Pasukan Rusia di Mariupol. Pakar militer mengatakan Moskow menghadapi kerugian pasukan dan peralatan yang tidak berkelanjutan di Ukraina setelah serangkaian kemunduran. (Sumber: The Guardian)
Pasukan Rusia di Mariupol. Pakar militer mengatakan Moskow menghadapi kerugian pasukan dan peralatan yang tidak berkelanjutan di Ukraina setelah serangkaian kemunduran. (Sumber: The Guardian)

Saat Vladimir Putin melancarkan Operasi Militer Khusus terhadap Ukraina, ia berharap dapat menguasai Kyiv dan menggulingkan pemerintahan Volodymyr Zelenskyy dalam sebuah serangan singkat.

Di tahap awal perang, Moskow yakin akan bisa meruntuhkan perlawanan Ukraina dengan menimbulkan kerusakan sebesar mungkin.

Akan tetapi, perlawanan serangan sengit Ukraina ternyata begitu mengejutkan. Pasukan Rusia juga mengalami 6 masalah yang terbukti menggagalkan upaya untuk menjatuhkan Kyiv.

Apa saja masalah-masalah itu? Berikut ini adalah pembahasannya, merangkum dari buku berjudul Ukraina: The Road to Armageddon oleh Nino Oktorino.

1. Barat Membantu Ukraina

Dua hari setelah serangan, Amerika Serikat mengumumkan pemberian bantuan senjata mematikan, termasuk rudal anti-tank dan rudal anti-pesawat terbang, senilai USD350 juta.

Uni Eropa memberikan bantuan pembelian senjata mematikan senilai USD502 juta dan tambahan suplai lainnya senilai USD56 juta.

Pada minggu pertama perang, negara-negara anggota NATO mengirimkan lebih dari 17.000 rudal anti-tank dan sekitar 4.600 rudal anti-pesawat terbang ke Ukraina.

Hingga awal April, Ukraina tercatat telah mendapatkan sekitar 25.000 rudal anti-tank dan 16.000 rudal anti-pesawat terbang dari Amerika Serikat dan sekutunya.

Dan sebagian berkat bantuan Barat, Ukraina telah meningkatkan kemampuan pertahanan udaranya. Pesawat-pesawat terbang dan helikopter Rusia segera dihadapkan dengan ancaman mematikan dari rudal jinjing anti-pesawat Stinger, sistem rudal permukaan ke udara S-300 dan sistem lainnya.

Keberhasilan pertahanan udara Ukraina membuat pesawat-pesawat terbang Rusia tidak lagi leluasa beroperasi di atas sebagian besar wilayah yang dikuasai Ukraina.

Hingga bulan Juni 2002, angkatan udara Rusia sendiri diperkirakan telah kehilangan sekitar 36 pesawat tempur dan 50 helikopter.

2. Masalah Logistik

Pasukan Rusia menghadapi masalah logistik besar. Mereka bergantung pada kereta api untuk mendapatkan sokongan.

Contohnya, di tepi barat Dnipro, tidak ada jalur kereta api yang dapat digunakan. Keadaan di tepi timur sungai tersebut juga tidak lebih baik.

Agar dapat menggunakan dua jalur kereta api utama yang ada di sana, pasukan Rusia harus merebut Chernihiv dan Nizhyn terlebih dahulu. Kedua tempat merupakan kota besar dan diperlukan waktu berbulan-bulan untuk dibersihkan.

Di depan Kyiv, masalah logistik yang dihadapi pasukan Rusia semakin membengkak.

Tanpa akses terhadap jalur transportasi kereta api dengan jalan yang dipadati kendaraan militernya, pasukan daratk Rusia gagal memindahkan bahan bakar, amunisi, suku cadang, dan peralatan lainnya dengan cepat dan efisien ke unit-unit terdepannya.

Garis perbekalan tidak dapat mengikuti kecepatan desakan pasukan tempur yang berada jauh di depan, sementara kendaraan logistik tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.

3. Kekurangan SDM

Militer Rusia kekurangan sumber daya manusia—khususnya infanteri. Mereka juga melemah akibat pembentukan sebuah pasukan yang setengah dimobilisasi.

Akibatnya, tentara Rusia hanya cocok untuk suatu perang singkat yang dahsyat sementara kurang mampu menanggung suatu konflik konvensional besar pada tingkat “masa damai”.

Dengan mengerahkan pasukan yang berjumlah antara 150.000 hingga 190.000 orang prajurit reguler dan milisi, Rusia jelas tidak memiliki kekuatan memadai untuk menaklukkan Ukraina, sebuah negara seluas lebih dari 600.000 kilometer persegi dan berpenduduk sekitar 44 juta orang yang menentang penyerbu dengan berbagai cara.

Dengan rasio perbandingan empat orang prajurit Rusia per 1.000 orang Ukraina, pasukan Rusia pun terlalu kecil untuk menguasai daerah—termasuk kota-kota—Ukraina dalam waktu lama.

4. Lemahnya Struktur Komando

Struktur komando Rusia juga bermasalah. Rusia mengelola kampanye militernya terhadap Ukraina dari Moskow, tanpa panglima perang lapangan yang terpusat.

Alih-alih berada di bawah satu komando kesatuan yang lebih sederhana, pasukan penyerbu memiliki empat komando yang berasal dari empat daerah yang berbeda di Rusia.

Keadaan itu diperburuk oleh sikap para jenderal Rusia yang memilih untuk menunjukkan kebriliannya dengan bergantung pada unsur kecepatan dan pendadakan guna merebut kota-kota kunci dengan hanya mengandalkan sedikit pasukan dan bahkan tanpa peduli untuk meraih kontrol di angkasa.

