Novel Baswedan/Instagram-@spripimpoldametro

Koran Sulindo – Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai mandeknya pengungkapan kasus penyiraman terhadap penyidik KPK Novel Baswedan bukan semata-mata ketidakmampuan penyidik Polri dalam mengungkap tetapi karena banyak kepentingan di internal Polri yang mempengaruhi proses penyidikan.

“Sehingga terjadi politik saling sandera di internal kepolisian. Kami mempercayai bahwa sebenarnya Polri mampu untuk mengungkap kasus Novel Baswedan, dengan barang bukti dan informasi yang cukup banyak yang telah dikumpulkan oleh penyidik,” tulis siaran pers Koalisi, di Jakarta, Rabu (27/7), seperti dikutip bantuanhukum.or.id.

Kasus penyiraman air keras pada Novel terjadi pada 11 April 2017. Namun sudah 105 hari berlalu, proses penyidikan Polri belum juga menemukan titik terang siapa pelaku dan aktor di balik tindakan brutal tersebut.

Sampai hari ini sudah 56 orang diperiksa, rekaman CCTV yang berada di lokasi kejadian juga diambil penyidik, serta beberapa barang bukti lainnya pakaian Novel dan cangkir yang diduga digunakan oleh pelaku.

Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan telah menyampaikan beberapa hasil temuan terkait dengan kejanggalan-kejanggalan proses penyidikan polri.

Kejanggalan pertama, tidak ditemukannya sidik jari dalam gelas yang ditemukan di sekitar lokasi kejadian yang diduga digunakan oleh pelaku penyiraman. Kedua, polisi menangkap dan melepaskan beberapa orang yang diduga merupakan pelaku. Ke-3 orang yang pernah ditangkap penyidik Polda, namun dilepaskan dengan dalih alibi yang disampaikan oleh ke-3 orang tersebut.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, beberapa saksi di sekitar lokasi baik sebelum peristiwa penyerangan menduga kuat orang-orang yang pernah ditangkap itu terlihat sering berada di sekitar lokasi kediaman Novel dan menanyakan aktivitas kesehariannya.

Kejanggalan ketiga adalah ketidaksepemahaman pernyataan antara Mabes Polri dengan Polda Metro Jaya. Beberapa kali pernyataan Mabes Polri dibantah atau direvisi oleh Tim Penyidik Polda, seperti terkait dengan status ke-3 orang tersangka pelaku tadi.

Kejanggalan lainnya adalah muncul ancaman terhadap beberapa Komisoner Komnas HAM dalam proses usulan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta. Beberapa waktu lalu Komnas HAM bersama PP Muhammadiyah menginisiasi pembentukan TGPF terkait kasus penyerangan ini, namun wacana tersebut urung terealisasi karena ancaman tersebut.

Kejanggalan yang paling besar adalah adanya tim di internal Polri di luar proses penyidikan yang juga bergerak. Beberapa saksi menyampaikan setelah proses pemeriksaan di Polres, beberapa anggota yang mengaku dari Mabes Polri juga mendekati saksi dan meminta informasi terkait dengan peristiwa penyerangan itu.

Karena itu Koalisi mendesak Presiden Joko Widodo untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen untuk mengungkap kasus penyerangan itu.

“TGPF ini juga penting dibentuk untuk menghindari politik kepentingan atau politik saling sandera yang ada di tubuh internal kepolisian.”

Presiden Jokowi juga didesak mengevaluasi kinerja Polri dalam penyidikan kasus penyerangan ini, karena sudah banyak bukti dan informasi serta waktu yang lama sejak kejadian. [DAS]