Koran Sulindo – Pelanggan rumah tangga untuk golongan 900 voltampere (VA) berada dalam situasi harap-harap cemas. Pasalnya, tarif untuk golongan tersebut terus naik sejak awal Januari 2017. Terbaru untuk kenaikan tarif golongan ini terjadi pada awal Mei lalu dan tentu saja itu membebani masyarakat.
Kenaikan tarif tersebut telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang Tarif Tenaga Listrik 2016. Berdasarkan aturan itu, kenaikan tarif dimulai dari 1 Januari, 1 Maret hingga 1 Mei 2017. Pada Juni 2017, tarif untuk golongan ini benar-benar tanpa subsidi.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan, kenaikan tarif untuk golongan tersebut hanya berlaku untuk pelanggan mampu yang berjumlah 19 juta pelanggan. Jumlah ini berdasarkan hasil evaluasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang menemukan hanya 4,1 juta pelanggan yang layak mendapatkan subsidi untuk golongan 900 VA.
“Terakhir pada 1 Mei 2017 disesuaikan lagi dari Rp 1.034/kWh menjadi Rp 1.352/kWh,” kata Sujatmiko seperti dikutip Liputan6.com pada awal Mei lalu.
Kenaikan tarif listrik itu juga tidak berlaku untuk pelanggan golongan 450 VA yang mencapai 27 juta pelanggan. Tarif pelanggan untuk golongan 450 VA dan 900 VA yang disubsidi adalah Rp 415/kWh dan Rp 605/kWh. Subsidi untuk kedua pelanggan tersebut disebut masih 100 persen. Dengan kebijakan demikian, pemerintah yakin subsidi listrik menjadi tepat sasaran. Kebijakan ini dianggap tidak akan membebani rakyat.
“Kita hanya memberi subsidi kepada rakyat yang tidak mampu,” kata Sujatmiko menambahkan.
Kendati terjadi kenaikan tarif untuk golongan 900 VA, anggaran subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2017 tetap dialokasikan. Anggaran tersebut telah mempertimbangkan skema kenaikan listrik untuk pelanggan rumah tangga 900 VA.
Kebutuhan subsidi listrik pada APBN 2017 mencapai Rp 44,98 triliun. Jumlah ini menurun dari kebutuhan subsidi listrik pada tahun lalu yakni Rp 56,55 triliun. Kenaikan tarif listrik tersebut akan menghemat anggaran subsidi listrik dari Rp 22 triliun hingga Rp 25 triliun sehingga memberi ruang fiskal yang leluasa untuk melaksanakan program pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur demi pemerataan kesejahteraan rakyat.
Meski tarif listrik pada Juni nanti sudah sesuai dengan harga pasar, rupanya kenaikannya akan terus terjadi. Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengatakan, kenaikan tarif pada Juni nanti belum tentu membuat tarif dasar listrik naik. Adapun factor kenaikan tarif pada Juni nanti didasarkan pada inflasi, harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupaih terhadap dolar.
Inflasi pada Juni nanti kemungkinan akan terjadi mengingat Lebaran juga pada bulan itu. Ia memprediksi inflasi pada bulan itu tidak akan tinggi. Terlebih kementerian-kementerian telah berupaya mengontrol kenaikan harga-harga di pasar-pasar tradisional dan modern. Oleh karena itu, ia meyakini tidak aka nada lonjakan kebutuhan harga pokok.
“Nilai tukar rupiah juga relatif stabil. Yang dikhawatirkan hanya soal harga minyak mentah Indonesia. Tapi, kalau dikontrol dengan baik, semoga tanda-tanda kenaikan tidak ada,” kata Made.
Keputusan kenaikan tarif, kata Made, tetap tergantung pemerintah. Dan penyesuaian tarif pada Juni nanti belum tentu naik – sebab bisa juga turun, katanya. Data PLN menunjukkan sekitar 2.500 desa dan 16 juta pelanggan rumah tangga belum menikmati listrik.