Sementara itu para komandan di tingkat yang lebih rendah kurang memiliki wewenang maupun inisiatif untuk memodifikasi misi awal unitnya, bahkan ketika menghadapi ancaman.

Kemampuan Rusia untuk melancarkan operasi-operasi gabungan juga buruk akibat kurangnya pengalaman para komandan mereka untuk bertempur dalam perang konvensional berskala besar.

Tidak seperti Amerika Serikat yang telah terlibat dalam sejumlah perang besar konvensional pasca-Perang Dingin, perang besar terakhir Rusia melawan sebuah tentara yang terorganisasi adalah perebutan Manchuria dari Jepang pada tahun 1945.

Para pemimpin militer-politik Rusia tidak benar-benar mengerti perubahan yang telah terjadi di Ukraina sejak tahun 2014.

Kepemimpinan yang buruk dalam tentara Rusia, struktur komando dan kontrol Rusia yang terlalu terpusat, serta kekurangan korps bintara profesional juga menggagalkan Rusia untuk menyerang secara efektif.

Ada juga tanda-tanda merosotnya profesionalisme dalam korps perwira Rusia, termasuk melarang para pengemudi mengungsikan para prajurit yang terluka agar tidak mengurangi kendaraan militer.

5. Teknologi yang Ketinggalan Zaman

Menurut standar modern, kendaraan lapis baja yang dikerahkan Rusia di medan tempur Ukraina sudah tua dan usang.

Sebagai contoh, tank tempur utama yang digunakan Rusia dalan serangannya adalah T-72, versi yang diproduksi sejak tahun 1970-an atau 1980-an.

Berusia lebih dari 40 tahun, tank-tank tersebut secara khusus rapuh di bagian atas, di mana drone Bayraktar menghabisi mereka.

Baja reaktifnya juga model lama, yang rapuh terhadap hantaman rudal anti-tank dengan hulu ledak tandem.

Ketidakbecusan dan korupsi dalam militer Rusia juga menimbulkan blunder dalam perang. Ada laporan bahwa tidak semua peluru meriam tank yang ditembakkan ke pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporozhskaya mejan karena sudah terlalu usang.

Sementara itu, di abad ke-21, di mana satelit bertebaran di angkasa, pasukan Rusia masih menggunakan peta kertas lama Soviet yang sudah ketinggalan zaman dengan kota-kota yang sudah berganti nama dan jalan-jalan yang sudah tidak ada.

Akibatnya, para prajurit kehilangan arah, sementara kendaraan dan tank mereka mogok akibat rendahnya mutu ban, terjebak lumpur, dan kehabisan bahan bakar.

6. Tidak Mengejar Superioritas Udara

Di angkasa, sebenarnya Rusia memiliki keuntungan jelas pada awal perang, di mana pesawat tempur yang dikerahkannya ke dekat wilayah perbatasan unggul dalam jumlah dibandingkan angkatan udara Ukraina dengan perimbangan tiga banding satu.

Namun, mereka tidak mengikuti doktrinnya sendiri untuk melancarkan serangan “shock and awe” versi Rusia, yang akan memampukannya membangun superioritas di angkasa dan di darat lewat pengerahan senjata secara cepat dan besar-besaran.

Alih-alih berusaha menguasai angkasa, angkatan udara Rusia terutama dikerahkan untuk memberikan dukungan udara bagi pasukan darat atau membomi kota-kota Ukraina guna mematahkan perlawanan militer musuh, melemahkan moril penduduknya, dan menghukum negeri tersebut karena berpaling ke Barat.

Padahal, selama beberapa tahun sebelumnya, Rusia telah mengembangkan sistem command, control, communications, computers, intelligence, surveillance, and reconnaissance (C4ISR) di medan laga, yang menyediakan data guna memampukan dilancarkannya serangan udara yang menyeluruh.

Sistem ini diintegrasikan ke dalam sistem yang melingkupi “reconnaissance strike complexes” Rusia—yang dirancang untuk mengoordinasikan senjata jarak jauh berpresisi tinggi yang dihubungkan dengan data intelijen yang waktunya bersamaan dan pembidikan akurat.

Untuk mengidentifikasi sasaran di wilayah yang masih menjadi ajang pertempuran, militer Rusia juga mengerahkan beberapa perangkat udara, termasuk pesawat tidak berawak.

Kegagalan Rusia menguasai angkasa di atas Ukraina memaksanya mengandalkan serangan rudal jelajah yang ditembakkan dari Rusia, Belarus, maupun kapal-kapal perangnya di Laut Hitam guna melancarkan serangan ke pedalaman Ukraina.

Selama 68 hari pertama perang, Rusia tercatat telah menembakkan 2.125 rudal jelajah ke sasaran-sasaran berupa infrastruktur militer, pengiriman senjata dari Barat, fasilitas bahan bakar, jembatan, dan bahkan target sipil.

Namun, mereka segera mengalami tantangan logistik berupa menipisnya stok rudal jelajah. Demikian juga dengan bom berpemandu laser dan satelit.

Akibatnya, mereka semakin sering menggunakan peluru meriam, roket, dan rudal tidak berpemandu untuk menghantam sasaran di pedalaman.

Pesawat-pesawat tempur Rusia juga dilaporkan melancarkan sortie hariannya tidak lagi di atas langit Ukraina, melainkan dari ruang udara Rusia guna menghindari ancaman sistem pertahanan udara musuh.

Itulah 6 masalah yang menggagalkan Operasi Militer Khusus Rusia di Ukraina. Apa yang akan terjadi di medan perang pada masa mendatang tergantung pada strategi Putin selanjutnya. [BP]