Ilustrasi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Sejak tiga tahun terakhir kebiasaan Suwarto setiap pagi berubah total. Usai sembahyang Subuh, dia tak lagi santai. Sementara menunggu sang istri menyiapkan sarapan, warga Bojongsari, Purbalingga itu memanaskan mesin sepeda motor sembari memandikan dan mempersiapkan seragam sekolah si sulung.

Beres dengan sarapan, biasanya si sulung langsung nangkring di motor dan sang istri menyusul membonceng. Si bungsunya yang belum sekolah biasa lebih takzim dengan suguhan kartun pagi di televisi.

Mirip ojek, rutinitas pagi Suwarto tetap. Mengantar si sulung sampai sekolah lalu berputar arah mengantar sang istri ke tempat kerja. Keduanya wajib masuk paling lambat jam tujuh pagi, sama-sama penting dan tidak menerima alasan terlambat.

Menikahi Hartini tujuh tahun silam, Warto dikarunia dua anak laki-laki. Sulungnya kelas 1 SD, dan si bungsu baru berumur empat tahun. Tiga tahun lalu, Hartini yang tamatan SMK iseng-iseng mengirim lamaran ke satu pabrik bulu mata atau idep asal Korea di Purbalingga. Tak dinyana dia diterima dan langsung bekerja. Praktis sampai siang, mengurus anak-anak jadi tanggung jawab Suwarto.

Tak repot-repot amat sebetulnya, toh semua sudah disiapkan istri mulai dari popok, susu, hingga pakaian ganti dan Suwarto tak menganggapnya sebagai masalah. Itu cuma soal bagi peran saja katanya.

Ekonomi keluarga Suwarto sebenarnya tak buruk-buruk amat hingga Hartini harus bekerja. Penghasilan Suwarto dari sawah cukup untuk hidup, belum lagi tambahan dari usaha tebasan yang serius ia tekuni beberapa tahun terakhir. Ia menjadi tukang tebas jagung, beras, singkong dan hasil-hasil tani lainnya.  Untuk mengurangi kesibukannya di pagi hari Warto juga sudah mematok rencana. Kredit motor untuk istrinya.

“Agar tak perlu antar jemput lagi. Si bungsu sama neneknya dan saya bisa ngerjain yang lain,” kata Suwarto pekan lalu di rumahnya.

Di Purbalingga, Jawa Tengah khususnya di sekitar pabrik bulu mata, dalam beberapa tahun terakhir fenomena istri bekerja telah terlihat menjadi lebih umum. Mereka berbagi peran domestik dengan suami. Istilahnya, “Pamong Praja” atau “Papah Momong Mamah Kerja”.

Bulu Mata
Sejak dekade 70-an pembuatan kerajinan berbahan dasar rambut sudah dikenal di wilayah ini. Menjadi berskala industri ketika beberapa pabrik bulu mata asal Korea Selatan memindahkan pabrik ke Purbalingga karena sengitnya persaingan. Di tempat asalnya mereka kesulitan mencari tenaga kerja terampil. Sukses di Purbalingga, pengusaha Korea lainnya berbondong-bondong membuka usaha serupa dan ditiru pengusaha lokal di tahun 2000-an.

Dari Purbalingga setiap bulan dikirim sedikitnya 10 juta pasang bulu mata tiruan ke seluruh dunia. Pasar utamanya adalah Amerika Utara, Eropa hingga Afrika Selatan. Tak kurang merek papan atas kecantikan dunia memanfaatkan bulu mata asal Purbalingga untuk produknya seperti L’Oréal, Shu Uemura, MAC, Kiss, Make Up For Ever, hingga Maybelline.

Beberapa selebritas dunia seperti Madonna sampai Katy Perry juga diketahui memakai bulu mata tiruan dari Purbalingga. Produk Eyelure yang dipakai Katy Perry adalah varian bulu mata milik PT Royal Korindah, pionir perusahaan bulu mata di Purbalingga. Kapasitas produksi bulu mata di Purbalingga itu hanya kalah dari industri serupa di Guangzhou, Cina.

Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga saat ini setidaknya ada 33 pabrik bulu mata palsu dengan skala industri 18 di antaranya milik asing. Jumlah itu belum termasuk 260 plasma yang tersebar seantero Purbalingga. Mereka setor hasil produk setengah jadi ke pabrik besar dengan model kerja sama. Tak kurang 58 ribu tenaga kerja lokal terserap di industri itu, belum menghitung pekerja borongan yang dipekerjakan plasma atau pengepul.

Menjadi buruh di pabrik bulu mata syaratnya tak sulit-sulit amat. KTP atau ijazah tak menjadi syarat utama, asal bisa ngidep ijazah bisa menyusul. Mereka yang bekerja di pabrik tak hanya ibu rumah tangga, banyak lulusan SMP memilih bekerja di pabrik bulu mata dibanding melanjutkan sekolah.

Sayangnya, serapan tenaga kerja dalam jumlah besar itu didominasi tenaga kerja perempuan. Pekerja laki-laki kurang dari separuhnya. Dengan latar belakang wilayah pedesaan yang konservatif perbandingan timpang itu jelas membawa dampak sosial. Salah satunya yakni tingkat perceraian yang tinggi di kabupaten itu. Tahun 2014 angka perceraian mencapai 2.349 perkara dan naik menjadi 2.621 perkara di tahun berikutnya. Mengkhawatirkan, karena angka itu mencakup hampir 25 persen dari jumlah pernikahan pada periode yang sama.

Data dari Pengadilan Agama Purbalingga menyebut sebagian besar perkara perceraian itu didominasi perkara cerai gugat. Perkara jenis ini merupakan perceraian yang gugatannya diajukan oleh pihak istri. Tahun 2015, tercatat 1.667 perkara cerai gugat dari pihak istri dan hanya 610 perkara merupakan cerai talak dari pihak suami. Penelitian Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2014 menyebut tingginya angka perceraian itu disebabkan tulang punggung keluarga beralih dari suami ke pihak istri.

Sinyalemen itu ditolak Syarif Rohmat, warga Brobot, Bojongsari. Ia menyebut pernikahannya  yang menginjak tahun ke-11 toh aman-aman saja. Punya tiga momongan, istri Syarif bahkan sudah bekerja di pabrik bulu mata sebelum menikah. “Itu tergantung orangnya. Kalau memang niatnya cerai yang cerai saja nggak perlu gara-gara istri bekerja,” kata Syarif.

Ia juga mencontohkan beberapa rumah tangga tetangganya yang juga baik-baik saja meski istrinya juga bekerja. Ia menyebut kalaupun ada tetangganya yang bercerai masalah utamanya bukan karena sang istri bekerja.

Syarif mengaku di masa-masa awal pernikahan dan punya momongan ia kesulitan bagi waktu antara pekerjaan dan anaknya yang masih balita. Belakangan ia meminta bantuan ibunya, ia rutin datang setiap pagi membantunya mengurus sang anak. Tak terlalu merepotkan karena rumah orang tuanya hanya sejarak lemparan batu. Ketika anak-anak mulai bersekolah kerepotan sudah jauh berkurang dan Syarif bisa fokus pada usaha bengkel motornya. [TGU]