Koran Sulindo – “Perpecahan bukan karena kebebasan berpikir, tapi karena memaksakan pikiran kita pada orang lain. Saya selalu mengajak pembaca berpikir bukan meminta mereka harus begini atau begitu. Apakah begitu bahaya mengajak orang beragama berpikir terbuka?” kata Asa Firda Inayah, siswa yang baru saja lulus dari SMA Negeri I Banyuwangi menjawab pertanyaan dari salah satu peserta talkshow ‘Membedah Persatuan dan Keberagaman’ dalam rangka ‘Pekan Pancasila’, yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Senin (27/5).
Perempuan yang akrab dipanggil Afi itu kini menjadi buah bibir lewat tulisannya ‘Warisan’ yang diunggah di akun FB-nya. Di saat Indonesia tengah maraknya isu SARA, Afi dengan pikiran jernih serta kritis dan tak emosional mengingatkan kita semua tentang kebhinnekaan lewat tulisannya ‘Warisan’.
Dalam artikel ‘Warisan’, Afi mengotak atik soal agama dan etnis, ”Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama. Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana. Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita. Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.”
Menurut Afi, ia menulis artikel dengan judul ‘Warisan’ karena ada keprihatinan. Ditegaskan, Indonesia yang sangat beragam ini dituntut memiliki toleransi yang sangat tinggi atas keragaman tersebut.
“Namun, realitasnya, Indonesia sangat mudah dipicu isu SARA agar tercerai-berai,” ujarnya.
Tulisan itu, menurut Afi, muncul dari hasil pengamatannya melihat keadaan di sekitarnya. Ide utama bukanlah hanya untuk menunjukkan keragaman suku, agama atau ras yang ada di Indonesia namun soal warisan turun temurun dari aspek-aspek hidup tersebut.
“Warisan kan bisa kita dapatkan baik dari turun-temurun atau kita cari sendiri. Apakah kita punya hak untuk menyalahkan?” katanya.
Di hadapan ratusan peserta talkshow yang dipandu Dr. Abdul Gaffar Karim dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Afi – anak penjual cilok yang ingin masuk ke Fakultas Psikologi – mengajak para anak muda untuk berkontribusi aktif membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan berpikiran terbuka.
“Jangan ragu untuk menuliskan atau mengutarakan apa yang kamu pikirkan. Semua orang punya hak. Jika kamu tidak punya teman dekat, maka di luar sana pasti ada yang berpikiran sama sepertimu,” ungkap Afi.
Sementara itu, Dekan Fisipol UGM Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si., dalam sambutannya menegaskan bahwa permasalahan kebhinnekaan bukanlah isu baru. Namun sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman, tantangan membahas konteks kemajemukan menjadi hal yang penting. Terutama untuk kembali mengingatkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara adalah solusi yang diberikan para bapak bangsa untuk menyelesaikan permasalahan kemajemukan Indonesia.
Erwan menilai, pola pikir Afi yang terbuka dan kritis perlu dicontoh dan dimiliki oleh generasi muda.
“Anak muda jangan takut (untuk) berpikir merdeka dan kritis. Dari situlah Indonesia akan maju,” kata Erwan. [YUK]