Koran Sulindo – Pimpinan Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, A.Fokki Ardiyanto S.IP., mendesak agar pendidikan Pancasila bisa masuk menjadi kurikulum di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Yogya.
“Ada sejumlah sekolah telah membuat aturan yang mengarah ke perilaku intoleransi dan mengarahkan siswa untuk memiliki fanatisme terhadap ajaran agama tertentu.” ujar Fokki kepada Koran Sulindo, Rabu (17/5).
Fokki tak mau membuka sekolah mana yang menerapkan aturan yang mengarah ke perilaku intoleransi itu. Namun Fokki mengaku mendapatkan pengaduan dari seorang wali murid di salah satu SLTP Negeri di wilayah kota Yogya. Wali murid itu mengungkapkan, anaknya keluar dari sekolah tersebut karena dikata-katai kafir. Sebab, anaknya tak memakai pakaian dengan ciri khas agama tertentu sesuai aturan yang diwajibkan pihak sekolah. “Siswa ini minder karena diolok-olok kawannya,” tutur Fokki.
Menurut Fokki, indoktrinasi semacam itu dan sudah berjalan melalui peraturan sekolah di sejumlah lembaga pendidikan negeri tentunya akan berbahaya jika dibiarkan. Dengan membiarkan, maka, lanjutnya, peserta didik sangat rawan menjadi korban indoktrinasi dan juga rentan untuk meneruskan tradisi intoleransi.
“Karena itu kami meminta peraturan sekolah dan kurikulum pendidikan harus betul-betul memiliki muatan yang mengajarkan toleransi mengingat nengara kita berdasarkan Pancasila,” tegas Fokki.
Dalam pandangan Fokki, sekolah negeri saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang mengarah pada lunturnya keragaman. Sekolah negeri saat ini dipandang lebih mengutamakan penyeragaman kebijakan yang mengarah pada agama mayoritas.
“Penyeragaman ini terlihat pada berbagai kegiatan keagamaan yang cukup masif di berbagai sekolah negeri dan ketentuan seragam siswa berdasarkan agama mayoritas,” ujarnya lagi.
Padahal, lanjut Fokki, sekolah negeri itu seharusnya sebagai lembaga yang bisa memelihara nilai nilai kebangsaan, nilai nilai pluralisme sehingga bisa saling menghormati antarumat beragama.
Pakar pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Wuryadi mengatakan sikap maupun tindakan intoleran merupakan salah satu contoh bentuk pengejawantahan paham transnasional tertentu, yang mendorong seseorang memahami agama secara ekstrim dengan menafikan kearifan lokal.
“Ini menjadi ancaman tersendiri karena ketidakharmonisan hubungan antarmasyarakat bisa muncul,” kata Wuryadi yang juga Penasihat Yayasan Majelis Luhur Tamansiswa itu.
Oleh sebab itu, kata Wuryadi, orientasi pendidikan nasional perlu bertumpu pada budaya lokal seperti konsep yang diajarkan Ki Hajar Dewantara.Tanpa berorientasi pada budaya asli Indonesia, lembaga pendidikan hanya mengacu pada beragam perkembangan yang terjadi di luar.
“Sekarang pendidikan kita seolah tidak memiliki orientasi yang jelas. Kalau mau memakai ajaran Ki Hajar, orientasinya jelas budaya kita sendiri, budaya Indonesia,” tegas Wuryadi. [YUK]