Koran Sulindo – Garuda Indonesia kembali diterpa isu tak sedap. Perusahaan penerbangan milik negara yang berdiri sejak 1949 ini dinyatakan akan segera gulung tikar alias bangkrut. Tentu saja isu itu buru-buru ditepis Direktur Utama PT Garuda Indonesia Pahala N Mansury.
Mantan pejabat di Bank Mandiri itu justru menyebutkan kondisi keuangan Garuda mulai membaik sejak kuartal (tiga bulan) II pada 2017. Ia menduga isu tersebut muncul karena jebloknya kinerja keuangan Garuda pada kuartal I 2017.
“Itu kekhawatiran yang berlebihan,” kata Pahala yang baru menjadi Direktur Utama Garuda sejak April lalu di Jakarta, Minggu (11/6).
Reuters melaporkan, Garuda pada kuartal I 2017 mengalami kerugian bersih sekitar US$ 98,5 juta atau setara sekitar Rp 1,31 triliun. Padahal kurtal I 2016, maskapai bintang lima versi Skytrax itu membukukan laba bersih US$ 1,02 juta. Kerugian itu lantaran kenaikan biaya bahan bakar dan persaingan.
Soal ini, Pahala mengakuinya. Persaingan di industri penerbangan sungguh ketat. Oleh karenanya, Garuda akan mengoptimalkan rute penerbangan dalam negeri yang bersaing dengan maskapai yang menawarkan tiket murah (LCC). Pun begitu dengan rute internasional.
Kompetitor Garuda dalam hal ini antara lain Air Asia, Singapore Airlines dan maskapai swasta Lion Air. Kendati demikian, Pahala memastikan likuiditas dan ekuitas Garuda masih sangat bagus. Jadi dari beberapa aspek Garuda disebut masih bagus.
Biaya bahan bakar avtur perseroan naik 54 persen dari kuartal I 2016 sebesar US$ 189,8 juta menjadi US$ 292,3 juta pada kurtal I 2017. Pada kuartal kedua tahun ini diperkirakan biaya bahan bakar avtur relatif stabil.
Kenaikan harga bahan bakar itu berpengaruh kepada total biaya operasional meningkat tajam menjadi US$ 1,01 miliar pada kuartal I 2017. Padahal di kuartal I 2016, biaya operasional hanya US$ 840,1 juta. Naik sekitar 21,3 persen.
Sejauh ini harga saham Garuda sedikit berubah menjadi lebih buruk dari sebelumnya menguat tujuh persen. Mayoritas saham pemerintah di Garuda mencapai 60,5 persen pada akhir 2016.
Kendati pendapatan pada kuartal I 2017 meningkat menjadi US$ 909,5 juta dibanding kuartal I 2016 yang hanya US$ 856 juta tidak mampu menutupi tingginya biaya avtur. Kerugian perseroan juga diakibatkan rendahnya jumlah penumpang yang diangkut Garuda.
Jumlah armada Garuda per Maret tahun ini mencapai 199 pesawat. Dan yang disewakan sebanyak 177 pesawat. Selain mengendalikan pengeluaran, Garuda juga akan meninjau rute penerbangan, mengoptimalkan armada dan meningkatkan pendapatan dari unit ketering makanan dan unit ground handling.
Dari semua ini, Garuda akan menargetkan kenaikan penumpang enam hingga tujuh persen pada 2017. Garuda yang sudah membuka rute ke Chengdu selain Beijing, Shanghai dan Guangzhou mengangkut 35 juta penumpang pada tahun lalu.
“Dalam hal operasi dan pengalaman mengangkut penumpang, Garuda sudah baik. Kita hanya perlu memperbaiki kinerja keuangan,” kata Pahala. [KRG]