535 Juta Anak di Dunia Tinggal di Daerah Konflik, Data Terbaru Unicef

Kakak-beradik warga Syria di bermain di reruntuhan bangunan, Desember 2015. Foto: Unicef (Al-Issa)

Koran Sulindo – Seperempat dari total jumlah anak di seluruh dunia saat ini tinggal di daerah konflik. Ini adalah rekor tertinggi dalam 70 tahun terakhir. Demikian data terbaru yang dirilis United Nations Children’s Fund (Unicef). Jadi, ada kurang-lebih 535 juta anak di dunia yang tinggal di negara konflik atau terkena imbas bencana.

Diungkapkan Direktur Eksekutif Unicef Anthony Lake, mayoritas dari anak-anak kurang beruntung tersebut tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan berkualitas, nutrisi yang mumpuni, dan perlindungan terhadap kekerasan. Kawasan dengan rekor terburuk ada DI Afrika Subsahara. Nyaris tiga perempat (393 juta jiwa) dari populasi anak di dunia tinggal di regional tersebut dan terpapar kondisi darurat konflik atau bencana. “Selain Afrika Subsahara, kawasan lain yang ‘tidak ramah anak’ adalah Timur Tengah dan Afrika Utara. Sejumlah 12 persen dari total jumlah anak di dunia tinggal di kedua kawasan tersebut,” kata Lake.

Rencananya, laporan tersebut akan dilansir serentak di dunia pada Ahad besok (11/12), yang juga menjadi bagian dari peringatan kiprah Unicef selama lebih dari 70 tahun dalam memberikan bantuan bagi anak-anak yang terpapar konflik, kemiskinan, krisis, ketimpangan, dan diskriminasi. “Kami didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menolong dan memberi harapan bagi anak-anak yang hidup dan masa depannya terancam konflik dan krisis. Laporan terbaru yang memecahkan rekor ini adalah alarm pengingat bahwa misi kami semakin urgen setiap hari,” ujar Lake.

Catatan Unicef memperlihatkan; konflik, bencana alam, dan perubahan iklim telah menyebabkan ratusan juta anak kehilangan rumah dan menjadi pengungsi, terjebak di zona rawan, serta rentan terdampak penyakit mematikan, kekerasan, dan eksploitasi. Lake memaparkan, saat ini hampir 50 juta anak di seluruh dunia tercerabut. Sebagian besar dari mereka terpaksa meninggalkan rumah dan mencari suaka di tempat lain karena konflik parah di negara asal mereka. “Seiring dengan memburuknya konflik di Suriah, jumlah anak yang terjebak di zona merah naik dua kali lipat dalam waktu kurang dari setahun terakhir. Nyaris 500.000 anak tinggal di areal terkepung konflik di negara itu dan terputus dari bantuan kemanusiaan,” tuturnya.

Di Nigeria juga terdapat sekitar 1,8 juta orang tercerabut, yang nyaris 1 juta jiwa di antaranya adalah anak-anak. Di Afganistan, hampir 50% dari anak-anak usia sekolah dasar putus sekolah. Sementara itu, di Yaman, sekitar 10 jtua anak terpapar konflik langsung. Di Sudan, 59% dari poulasi anak usia sekolah dasar putus sekolah dan 1 dari 3 sekolah di negara tersebut terpaksa tutup karena terdampak konflik. “Angka besar lainnya ditorehkan di kawasan Kepulauan Karibia. Di Haiti, setelah badai Matthew menyerang negara tersebut, lebih dari 90.000 anak di bawah usia lima tahun hidup dalam kekurangan dan butuh bantuan mendasar,” ujar Lake lagi.

Sejak tahun 1990 hingga saat ini, jumlah anak yang meninggal sebelum menginjak lima tahun memang telah berkurang 50% dan ratusan juta anak telah dientaskan dari jerat kemiskiann. Jumlah anak putus sekolah pun berkurang 40% selama rentang waktu 1990 sampai 2014

Kendati demikian, di balik progres tersebut, masih ada terlalu banyak anak di dunia yang mengalami ketertinggalan karena diskriminasi gender, ras, agama, etnis, kelompok, atau disabilitas. Lake mengatakan, itu adalah pekerjaan rumah terbesar warga dunia saat ini. “Kebanyakan dari mereka tinggal di komunitas yang ‘sulit diajak maju’, baik itu anak-anak yang tinggal di negara konflik maupun negara damai. Perkembangan mereka sangat krusial, tidak hanya bagi diri mereka, tapi juga bagi masa depan masyarakat mereka,” katanya. [PUR]