun kaki kubik gas dan 1,379 miliar barel minyak – yang beberapa blok di antaranya berproduksi sejak 2013. Blok-blok baru akan ditawarkan pada tahun ini sebagai temuan baru dan beberapa blok lain telah jatuh tempo pada tahun ini. Masih banyak sumber daya alam lainnya yang berada di wilayah suku Rohingya. Perlawanan rakyat terhadap keganasan kekuatan modal itu tidak hanya berasal dari ARSA yang Islam, tapi juga Arakan Independen Army yang Budha.

Perampasan lahan yang meningkat pesat tersebut mengakibatkan ratusan ribu jiwa – jika bukan jutaan – menjadi gelandangan. Terutama masyarakat pedesaan. Kebijakan rezim lalu memunculkan perlawanan rakyat walau terbilang masih kecil. Berdasarkan sudut pandang ini, Sassen, profesor sosiologi itu menyimpulkan penganiayaan terhadap suku Rohingya setidaknya memiliki dua fungsi yang tidak terencana.

Pertama, penganiayaan merupakan cara untuk mengusir mereka dari lahan dan sumber kehidupan mereka. Caranya dengan membakar rumah mereka sehingga warga Rohingya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan rumah mereka. Kedua, dengan mengadu domba rakyat dengan menekankan perbedaan agama. Tujuannya agar rakyat saling berkonflik dan melupakan perbuatan negara kepada rakyat.

“Jutaan kaum tani kecil yang terusir dari tanahnya merupakan korban dari kebijakan rezim sehingga agak mengherankan ketika pengamat dan pemerhati HAM lebih fokus pada agama. Padahal, sepertiga dari luas hutan Myanmar telah hilang,” tulis Sassen. [Kristian Ginting]