5 Alasan Orang Indonesia Masih Takut dengan Komunisme

Ilustrasi orang ketakutan. (Sumber: Pexels)

Koran Sulindo – Masih banyak orang Indonesia yang takut saat mendengar kata komunisme. Ideologi ini mendapat reputasi buruk karena penerapannya yang keras di Uni Soviet, terutama pada masa Perang Dunia 2 dan Perang Dingin.

Di masa kini, Korea Utara, China, Kuba, Laos, dan Vietnam adalah negara-negara yang masih menganut komunisme, walau hanya secara teori. Hanya Korea Utara yang secara aktif tetap membuat komunisme terdengar mengerikan.

Melansir dari Britannica, secara etimologi komunisme berasa dari kata dalam bahasa Latin communis, yang berarti “bersama” atau “umum”. Meskipun istilah komunisme baru digunakan pada tahun 1840-an, visi tentang masyarakat komunis sudah ada sejak abad ke-4 SM, namun dalam bentuk-bentuk sederhana.

Bahkan setelahnya, esensi dari komunisme, yakni kepemilikan bersama atas harta dan barang-barang, dapat ditemukan dalam kehidupan umat beragama dan berkaitan pula dengan konflik militer.

Di luar negeri, komunisme modern berkembang karena terjadinya Revolusi Industri pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Di Indonesia, komunisme memperoleh nama buruknya karena keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam banyak konflik, salah satunya yang paling terkenal adalah G30S/PKI.

Walau kini komunisme tidak akan bangkit lagi, masyarakat Indonesia tetap dihantui ketakutan. Berikut adalah 5 alasan orang Indonesia masih takut dengan komunisme.

1. Pengaruh Zaman Orde Baru
Zaman Orde Baru adalah periode di mana Soeharto melakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang yang terafiliasi dengan PKI. Banyak orang dipenjara, disiksa, bahkan dibunuh tanpa melalui proses hukum.

Langkah ini tidak hanya melegitimasi pemerintahan tangan besi Soeharto, melainkan menanamkan rasa takut terhadap komunisme. Ketakutan itu hingga kini masih melekat dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia.

Akibatnya, banyak orang melakukan tindakan berlebihan yang tidak masuk akal, seperti menstigmatisasi korban-korban pelanggaran HAM berat tahun 1965, melarang buku-buku yang diduga mengandung muatan PKI, bahkan menyensor lambang palu arit di film G30S/PKI.

2. Komunisme Dianggap Identik dengan Kekerasan
Penerapan komunisme yang keras di Uni Soviet, Jerman Timur, dan Korea Utara membuat banyak orang mengidentikkan ideologi tersebut dengan kekerasan. Tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya penggunaan kekerasan adalah penyimpangan terhadap komunisme.

Mengutip analisis Yudi Santoso dalam buku The Gulag Archipelago karya Solzhenitsyn, Marx memang mengamini ide tentang penjara sebagai fasilitas untuk mengoreksi perilaku secara produktif, namun ini dilakukan dalam batas waktu yang rasional, dengan prosedur yang demokratis. Stalin mengamini bagian awal ide ini tapi memodifikasi bagian akhirnya.

Pemberangusan, pengintaian, dan eksploitasi di Uni Soviet tidak lain adalah pengkhianatan terhadap ide Marx. Inilah yang menyebabkan komunisme terdengar mengerikan dan dianggap identik dengan kekerasan.

Namun bukankah penangkapan besar-besaran yang Soeharto lakukan pada zaman Orde Baru juga merupakan tindak kekerasan?

3. Pandangan Keliru bahwa Komunisme Sama dengan Ateisme
Hingga saat ini, masih banyak orang yang beranggapan bahwa komunisme sama dengan ateisme.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, komunisme adalah ideologi yang menghendaki masyarakat tanpa kelas di mana semua properti dan kekayaan menjadi milik bersama, bukan milik individu.

Ateisme adalah penolakan terhadap pernyataan bahwa Tuhan itu ada. Karena tidak memiliki keyakinan terhadap Tuhan, ateisme bukan sistem kepercayaan maupun agama.

Secara teoritis, komunisme menentang Tuhan dan semua bentuk agama. Penolakan ini berakar dari tulisan Marx pada tahun 1844: “Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah candu bagi masyarakat.”

Marx membandingkan agama dengan candu karena dia melihat agama hanya memberi kelegaan sementara dari rasa sakit dan penderitaan, layaknya obat bius, alih-alih menghilangkan sepenuhnya. Dia lantas meyakini bahwa agama justru mengasingkan manusia dan menghambat perkembangan.

Meski sepintas terlihat mirip, nyatanya komunisme berbeda dengan ateisme. Seorang komunis belum tentu ateis, contohnya DN Aidit, Tan Malaka, dan Amir Syarifudin. Sebaliknya, seorang ateis belum tentu komunis. Pemahaman ini masih sulit diterima oleh masyarakat Indonesia.

4. Masyarakat Indonesia Malas Membaca
Merangkum dari beberapa sumber, ada beberapa penyebab yang membuat masyarakat Indonesia malas membaca, di antaranya mengikuti tradisi bertutur lisan, menganggap membaca hanya dilakukan saat sekolah, menjamurnya media sosial, keterbatasan buku-buku berkualitas, dan tidak memahami pentingnya membaca.

Malas membaca membuat seseorang cenderung mempercayai semua informasi yang didengarnya. Dengan demikian saat ada pihak tertentu yang menyebar ketakutan terhadap komunisme, seseorang akan langsung memercayainya dan ikut-ikutan takut tanpa tahu sebab pastinya.

Banyak orang akhirnya memandang aktivitas membaca buku-buku yang membahas komunisme sebagai hal tabu, kemudian melakukan penggerebekan, penyitaan, dan penyensoran. Tindakan-tindakan ini tentunya tidak mencerdaskan bangsa.

5. Komunisme Dianggap Anti Nasionalisme
Riwayat aktivitas PKI dan niat sejumlah tokohnya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis membuat banyak orang beranggapan bahwa komunisme sudah pasti anti nasionalisme.

Ini belum tentu benar, karena pada kenyataannya ada tokoh PKI yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yaitu Tan Malaka dan Alimin.

Semasa hidupnya, Tan Malaka menulis buku-buku yang kelak menginspirasi Soekarno untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu buku karya Tan Malaka yang pernah Soekarno baca adalah “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia). Tan Malaka dan Soekarno bahkan pernah bertemu, berdialog, dan berdebat secara langsung.

Alimin adalah salah satu orang yang mendirikan PKI pada tahun 1920. Meski komunis, dia aktif dalam pergerakan nasional sejak usia remaja. Dia pernah bergabung dengan Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan Insulinde. Dia bahkan pernah berunding dengan Tan Malaka di Singapura untuk melancarkan pemberontakan terhadap Belanda. [BP]