Koran Sulindo – Kurang lebih tiga tahun menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, tahun 1995, musisi Franky Sahilatua (wafat 20 April 2011) menciptakan lagu “Perahu Retak”, yang liriknya ditulis budayawan Emha Ainun Nadjib. “Aku heran/aku heran/yang salah dipertahankan/aku heran/aku heran/yang benar disingkirkan//, demikian antara lain bunyi lirik lagu itu. Juga ditulis “aku heran/aku heran/satu kenyang/seribu kelaparan/aku heran/aku heran/keserakahan diagungkan//.

Ketika itu, situasi politik di Tanah Air memang sedang bergolak. Bahkan, pada 27 Juli 1996, pemerintah Orde Baru memamerkan kedegilannya, dengan menyerbu Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Banyak korban jiwa akibat kebrutalan tersebut. Lalu, tak sampai dua tahun kemudian, Jenderal Purnawirawan Soeharto pun berhasil dilengserkan dari kursi kepresidenannya.

Era reformasi bergulir. Namun, ketidakstabilan masih terus mewarnai kehidupan masyarakat. Toh, harapan demi harapan selalu bermunculan, meski kerap bermuara kepada kekecewaan.

Ketika Joko Widodo dimajukan sebagai calon presiden, harapan banyak orang pun membuncah. Dengan pengalamannya sebagai pengusaha mebel, wali kota, dan kemudian Gubernur DKI Jakarta (meski tidak tuntas), ia dianggap mampu menyelesaikan berbagai problem berat yang sedang menjangkiti bangsa dan negara ini. Ia adalah harapan untuk membawa Indonesia menuju era baru yang bersinar cerah, yang akan mendorong maju Indonesia menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara lain yang telah mengalami kemajuan lebih dulu.

Harapan itu semakin mengental ketika Jokowi dalam banyak kesempatan sebagai calon presiden beberapa kali mengatakan, pembangunan bangsa harus dilakukan dengan ideologi yang membentuk mental dan budi pekerti manusia. Juga diungkapkan, pembangunan infrastruktur tanpa ideologi hanya akan menciptakan manusia tanpa mental dan budi pekerti yang kuat.

Ketika berkampanye sebagai calon presiden, ia pun memajukan program Nawacita dan juga mengusung konsep Trisakti Bung Karno. Dan, akhirnya, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla diberi amanat oleh rakyat Indonesia untuk menjadi presiden dan wakil presiden, periode 2014 sampai 2019.

Namun, setelah menjalankan roda pemerintah lebih dari dua setengah tahun, Jokowi dan Jusuf Kalla dinilai banyak pihak tak jelas ingin membawa negara ini ke mana. Pembangunan memang berlangsung, terutama pembangunan infrastruktur dan lain-lain yang berupa pembangunan fisik. Namun, tampaknya, pembangunan itu dilakukan tanpa berpegang pada ideologi yang kukuh. Akibatnya, seperti kata Jokowi sendiri sebelum menjadi presiden, pembangunan tersebut hanya menciptakan manusia tanpa mental dan budi pekerti yang kuat.

Kita bisa mendapatkan bukti-buktinya dalam beberapa bulan terakhir ini, bahkan sejak setahun terakhir. Kegaduhan demi kegaduhan muncul, yang bukan sekadar bagian dari dinamika demokrasi, tapi sudah sangat mengkhawatirkan. Karena, seiring dengan kegaduhan yang muncul itu juga kerap tercipta pula pemisahan-pemisahan sosial berdasarkan pandangan politik, agama, bahkan etnis, yang jika dibiarkan berlarut-larut tentu saja dapat mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi, gerakan-gerakan separatis yang telah ada sejak lama belakangan juga menunjukkan agresivitasnya, termasuk gencar melakukan kampanye di luar negeri.

Tak ada pilihan lagi bagi pemerintahan sekarang untuk segera menjadikan lagi Pancasila sebagai bintang penuntun, menjadikan sebagai ideologi yang bekerja, sebagai nilai utama kerangka kerja pembentuk kebijakan. Dan, itu harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, bukan sambil lalu.

“Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realitiet, yakni jikalau ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna,syarat untukmenyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak!” kata Bung Karno dalam pidatonya di hadapan Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. []