Bung Karno ketika menghadiri Kongres PNI di Purwokerto, 1963. Foto: januarsw.com

Sosialisme  Indonesia adalah konsep rakyat untuk kebahagiaan rakyat.  Sosialisme adalah konsep yang menyertakan rakyat pekerja dan alat produksinya sehingga rakyat merasa ikut dalam merasakan suka-duka mengatasi kebutuhan bersama. Masyarakat sosialis adalah tujuan jangka panjang revolusi Indonesia.

Bung Karno saat memberi kuliah umum di Yogyakarta tahun 1959 mengatakan, sosialisme adalah suatu keharusan historis. Masyarakat sosialis itu akan datang dengan sendirinya secara evolutif:  manusia bertumbuh dan berkembang dari masa primitif hingga menuju masyarakat modern seperti sekarang ini.

Dalam kesempatan lain, Bung Karno mengatakan, nasionalisasi belum merupakan sosialisme. Karena itu, Indonesia belum merupakan negara sosialis. Nasionalisasi dan Indonesiasi itu hanya batu loncatan menuju “the social conscience of man” untuk mencapai suatu masyarakat yang makmur, yang adil, tanpa exploitation de l’home par l’home.

Dalam amanatnya pada rapat raksasa di Alun-Alun Purwokerto, Jawa Tengah, 28 Agustus 1963, Bung Karno mengibaratkan negara yang dicita-citakan para leluhur itu sebagai sebuah negara yang “gemah-ripah, toto tentrem, karto-raharjo, loh-jinawi, subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku; poro kawulo ijeg rummaging ing gawe, tebih saking cecengilan, adoh saking laku juti, wong kang lumaku dagang rinten-dalu tan wonten pedot e, labet saking tan wonten sangsayaning margi;  bebek ayam rojokoyo, enjang medal ing pangonan, surup balik ing kandang e dewe-dewe!

Menurut Bung Karno, ada kalanya warisan pemikiran dan warisan sosial dari leluhur kita tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Tapi tidak semua.  Apa yang harus kita kesampingkan sampingkanlah. Apa yang bisa kita sempurnakan sempurnakanlah. Tetapi, alangkah berbahayanya bila kita beranggapan segala apa yang asli Indonesia, warisan pemikiran, dan warisan sosial itu adalah barang lapuk dan tidak layak lagi. Sikap yang demikian sungguh berbahaya. Karena, tanpa warisan pemikiran dan warisan sosial itu, kita seakan hidup dalam kekosongan, tanpa budaya masa lampau. Hidup dalam kekosongan seperti itu  adalah hidup tanpa landasan nasional, hidup ontworteld tanpa akar, hidup uprooted from our origin.

Bangsa yang demikian itu hidup kleyang-kleyang gumantung, tanpa cantelan. Bangsa begitu tidak hanya kehilangan dasar yang sehat untuk bertumbuh, tanpa bumi, tanpa sumber, akan tetapi lebih daripada itu, ia mau tak mau, besok atau lusa, niscaya akan menjadi permainan ajang kelananya kekuatan-kekuatan asing, di lapangan politik, ekonomi, sosial, dan  kebudayaan. Wajahnya bukan satu cerminan dari dirinya, tapi adalah wajah bangsa asing.

Sumber kekuatan kita adalah dalam semangat dan jiwa bangsa, dalam sejarah nasional yang kita warisi dari nenek-moyang. Segala yang diwariskan mereka menjadi pembakar dari perjuangan bangsa ini menuju gema-ripah toto tentrem, karto-raharjo, loh-jinawi.

Itulah sosialisme yang dinamakan our-socialism, yang kedengarannya kuno, tetapi ini adalah satu cita-cita kesamarasaan, kesamarataan. Inilah keadilan negara yang dinamakan dworowati yang panjang-punjung, panjang pocapan e, punjung kawibawan e. Ini adalah sosialisme yang hidup dalam masyarakat—dan kata Bung Karno, ia justru belajar dari masyarakat—satu masyarakat yang adil dan makmur tanpa eksploitasi manusia atas manusia, persahabatan seluruh manusia di dunia, hilangnya imperialisme, hilangnya kolonialisme, hilangnya penjajahan, hilangnya kapitalisme di seluruh dunia.

Beberapa bulan sebelumnya, 20 Mei 1963, dalam rapat raksasa di Alun-Alun Bandung, Jawa Barat, Bung Karno mengatakan, sosialisme itu bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tapi haruslah dibina terus-menerus untuk mencapai Sosialisme Indonesia. Juga di MPRS, Bung Karno dalam pidatonya mengatakan: “Jangan dikira sosialisme itu bisa diadakan dengan teror, dengan membakar mobil. Tidak! Kita harus berusaha menyusun alam, yang dinamakan alam sosialisme. Kita juga tidak bisa sekonyong-konyong memohon “Ya Allah, Ya Rabbi, minta diturunkan sosialisme supaya gema ripah lohjinawi, tata tentrem kerta-raharja. Innallaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bianfusihim, Allah tidak akan mengubah nasibmu, sebelum engkau sendiri mengubah nasibmu.”

Jadi, sosialisme adalah hasil daripada perjuangan suatu bangsa. [*]