Koran Sulindo – Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kalah dari Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017. Ia juga divonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena dinilai melakukan penistaan terhadap agama Islam, dengan hukuman dua tahun penjara. Meski belum berkekuatan hukum tetap, ketua majelis hakim memutuskan agar Ahok langsung dimasukkan ke dalam sel tahanan.
Saya pribadi menganggap Ahok tidak melakukan penistaan terhadap agama Islam. Namun, yang saya ingin bicarakan bukan itu. Saya ingin memaparkan apa yang saya ketahui setelah Ahok diputuskan bersalah.
Saya mengetahui, sejak awal, pertarungan di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 telah dijadikan medan pertarungan oleh para pemilik modal. Karena, punya tanah di Jakarta seperti memiliki tambang emas.
Lalu, setelah pemilihan usai, saya melihat ada upaya-upaya pihak lain membonceng untuk membuat keadaan kacau, tidak stabil, atau unrest, dengan macam-macam kepentingan, mulai dari melemahkan Indonesia, persaingan menuju 2019, bahkan menggoyang pemerintah.
Maka, kaum sekuler pun diadu domba dengan kalangan Islam. Langkah selanjutnya adalah menciptakan skenario konflik antara konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia vis a vis dengan konsepsi negara Islam.
Dikotomi yang sangat tajam untuk menciptakan dua kubu yang berhadap-hadapan sedang dilakukan. Kedua kubu itu ditunggangi dan terus diprovokasi agar berseteru. Kita pun kemudian melihat betapa sebagian bangsa ini semakin terbelah menjadi dua kutub yang seakan berlawanan: kaum nasionalis sekuler dan kaum muslim.
Kita pun sama-sama mengetahui, setelah pendukung Anies dikaitkan ke Arab Saudi, sekarang para Ahokers mulai cari dukungan ke luar negeri. Artinya, mereka sudah tidak percaya lagi dengan otoritas di dalam negeri sendiri.
Saya berharap pihak-pihak yang ada di kedua kubu tersebut menyadari situasi dan kondisi ini. Saya sendiri bisa dibilang dari golongan sekuler sejati. Namun, saya beragama Islam. Saya pasti akan membela Islam jika ada komentar orang yang sangat keras terhadap agama saya. Saya kira, pendukung Ahok yang beragama Islam pun akan bersikap seperti saya. Demikian juga saya akan menetang keras bilamana ada golongan yang menghina agama lain, mengganggu mereka menjalankan ibadahnya.
Jadi, sebaiknya siapa pun harus mampu menahan diri untuk tidak mengomentari agama orang lain dengan sangat keras, yang menjurus kepada penghinaan atau bahkan penistaan.
Marilah kita mengingat lagi pidato Bung Karno di hadapan Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih. Yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W. Orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia atau Negara yang ber-Tuhan, marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain,” demikian kata Bung Karno.
Janganlah lagi dibentur-benturkan antara kaum sekuler, kaum nasionalis, dengan umat Islam. Apalagi, umat Islam memiliki andil yang sangat besar dalam proses terbentuknya negara ini.
Namun, dengan adanya kasus Ahok ini, saya juga melihat ada fenomena yang menggembirakan. Ada gerakan kebangkitan nasionalisme atau rasa cinta Tanah Air yang menggelora. Para penggeraknya adalah orang-orang dari kalangan nasionalis, agamis, dan sekuler. Mereka menjadi mayoritas yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat menghargai keberagaman yang telah menjadi fitrah di negara ini.
Di sisi lain, saya juga miris. Karena, sejauh ini belum dapat dirasakan kehadiran negara untuk mengatasi masalah yang sangat gawat ini. Tak terlihat tindakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk meredam upaya-upaya memecah-belah bangsa.
Pemerintah seolah melakukan pembiaran. Bahkan ketika banyak pihak dari negara lain melakukan protes atau ikut berkomentar yang menambah panas situasi dalam negeri, pemerintah tak mencoba memberi penjelasan yang memadai ke dunia internasional.,
Apakah pemerintah begitu sibuknya mengurus infrastruktur dan lain-lain, sehingga tak punya waktu untuk merekatkan kembali ikatan kebangsaan? Apakah Joko Widodo hanya ingin pencapaiannya sebagai seorang presiden sebatas sebagai tokoh pembangunan fisik Indonesia?
Saya berharap tidak begitu. Dan, saya yakin hampir semua orang Indonesia juga punya harapan yang sama dengan saya. [Emir Moeis]