Aliansi Gerakan Reforma Agraria [Foto: AGRA]

Koran Sulindo – Berjuang untuk kepentingan rakyat memang tidak mudah. Jalannya terjal, berliku dan penuh dengan kerikil tajam. Juga acap mengalami “pukulan” dari mereka-mereka yang kepentingannya terganggu. “Pukulan” itu seringkali berawal dari fitnah untuk membenarkan tindakan kekerasan.

Itulah yang dialami Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), organisasi kaum tani. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kapuas Hulu, Kalimantan Barat memfitnah AGRA dengan tuduhan yang tidak main-main: provokator dan membahayakan negara. Ketua Umum AGRA Rahmat Ajiguna karena itu menilai Pemkab Kapuas Hulu sudah keterlaluan.

“Itu membahayakan rakyat yang memperjuangkan haknya,” kata Rahmat melalui keterangan tertulis di Jakarta pada Rabu (10/5).

Rahmat bercerita, fitnah yang sama telah disebarkan Pemkab Kapuas Hulu sejak setahun lalu. AGRA ketika itu langsung menemui perwakilan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan juga Pemkab Kapuas Hulu untuk mengklarifikasi tuduhan. Hasilnya, perwakilan kedua pemerintahan meminta maaf. Mereka berdalih itu karena kurangnya komunikasi di kedua belah pihak.

Dengan tuduhan yang lebih “ganas”, kali ini Pemkab Kapuas Hulu menyebutkan AGRA bisa membahayakan negara. Tentu saja tuduhan demikian bukan tuduhan sembarangan dan bisa digunakan untuk membangun opini bahwa gerakan rakyat yang memperjuangkan haknya sebagai kegiatan terlarang dan membahayakan negara.

Kegiatan AGRA di Kapuas Hulu jelas. Berjuang bersama masyarakat adat Suku Punan Hovongan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari pemerintah sesuai dengan hukum yang berlaku. Apalagi Suku Punan Hovongan bagian dari Suku Dayak yang sudah tinggal dan hidup di pedalaman selama ribuan tahun. Jauh sebelum republik ini berdiri.

Namun, sejak pemerintah menetapkan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), kebebasan mereka terampas terutama untuk melangsungkan kehidupan. Itu karena penetapan zonasi dan operasi-operasi dari TNBK. Bahkan pada 2011, TNBK membakar pondok dan ladang masyarakat serta menyita alat kerja mereka.

“Kedatangan TNBK itu yang menyebabkan masalah sehingga pemerintah wajib melindungi masyarakat dari TNBK sebagaimana yang diamanatkan undang undang,” kata Rahmat.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengakuan Hukum Adat Tahun 2014, bupati wajib membentuk tim untuk memproses pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di Kapuas Hulu. Justru kehadiran AGRA di Kapuas Hulu mempermudah pekerjaan Pemkab, terlebih organisasi kaum tani itu telah menyerahkan dokumen tentang masyarakat hukum adat Suku Punan Hovongan.

Dokumen tersebut bisa dijadikan sebagai bahan untuk mengidentifikasi agar proses pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat bsa berjalan lancar. Rahmat karena itu berniat menemui perwakilan Pemkab Kapuas Hulu untuk mengklarifikasi tuduhan tersebut.

“Kita juga akan segera menemui Komnas HAM untuk memastikan perlindungan masyarakat dan memastikan kebebasan berorganisasi bagi warga negara tidak dilanggar,” katanya. [KRG]