Presiden Jokowi nge-trail di Papua/setkab.go.id

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo kemana saja ketika Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), bekas wakilnya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu, menghadapi vonis hakim tengah pekan lalu? Kemana Presiden Jokowi ketika para pendukung Ahok di banyak kota di tanah air dan mancanegara menyalakan lilin pada malam-malam karena sekondannya waktu memimpin ibu kota itu harus menghuni bui?

Apakah ia akan terkaget-kaget sendiri seperti lewat tengah malam pada 4 November tahun lalu ketika jumlah pengunjuk rasa Aksi Bela Islam yang dikumpulkan Front Pembela Islam (FPI) jauh, jauh lebih tinggi, dari angka yang diperkirakan orang-orang dalam lingkarannya, sehingga ia harus satu dmi satu mengunjungi kantong-kantong pasukan TNI dan Polri?

Pada periode antara 6 hingga 10 Mei lalu, ketika banyak orang menganggap ia membiarkan Ahok sendiri, Jokowi memberi perlambang sedang membezuk Indonesia.

Dalam lawatan yang diberi nama Lintas Nusantara itu, Jokowi memulai dari ujung barat, Aceh. Di serambi Mekah itu ia menghadiri Pekan Nasional Petani Nelayan ke-15 di Stadion Harapan Bangsa, Gampong Lhong Raya, Banda Aceh, Sabtu 6 Mei. Di hadapan sekitar 35 ribu petani dan nelayan, Presiden mengatakan pemerintah terus membangun infrastruktur pertanian, mulai dari waduk, embung, hingga irigasi sekunder dan tersier.

Sehari kemudian Jokowi melanjutkan perjalanan ke Kalimantan Selatan, mengunjungi Puncak Budaya Maritim Pesta Laut Mappanretasi 2017 di Pantai Pagatan, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Lalu ia terbang ke Maluku Utara, meresmikan fasilitas Pelabuhan Tapaleo, Pelabuhan Wayabula dan Pelabuhan Bicoli di Kabupaten Halmahera Tengah, Senin 8 Mei. Jokowi adalah presiden kedua yang pernah menginjakkan kakinya di situ setelah Presiden Soekarno pada 1957.

Pada saat Ahok mendengarkan hakim membacakan vonis padanya, Selasa 9 Mei, Jokowi meresmikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Skouw yang terletak di Distrik Muara Tami, Jayapura, ujung timur Indonesia. Di sinilah ia memberi jumpa pers menghimbau semua pihak menghormati proses hukum pada Ahok dan upaya hukum yang akan dilakukannya dalam proses berikutnya.

Pada hari terakhir lawatannya, Jokowi naik motor trail menyusuri jalan sepanjang 7 km di Wamena yang dingin menuruni puncak gunung ke dataran rendah di bawahnya. Tak ada di pemberitaan media massa pun di media sosial konon presiden sempat jatuh dari sepeda motor di sebuah tikungan. Juga tak ada tulisan di koran, misal, soal deg-degannya para anggota Paspampres menjaga orang nomor satu di Indonesia nan sungguh nekat itu.

Ingat, ini di Wamena, Papua, wilayah yang sejak dulu terus berjuang untuk merdeka, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua benar-benar ada dan nyata. Misalkan mereka mengirim sniper saat itu, misalkan…

“Kalau naik trail kelihatan jelas kesulitannya. Itu baru naik, coba bayangkan yang membangun,” kata Jokowi, seperti dikutip situs setkab.go.id.

Jokowi memulai dari Aceh mengakhiri di Papua; seperti memberi pernyataan di antara spasi dalam kalimat-kalimat yang dimuat media: Indonesia bukan hanya Jawa, bukan hanya Jakarta. Dalam 5 hari itu Jokowi non stop pindah dari satu kota ke kota lain, pindah dari zona waktu satu ke lainnya, bersalaman dengan orang-orang yang warna kulitnya beda kontras antara putih di Kalbar dengan hitam di Papua.

Tapi baiklah kita nyinyiri Jokowi yang waktunya tinggal separuh lagi masa kepresidenannya itu. Pertama, mengapa ia hanya fokus melakukan pembangunan fisik, waduk, jalan, pelabuhan, membagi-bagi kartu pintar? Apa ia sungguh-sungguh ingin membuat warga negara Indonesia di pojok-pojok negeri yang nyaris tak pernah tersentuh pembangunan sejak Merdeka 72 tahun lalu itu tak diabaikan lagi? Atau jangan-jangan ia melakukannya dengan dalam hati berbuat riya, ingin dicatat sebagai tokoh pembangunan Indonesia?

