50 Tahun Setelah Kematian El Comandante

Fidel Castro bersama Che Guevara serta tokoh revolusioner Kuba berhasil menggulingkan rezim Batista pada 1959 [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Meksiko, Juli 1955. Dalam sebuah rumah, tampak beberapa laki-laki meriung sambil bercakap-cakap. Mereka berdiskusi secara serius membahas tentang Amerika Serikat (AS) dan apa yang terjadi di Kuba. Sambil menunggu seseorang, sebagian dari mereka serius mendengarkan ucapan seorang lelaki berkacamata.

“Sederhana saja, yang perlu dilakukan adalah kudeta,” kata pria berkacamata itu mengawali pembicaraan.

Ia merujuk atas apa yang dilakukan Ruben Fulgencio Batista Zaldivar, seorang prajurit yang kemudian mendapuk dirinya menjadi jenderal di Kuba. Batista disebut memimpin kudeta dan menang dalam sehari. Pria itu oleh karenanya menyimpulkan intinya menguasai kekuatan bersenjata – yang lainnya tidak menjadi masalah.

Akan tetapi, pria kedua menyelanya – pria yang bernama Raul Castro, kelak menjadi Presiden Kuba – bahwa ini bukan sekadar merebut kekuasaan, tapi apa yang dilakukan dengan itu. “Benar, kudeta juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip,” kata seorang pria ketiga menimpali.

Pria ketiga ini kelak tersohor sebagai El Comandante Ernesto Che Guevara. Che pria asal Argentina kelak menjadi sahabat Fidel Castro Ruz dalam memenangkan Revolusi Kuba pada 1959. Diskusi mereka berakhir ketika seorang wanita memotong percakapan dan menganjurkan untuk beranjak ke meja makan. Karena orang yang mereka tunggu akan segera datang. Ia adalah: Fidel Castro!

Percakapan tersebut merupakan cuplikan dialog film berjudul “Che” yang diproduksi pada 2008. Kisah ini berdasarkan pengalaman nyata Che Guevara ketika ikut mengangkat senjata dan bergerilya bersama Fidel untuk menumbangkan rezim diktator Batista di Kuba. Di rumah itu pula kali pertama Fidel bertemu dengan Che dan kemudian sama-sama bersepakat menempuh perang rakyat melawan Batista. Dengan kata lain, dari Meksiko pula Fidel dan Che memulai apa yang disebut sebagai: revolusi!

Berselang empat tahun dari waktu itu, mereka – para lelaki yang berkumpul di Meksiko itu – berhasil memenangkan Revolusi Kuba. Fidel bersama Che kemudian membentuk pemerintahan revolusioner beraliran sosialisme. Kemudian, kurang dari 10 tahun, sahabat Fidel itu dieksekusi oleh tentara Bolivia yang bekerja sama dengan lembaga intelijen Amerika Serikat (AS) di sebuah desa kecil pada 9 Oktober 1967.

Sudah 50 tahun peristiwa itu terjadi. Puluhan ribu rakyat Kuba turun ke jalan untuk memperingati tewasnya El Comandante.  Presiden Kuba Raul Castro tampak ikut dari massa itu. Demonstrasi itu dilakukan di kota Santa Clara. Sebuah kota yang berjarak 300 kilometer dari Havana, Ibu Kota Kuba. Negara yang pernah dipimpin Fidel Castro ini akan memperingati 50 tahun tewasnya Che Guevara selama sepekan.

Selain kepada Che Guevara, demonstrasi itu juga sebagai pengingat kepada gerilyawan lainnya yang berjuang bersama Fidel menumbangkan rezim Batista. Raul Castro menyebut mereka sebagai pejuang.

“Che tidak mati, seperti yang diinginkan musuh-musuhnya. Ia justru semakin “besar” seiring berjalannya waktu. Generasi muda semakin mengenali gagasan revolusionernya,” kata Wakil Presiden Pertama Kuba Miguel Diaz-Canel seperti dikutip Xinhua ketika mengikuti aksi peringatan itu pada Minggu kemarin.

Canel mungkin ada benarnya. Pengaruh Che Guevara meluas ke berbagai wilayah di dunia. Bahkan terkadang ia menjadi simbol dan tren revolusioner bagi generasi muda. Ia juga simbol universal dan menginspirasi perjuangan melawan imperialisme.

“Orang-orang mengingatnya sebagai sosok yang memiliki cara orisinal dalam menghadapi kehidupan. Rekan-rekannya mengenalnya sebagai orang sederhana, tulus, alamiah, orang yang mudah bersahabat, sopan dan tidak sembrono dalam menghadapi situasi yang paling sulit,” tutur Canel.

Sementara laporan teleSUR menyebutkan, Presiden Evo Morales bersama dengan kabinetnya serta tokoh-tokoh lainnya berziarah ke Desa La Higuera, lokasi Che dieksekusi. Dalam ziarah itu juga tampak adik laki-laki Che, Ramiro Guevara, bekas rekan Che dari Kuba ketika bergerilya Harry Villegas dan Leonardo Tamayo.

“Kunjungan ini membuat saya teringat akan banyak kenangan,” tutur Tamayo yang sudah mengunjungi lokasi tersebut sebanyak empat kali.

Che lahir dan besar di kota Rosario, Argentina pada 1928. Ia lulusan kedokteran. Ia bergabung dengan Fidel Castro pada 1956 untuk menggulingkan diktator Batista melalui perang gerilya. Setelah revolusi, ia ikut dalam pemerintahan sebagai menteri ekonomi dan mengawasi pelaksanaan reforma agraria. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk terus menggelorakan perang gerilya di Kongo dan kemudian di Bolivia. Di negara ini, perjalanan Che berakhir. [KRG]