Koran Sulindo – Pada sidang ketujuh kasus skandal korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/4), mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Anas Urbaningrum, dihadirkan sebagai saksi. Karena, Anas disebut-sebut menerima uang US$ sebesar 500 ribu dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Uang tersebut kemudian digunakan Anas dalam Kongres Partai Demokrat untuk pencalonan dirinya sebagai ketua umum partai. Keterangan semacam itu juga pernah disampaikan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin.
Dalam kesaksiannya, Anas membantah tudingan tersebut. Juga membantah adanya aliran uang hasil korupsi e-KTP ke dalam kongres Partai Demokrat. “Kalau dari e-KTP, saya pastikan tidak ada,” kata Anas.
Aliran uang untuk Kongres Partai Demokrat, lanjutnya, telah dibuktikan dalam kasus korupsi proyek Hambalang, yang menjerat dirinya sebagai terpidana. Dalam sidang tersebut, tambahnya, keterangan para saksi dan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan menguatkan adanya uang korupsi proyek Hambalang yang mengalir ke sana. Dengan demikian diputuskan kongres Partai Demokrat turut dibiayai uang hasil korupsi. Namun, ketika itu tak disebut-sebut soal proyek e-KTP. “Buat saya aneh ketika ada peristiwa dengan jalan cerita yang berbeda,” tutur Anas.
Menurut Hakim ketua Jhon Halasan Butar-Butar, pihaknya memiliki sumber informasi yang mengatakan Anas mendapatkan uang.
“Itu bukan fakta, yang Mulia. Itu keterangan fitnah. Itu fiksi dan fitnah,” ujar Anas. Lagi pula, kata Anas lagi, dirinya tidak mengetahui teknis penyelenggaraan kongres Partai Demokrat karena ada tim teknis yang menangani, termasuk soal penganggaran.
Untuk pemenangan dirinya sebagai ketua umum, lanjutnya, ada tim kampanye dan relawan yang memiliki anggaran tersendiri. Biaya itu, dihimpun secara gotong royong. “Ada tim relawan yang sukarela menghimpun sebuah tim, tim konsolidasi,” ungkap Anas.
Ia mengaku menemukan kejanggalan kronologi dalam surat dakwaan yang dihimpun Jaksa KPK. Karena, usulan anggaran e-KTP baru dibahas pada Mei 2010 dan pembahasan intensif mulai dilakukan Agustus dan September 2010. Sementara itu, dalam dakwaan disebutkan ada pemberian uang kepada Anas pada April 2010. Jadi, bagaimana mungkin uang sudah diserahkan sementara acuan pelaksanaan proyeknya belum dibahas. “Kok khusus Anas ada uang cukup besar dan ditaruh di ruang bendahara fraksi? Mudah dilacak dengan CCTV, waktu itu apa betul ada uang Rp 20 miliar, berapa koper ke ruang bendahara pas bulan April?” kata Anas.
Dakwaan jaksa menyebutkan, Anas menerima 11% dari anggaran poyek e-KTP, yakni Rp 574,2 miliar. Kemudian, Anas kembali mendapat bagian uang dari Andi agar Komisi II DPR dan Badan Anggaran DPR menyetujui anggaran untuk proyek pengadaan dan penerapan e-KTP. Anas mendapatkan US$ 500 ribu, yang digunakan untuk biaya akomodasi kongres Partai Demokrat di Bandung.
Andi kembali memberi uang US$ 3 juta kepada Anas pada Oktober 2010. Lalu, pemberian uang berikutnya kepada Anas dilakukan sekitar Februari 2011, sebesar Rp 20 miliar. [RAF]