Ilustrasi

Koran Sulindo – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan utang pemerintah tumbuh cepat. Saat ini total utang mencapai Rp3.667,41 triliun, naik 17 triliun dibanding Maret 2017. Namun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dinilainya masih rendah dibanding negara lain.

“Tumbuh cepat. Utang Indonesia kalau dibandingkan dengan berbagai negara tidak termasuk tinggi, masih di rasio 30 persen terhadap PDB. Itu masih di bawah kebanyakan negara,” kata Darmin, di Jakarta, Selasa (30/5), seperti dikutip antaranews.com.

Pemerintah berupaya mengurangi porsi utang dengan mengundang keterlibatan swasta maupun badan usaha dalam proyek pembangunan. Melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) tersebut, maka beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sedikit berkurang.

“Pemerintah memang berusaha supaya pembangunan infrastruktur jangan membebani APBN terlalu besar. Kalau Anda melihat sekarang banyak pembangunan, untuk air minum, jalan tol dengan KPBU, itu sebenarnya supaya jangan terlalu membebani APBN,” katanya.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat hingga akhir April 2017 total utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.667,41 triliun, atau naik sekitar Rp17 triliun, dibanding porsi utang di Maret 2017 senilai Rp3.649,75 triliun.

Berdasarkan data Kemenkeu per Februari lalu, perkembangan utang dan rasio utang pemerintah pusat dari masa ke masa berpuncak pada 1998 ketika Indonesia dihantam krisis moneter.

Presiden ke-2 Soeharto yang berhenti pada Mei 1998 meninggalkan utang Rp 551,4 triliun (saat itu setara US$ 68,7 miliar). Rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap PDB.

Pada pemerintahan BJ Habibie (1998-1999) per 1999 total outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun (US$ 132,2 miliar). Rasio utang membengkak jadi 85,4 persen dari PDB.

Pada masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur/1999-2001) utang pemerintah membumbung tinggi menjadi Rp 1.232,8 triliun, namun dalam denominasi dolar AS, jumlahnya turun menjadi US$ 129,3 miliar. Rasio utang makin parah menjadi 88,7 persen.

Pada 2001, rasio utang turun menjadi 77,2 persen dan nilai outstanding utang naik tipis menjadi Rp 1.271,4 triliun (US$ 122,3 miliar).

Pada masa Megawati Soekarnoputri (2001-2004) per 2002 sebesar Rp 1.223,7 triliun (atau US$ 136,9 miliar), dan rasio utang 67,2 persen. Pada 2003: Rp 1.230,6 triliun (US$ 145,4 miliar) dan rasio utang 61,1 persen; dan pada 2004: Rp 1.298 triliun (US$ 139,7 miliar), dengan rasio utang 56,5 persen.

Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rasio utang dan nilai utang Indonesia mencapai Rp 1.311,7 triliun (US$ 133,4 miliar) dengan rasio utang 47,3 persen pada 2005.

Antara tahun pertama SBY berkuasa hingga 2012, posisi utang Indonesia terus merangkak naik, namun rasio utangnya terus turun. Sejak 2013, utang pemerintah tetap naik terus sedang rasio utang mulai ikutan naik.

Posisi ditinggal SBY pada 2014 utang sebesar Rp 2.608,8 triliun (US$ 209,7 miliar) dengan rasio utang 24,7 persen.

Pada 10 tahun SBY ini, utang pemerintah naik 100 persen dibandingkan posisi awal, namun rasio utang ditekan turun 100 persen juga.

Pada akhir 2015 pemerintahan Joko Widodo, utang pemerintah naik menjadi Rp 3.165,2 triliun (US$ 229,44 miliar) dan rasio utang terhadap PDB meningkat menjadi 27,4 persen.

Total outstanding utang pemerintah sepanjang 2016 tercatat naik lagi menjadi Rp 3.466,9 triliun (US$ 258,04 miliar) dengan rasio utang 27,5 persen dari PDB.

Sejak Orde Baru meskipun secara nilai utang naik namun rasio utang pemerintah terhadap PDB masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen terhadap PDB.

Bank Indonesia

Sementara itu menurut Bank Indonesia (BI) utang luar negeri per akhir kuartal I 2017 mencapai 326,3 miliar dollar AS. Angka ini naik 2,9 persen secara tahunan (yoy) dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang mencapai 2 persen (yoy).

Pada akhir kuartal I 2017, posisi ULN sektor publik sebesar 166,5 miliar dollar AS atau 51 persen dari total ULN. Posisi ULN sektor swasta tercatat sebesar 159,9 miliar dollar AS atau 49 persen dari total ULN.

“Dengan perkembangan tersebut, rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal I 2017 tercatat relatif stabil di kisaran 34 persen sebagaimana pada akhir kuartal IV 2016, namun menurun jika dibandingkan kuartal I 2016 yang sebesar 37 persen,” tulis BI pada 16 Mei 2017.

Berdasarkan jangka waktu asal, pertumbuhan ULN jangka panjang melambat, sementara pertumbuhan ULN jangka pendek meningkat. Posisi ULN jangka panjang yang mendominasi ULN Indonesia pada akhir kuartal I 2017 tercatat 82,4 miliar dollar AS. Sementara itu, posisi ULN berjangka pendek pada akhir kuartal I 2017 sebesar 43,9 miliar dollar AS.

Menurut sektor ekonomi, posisi ULN swasta pada akhir kuartal I 2017 terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih.

“Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,5 persen,” kata BI.

Satu Penduduk Utang Rp 13 Juta

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan neraca keuangan beberapa tahun terakhir Indonesia masih defisit. Penerimaan negara yang ditargetkan mencapai Rp 1.750 triliun lebih kecil ketimbang pagu anggaran belanja pemerintah sebesar Rp 2.020 triliun. Artinya, Indonesia harus berutang Rp 270 triliun untuk menutupi defisit itu.

Dengan rasio utang Indonesia yang saat ini sebesar 27 persen dari Gross Domestic Product (GDP) yang sekitar Rp 13.000 triliun, maka setiap penduduk di Indonesia saat ini memiliki utang Rp 13 juta (997 dollar AS) per orang. [DAS]