Koran Sulindo – Adalah ulah Prof. Dr. Mochtar Mas’oed yang membuat Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian tak bisa mengelak untuk menceritakan kisah hidupnya setelah lulus SMA. Dihadapan civitas akademika UGM dalam acara ramah tamah dengan Kapolri yang berlangsung di gedung Grha Sabbha UGM, Rabu (26/4) siang, Mochtar Mas’ud menyinggung Tito Karnavian sebetulnya kuliah di jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UGM, namun Tito lebih memilih masuk Akpol.
“Selesai SMA, beliau daftar di banyak universitas, dan semua lulus tes. Pertama saya senang, tapi kemudian menyesal karena beliau pernah daftar di jurusan Hubungan Internasional UGM dan lulus tes. Tapi setidaknya tempat ini (UGM) pernah menjadi tempat impian beliau,” ujar Mochtar Mas’oed yang disambut gelak tawa hadirin.
Mengawali sambutan, Kapolri memuji UGM yang dipandang sebagai think tank bangsa Indonesia. Ini karena presidennya dari UGM. Begitu pula Mensesneg, Menteri Perhubungan, Menteri PU dan juga Menteri Luar Negeri lulusan UGM.
Tito lantas menceritakan kisahnya setamat dari SMA 2 Palembang tahun 1983. Ia mendaftar masuk perguruan tinggi UGM jurusan HI lewat Perintis I. Ia dinyatakan diterima dan berada di ranking 4. “Cita-cita saya menjadi diplomat. Syukur nggak jadi, karena pasti kalah dengan bu Retno. Bu Retno ini orang hebat,” tuturnya.
Sedang lewat Perintis III, Tito remaja mendaftar di UNSRI mengambil Kedokteran. Ia pun diterima dan menempati ranking 1. Demikian pula ia ikut tes STAN, dan dinyatakan diterima.
Namun, di sela-sela itu, Tito diajak teman-temannya mendaftar AKABRI. “Jujur saya nggak ngerti AKABRI. Saya tanya AKABRI itu apa? Dijawab teman, pokoknya kalau mau jadi gubernur harus lewat situ. Pada waktu itu kan gubernur banyak dari ABRI, dan saya ingin jadi Gubernur Sumsel maka saya mendaftar AKABRI,” ujarnya.
Melalui tes yang ia jalani sejak dari Palembang hingga di Magelang, Tito dinyatakan lolos. Namun saat di Magelang itu, dirinya sempat bimbang mengingat ada pengumuman bahwa dirinya diterima di UGM maupun UNSRI. Mulailah ia berkonsultasi dengan orang tuanya. Ibunya meminta agar ia masuk kedokteran saja, sementara ayahnya lebih setuju kuliah di UGM. Sedangkan dirinya mulai tertarik masuk AKABRI.
“Saya menjadi dilema antara masuk UGM atau AKABRI,” ungkapnya.
Tito lantas mencoba menghadap panitia penerimaan AKABRI dan menyatakan ingin mengundurkan diri. Oleh panitia ia diberi tahu tak sesederhana itu mengundurkan diri, karena harus mengganti biaya tes sejak dari Palembang hingga Magelang.
“Saya jadi pusing lagi. Ini belum mulai saja sudah membebani orang tua,” katanya.
Akhirnya Tito memutuskan untuk tetap masuk AKABRI. Meski begitu, hati Tito kembali sedih setelah menjalani pendidikan dasar dan menjalani tes psikologi. Ketika pengumuman penjurusan, ia dinyatakan masuk Kepolisian. Padahal dirinya berangan-angan masuk Angkatan Darat mengingat keinginannya menjadi Gubernur.
“Hati saya sedih luar biasa, sampai saya ingin keluar lagi dari AKABRI,” tuturnya lagi.
Namun, menurut Tito, setelah menjalani pendidikan di Semarang, di tahun kedua itulah Tito merasa enjoy. Dan kini, Tito menjadi orang nomer 1 di jajaran kepolisian.
Saat ramah tamah berlangsung, sebuah pertanyaan dilontarkankan oleh salah seorang mahasiswa UGM, Syahrul Mubarok. Syahrul menanyakan bagaimana cara Kapolri mengatasi celah korupsi yang bisa saja terjadi di tubuh kepolisian.
Menjawab pertanyaan itu, Tito yang pernah menjabat sebagai Asisten Perencanaan Anggaran Polri mengatakan, anggaran yang diterima Polri tahun ini mencapai Rp. 80 triliun (pada tahun lalu Rp. 73 triliun). Dari sejumlah itu, 60 persen dipakai menggaji 430 ribu personil Polri, sekitar 25 persen untuk operasional dan sisanya untuk belanja modal yakni pengadaan alat dan barang jasa.
“Nah, dari struktur ini saja kita sudah bisa melihat ini pasti ada potensi korupsi yang bisa terjadi,” kata Tito.
Kenapa? Menurut Tito, karena dengan anggaran yang hanya sekitar 25 persen untuk operasional, hanya cukup untuk Mabes Polri. “Tingkat Polda pas-pasan, Polres kurang, terlebih di Polsek sangat kurang sekali.”
Terkait dengan anggaran untuk penyelidikan sebuah kasus, Tito menerangkan bahwa Polri menerapkan sistem indeks, yaitu kasus yang sulit sekali, kasus sedang dan kasus yang dinilai mudah untuk penyelidikan. Anggaran untuk kasus yang mudah sekitar Rp. 6 juta, sementara yang sangat sulit bisa mencapai lebih kurang Rp 70 juta.
“Sekarang, misalnya, untuk kasus bom, maka biayanya bisa mencapai miliaran rupiah,” tuturnya.
Tito juga mendengar anekdot yang sering muncul di masyarakat: bila seseorang kehilangan ayam dan kalau lapor ke polisi maka jadi kehilangan kambing, mengingat harus mengeluarkan dana untuk penyelidikan. Anekdot tersebut, kata Tito, semestinya masih koma. Maka lengkapnya: seseorang kehilangan ayam, lapor polisi jadi kehilangan kambing, maka polisi akan kehilangan sapi. Kenapa bisa begitu, Tito memberi contoh sebuah kasus pembunuhan besar. Dana yang diperoleh sebesar Rp 70 juta.
Namun kasus ini mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan mendapat sorotan media, maka polisi melakukan penyelidikan besar-besaran untuk segera mengungkap. Jelas, anggaran sebesar itu tak cukup. Ya terpaksa bisa-bisa Kapolda harus mengeluarkan uang gajinya untuk membiayai penyelidikan agar segera selesai, daripada digebukin masyarakat.
“Nah ini namanya polisi kehilangan sapi,” tuturnya.
Mestinya, menurut Tito, anggaran operasional untuk penyelidikan àdalah seperti yang berlaku di KPK. Artinya setiap kasus yang masuk dan ditangani, maka anggaran operasionalnya semua ditanggung negara. Sementara kalau di kepolisian beban kekurangan dilimpahkan ke penyidik.
Namun kalau diberlakukan seperti KPK, sementara kasus yang ditangani polisi bisa mencapai ribuan, kata Tito, apakah negara mampu? “Makanya diberlakukan sistem indeks mana yang prioritas,” tegas Tito lagi. [YUK]