Lagi, mengapa ketika pasangan berjuangnya dalam merebut kursi DKI 1 pada 2012 dulu sedang menghadapi pengadilan yang absurd dan kafka-is dan di ujung karier politiknya, Jokowi malah meresmikan bangunan tapal batas antara Indonesia dengan Papua Nugini? Apakah bekas wali kota Sala itu sengaja membiarkan sahabatnya itu sendirian mempertanggungjawabkan ucapannya yang sebenarnya sudah diplintir musuh-musuhnya? Ia lari dari Ahok karena ia menjadi liabilitas, titik lemah, bagi karier kepresidenannya?

Dan lihatlah, dunia internasional melihat Indonesia kini dengan pandangan sinis karena kasus penistaan agama dan politik SARA itu bertambah menjijikkan karena hukum rupanya bisa dimainkan sesuai kehendak orang-orang kuat. Kalau luar negeri sudah protes, berarti mereka melihat pemerintah melakukan pembiaran pada apa yang terjadi, atau lari dari masalah. Negara tak terlihat hadir.

Soal respon dunia luar dari Dewan HAM PBB untuk Kawasan Asia, Amnesty International, Duta Besar Amerika Serikat, hingga Uni Eropa, memang terasa berlebihan. Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan respons tersebut tidak berdasarkan fakta sosiologis.

“Dunia Internasional tidak perlu mencampuri urusan penegakan hukum yang terjadi di Indonesia. Lagipula, selama ini masyarakat Indonesia sudah bersikap sangat toleran dalam kehidupan sehari-hari. Biarkan persoalan hukum diselesaikan internal bangsa ini,” kata Ubedilah, dalam diskusi bertema ‘Dramaturgi Ahok’ di Cikini, Jakarta, Sabtu 13 Mei.

jokowi-ahok-antarafoto

Vonis Ahok itu juga menunjukkan politik identitas yang digunakan untuk mengganyangnya hingga masuk bui, ternyata sakti. Jelaslah dengan bukti hasil Pilkada 19 April lalu di mana Ahok keok; dan vonis 2 tahun penjara pada Ahok pada peradilan 9 Mei lalu, senjata itu akan digunakan lagi pada Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019.

Sekadar tambahan data, berdasar survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2014 tentang ketahanan nasional, sebanyak 9 dari 17 provinsi yang nilai indeks toleransinya di atas rata-rata adalah provinsi-provinsi yang proporsi pemeluk agama non-Islamnya paling tidak 25% dari total penduduk. Dominasi warga muslim berkorelasi dengan rendahnya tingkat toleransi beragama di provinsi tersebut, atau dengan bahasa sederhana, di daerah di mana jumlah pemeluk agamanya besar, maka toleransi mereka terhadap warga yang beragama lain sangat rendah.

Fakta provinsi yang mayoritas muslim memiliki tingkat toleransi yang rendah menunjukkan banyak ladang kering yang bisa dibakar dalam pertarungan politik tahun-tahun ke depan.

Anjuran atau fatwa atau apapun yang meminta jangan membentur-benturkan Islam dengan nasionalis seperti pada Pilkada Jakarta lalu nampaknya akan hanya dianggap angin lalu oleh pihak sana.

Dan Presiden Jokowi juga akan terlihat seperti selalu hanya digerakkan angin. Unjuk rasa 411 dan 212 (2 Desember 2016) yang membuat Jokowi bergerak seolah tak mempunyai pegangan, hanya berdasar arah angin mestinya tak boleh terjadi lagi.

Karena itu Jokowi harus diingatkan bahwa ia pernah menyatakan pemimpin harus memiliki ideologi yang menjadi pegangan dalam setiap pengambilan kebijakannya.

“Pemimpin baik di tingkat kota, kabupaten, gubernur dan di tingkat nasional harus punya ideologi, tanpa itu kita tidak akan punya arah dan panduan,” kata Jokowi saat membuka rapat kerja nasional Partai Nasdem 21 September 2015.

Saat itu Jokowi juga mengatakan ideologi yang dianut Indonesia adalah Pancasila. Ya betul, Pancasila telah terbukti sejak Indonesia merdeka melekatkan suku, agama, ras di zamrud dengan 17 ribu pulau, ribuan bahasa, dan ratusan suku ini.

Untuk menghindari pecahnya konflik berbasis agama sebagai ekses paling buruk Pilkada Jakarta lalu, yang pertama, Bapak Presiden, sumbu kebencian pada suku dan agama lain harus diredam, didinginkan, dalam usaha bersama terus–menerus.

Pancasila adalah bintang penuntun, yang memberi Presiden RI arah dan panduan. Pancasila adalah kompas yang harus dipakai Jokowi menjaga Bhinneka Tunggal Ika dalam wadah Republik Indonesia. Dengan ideologi yang digali Bapak Bangsa kita 72 tahun lalu itu, Jokowi takkan sendirian. [DAS]