Koran Sulindo – Pada 11 April 2002. Suasana tegang di Istana Kepresidenan Miraflores, Venezuela. Meliputi ruang sekretariat, terutama ruang kerja Presiden Hugo Chavez. Kaum oposisi bersama para jenderal pendukungnya yang berada di ruang kerja itu mendesak Chavez untuk menandatangani surat pengunduran diri.
Menteri Pertahanan Venezuela Jose Vicente Rangel yang juga hadir di dalam ruangan itu meminta Chavez untuk menolak permintaan kubu oposisi dan para jenderalnya. Ia justru mendesak Chavez untuk melawan ultimatum terhadap upaya kudeta oposisi. Namun, gayung tak bersambut. Chavez justru – tanpa menandatangani surat tersebut – bersedia meletakkan jabatannya.
Ia memilih menyerahkan dirinya untuk menghindari pertumpahan darah walau pada waktu itu pengikutnya sudah banyak yang tewas oleh penembak jitu kubu oposisi. “Saya tidak ingin terjadi pertumpahan darah lagi. Saya menyerahkan diri untuk ditahan,” kata Chavez lewat televisi seperti yang dituliskan Tatiana Lukman di dalam bukunya berjudul Alternatif.
Tatiana juga menuliskan, sikap Chavez ini, entah kebetulan atau tidak persis dengan nasihat Fidel Castro, pemimpin Kuba. Sehari setelah pengumuman itu, Maria Gabriela (putri kedua Chavez) menelepon Elena, ibu Chavez dan menceritakan bahwa ayahnya telah berbicara dengan Fidel lewat telepon. Elena lalu meminta untuk dihubungkan dengan Fidel. Kepada Elena, Fidel berkata “Jangan terlalu khawatir tidak akan terjadi apa-apa kepada Chavez dan semuanya akan berakhir dengan baik.”
Pada pagi hari 12 April itu, televisi milik Gustavo Cisneros, raja media massa yang dikenal dengan Bush menyiarkan berita tentang pengunduran diri Chavez. Lewat siarannya, televisi menyebutkan “Selamat pagi, Venezuela, kita punya presiden baru.” Satu hal yang menarik, menurut Tatiana, tentang kudeta April 2002 terhadap Chavez adalah peran media massa yang sangat menonjol. Media massa diorganisasi secara kolektif oleh kaum oposan yang berasal dari kelas menengah. Karena perannya sangat besar, maka ada yang menamai kudeta tersebut sebagai kudeta media massa pertama di abad ke-21.
Seperti gelombang aksi oposisi yang didanai USAID, aksi kudeta pada 2002 juga didanai dan diorganisasi AS. Negeri Uwak Sam ini berperan lewat seorang jenderal Angkatan Darat bernama Nestor Gonzalez. Bahkan sebelum 11 April itu, Gonzalez secara terbuka lewat televisi nasional meminta Chavez untuk meletakkan jabatannya. Peingatan itu sekaligus pelarangan kepada Chavez agar membatalkan kepergiannya ke Kosta Rika.
Peran AS
Lalu bagaimana peran AS dalam aksi kudeta itu? ketika Chavez ditangkap, beberapa anggota Misi Militer AS berada di Markas Komando Angkatan Darat Venezuela di Fuerte Tiuna. Ini merupakan pangkalan militer di Caracas dimana terdapat berbagai instalasi militer Venezuela yang terpenting dan terbesar. Semisal, Kementerian Pertahanan, Akademi Militer dan Markas Komando Angkatan Darat. Padahal setelah Chavez menjadi presiden, pemerintah Venezuela memerintahkan Misi Militer AS agar segera angkat kaki dari Fuerte Tiuna. AS justru mengulur waktu dan baru hengkang pada 2004.
Atase militer AS, Kolonel James Rodgers juga diketahui sedang berada di Fuerte Tiuna pada 11 April itu. Kendati ia diketahui sebagai atase militer Kedutaan AS, Departemen Luar Negeri tetap membantah bahwa ada orang yang bernama James Rodgers sebagai atase militer AS di kedutaannya.
Tatiana juga mengutip tulisan Eva Golinger lewat bukunya berjudul El Codigo Chavez untuk menambah bukti atas keterlibatan AS dalam kudeta 2002. Seorang perwira Angkatan Laut AS bernama David Cazares mendekati seorang jenderal Angkatan Darat Venezuela bernama Roberto Gonzales Cardenas pada 8 April 2002. kepadanya, Cazares berkata “Mengapa belum ada kontak dengan kapal-kapal kami yang ada di pantai dan kapal selam di La Guaira? Apa yang terjadi? Mengapa tak seorang pun kontak dengan saya? Apa yang kalian tunggu?”
Cazares rupanya salah orang. Ia mengira orang itu adalah Nestor Gonzalez, sosok jenderal yang menjadi kunci kudeta 2002 terhadap Chavez. Pada akhirnya upaya kudeta ini berhasil digagalkan oleh pendukung Chavez. Para jenderal yang setia kepada Chavez terutama Jenderal Raul Isaias Baduel berhasil membebaskannya. Para pemberontak sama sekali tidak melawan. Istana Miraflor kembali dikuasai pendukung Chavez. Lalu, pada 14 April 2002, Chavez kembali memegang jabatan presiden.
Gelombang aksi oposisi kali ini pun mengarah kepada menggulingkan pemerintahan Maduro. Seperti pada 2002, AS lagi-lagi memainkan perannya lewat aksi oposisi. Tak tinggal diam, Maduro menyerukan pendukungnya untuk melawan segala aksi yang ingin mengkudeta pemerintahannya. Pertanyaanya: akankah Maduro dan Chavista akan bertahan? [Kristian Ginting]