Saran Bank Dunia
Dalih pemerintah untuk menaikkan tarif listrik itu sepertinya semua masuk akal. Semisal, subsidi mesti tepat sasaran, penghematan anggarannya ditujukan untuk pembangunan terutama infrastruktur listrik agar semua rakyat bisa menikmati listrik. Tapi, benarkah demikian?
Laporan Bank Dunia pada 2005 berjudul Electricity for All: Options for Increasing Access in Indonesia menyebutkan subsidi listrik membebani anggaran negara. Anggarannya disebut lebih baik untuk membantu orang miskin dan membangun infrastruktur. Pada waktu itu Bank Dunia menyebutkan hanya sekitar 36 persen masyarakat yang layak mendapatkan subsidi listrik. Dan rata-rata mereka adalah pelanggan rumah tangga golongan 450 VA.
Bank Dunia kemudian merilis laporan yang hampir serupa pada 2014 berjudul Why Is Reducing Energy Subsidies a Prudent, Fair, and Transformative Policy for Indonesia? Dalam laporan ini Bank Dunia berbicara tentang pengurangan subsidi energi secara umum. Dan tentu saja itu termasuk subsidi listrik. Maka, mengurangi anggaran subsidi energi bermanfaat untuk membantu pembangunan di Indonesia.
“Yang terbesar adalah kebutuhan pembangunan kesenjangan infrastruktur. Terutama infrastruktur transportasi. Separuh penduduk pedesaan di Indonesia memiliki akses yang buruk terhadap layanan transportasi,” demikian bunyi dari laporan Bank Dunia.
Selanjutnya, laporan Bank Dunia terkesan menyalahkan anggaran subsidi sebagai penghambat pembangunan infrastruktur di Indonesia. Laporan itu lalu membandingkan anggaran infrastruktur yang kurang satu persen dari produk domestik bruto (PDB) dan anggaran investasi pemerintah hanya 2,5 persen dari PDB untuk pusat serta daerah pada 2012. Sementara anggaran subsidi energi terutama bahan baker minyak mencapai 2,6 persen dari PDB.
Fakta itu, tulis Bank Dunia, membuat pembangunan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, jaringan listrik dan air di Indonesia menjadi terseok-seok. Hanya tumbuh tiga persen selama periode 2001 hingga 2011. Sementara pertumbuhan PDB pada periode yang sama mencapai 5,3 persen.
Rendahnya nilai investasi untuk pembangunan jalan, pelabuhan, listrik, air dan lain-lain, demikian Bank Dunia, berdampak pada kemacetan, tingginya biaya logistik, rendahnya produktivitas dan daya saing serta tidak mampu menekan tingkat kemiskinan. Seperti infrastruktur, persoalan di sektor sosial juga sama. Selama satu dekade terakhir justru kesenjangan pendapatan kian meningkat. Pembangunan disebut hanya menguntungkan orang kaya. Alih-alih mengimbangi kecenderungan ini, subsidi energi justru kian memperburuk keadaan pada 2014, kata Bank Dunia.
Laporan itu juga menyebutkan di sektor sosial, Indonesia hanya menghabiskan 0,5 persen dari PDB. Jumlah ini lebih rendah dibanding negara-negara seperti Brazil, Turki dan Thailand yang anggaran sektor sosialnya mencapai 1,5 persen dari PDB. Itu sebabnya, rasio kematian ibu melahirkan mencapai 220 orang per 100 ribu kelahiran. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dari India dan Myanmar.
Fakta-fakta ini, demikian Bank Dunia, penghilangan subsidi energi – tentu saja termasuk subsidi listrik – menjadi satu-satunya hal yang paling penting untuk mengatasi hal tersebut. Dengan demikian, penghematan anggaran subsidi bisa dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, perlindungan sosial sekaligus mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi Jawa dan di luar Jawa.
Seperti Bank Dunia, pemerintah juga kerap mengkampanyekan hal serupa tentang pencabutan subsidi energi. Pertanyaannya: mengapa cara pandang Bank Dunia dan pemerintah sama? Benarkah ini hanya kebetulan? Jika demikian, jangan-jangan pencabutan subsidi listrik itu hanya menuruti kehendak Bank Dunia yang mengabdi kepada kepentingan pasar. [Kristian Ginting]