Trump dan Zelenskyy berdebat selama pertemuan di Ruang Oval, Gedung Putih pada 28 Februari 2025. (Sumber: akun YouTube resmi The White House)

Sebelum dilantik sebagai presiden Amerika Serikat pada periode kedua, Donald Trump optimis dia akan bisa menyelesaikan perang di Ukraina dengan cepat.

Pada Mei 2023, Trump berkampanye bahwa perang akan berakhir dalam 24 jam pertama masa jabatannya. Kemudian di bulan September 2024 lalu, selama debatnya dengan Kamala Harris, ia menjanjikan perang akan usai sebelum ia terpilih menjadi presiden.

Kenyataannya, perang masih berlanjut. Gencatan senjata 30 hari belum tercapai. Rusia semakin menggila, sementara presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kian putus asa.

Ketika janji 24 jam-nya ditagih, Trump menjawab, “Yah, saya agak sarkastis ketika mengatakan itu. Yang sebenarnya saya maksud adalah saya ingin menyelesaikannya dan, saya rasa, saya rasa saya akan berhasil.”

Menurut BBC, ada 5 alasan yang membuat Trump kesulitan mencapai gencatan senjata di Ukraina.

Alasan pertama adalah keyakinan Trump terhadap kekuatan diplomasi pribadinya yang dilakukan secara langsung mungkin keliru.

Trump telah lama meyakini bahwa masalah internasional apa pun dapat diselesaikan jika ia duduk bersama pemimpin lain dan mencapai kesepakatan. Ia pertama kali berbicara dengan presiden Rusia Vladimir Putin pada 12 Februari 2025. Ia menyebut percakapan selama satu setengah jam itu “sangat produktif”. Keduanya kembali berbicara pada 18 Maret 2025.

Panggilan telepon ini gagal mengamankan gencatan senjata selama 30 hari. Satu-satunya konsesi substantif yang Trump dapatkan dari Putin adalah janji untuk mengakhiri serangan Rusia terhadap fasilitas energi Ukraina. Namun, Ukraina menuduh Putin melanggar janji tersebut beberapa jam setelah panggilan telepon dengan Trump.

Kedua, Putin telah menjelaskan ia tidak ingin terburu-buru. Komentar publik pertamanya tentang negosiasi tersebut disampaikan minggu lalu dalam sebuah konferensi pers yang dilakukan sebulan penuh setelah panggilan teleponnya dengan Trump.

Putin dengan tegas menentang strategi dua tahap AS untuk mencari gencatan senjata sementara sebelum membahas penyelesaian jangka panjang. Ia mengatakan setiap pembicaraan harus membahas apa yang ia lihat sebagai “akar penyebab perang”, yaitu kekhawatirannya akan perluasan aliansi NATO dan keberadaan Ukraina, yang ia klaim mengancam keamanan Rusia.

Putin juga mengemukakan pertanyaan dan kondisi terperinci yang harus dijawab dan dipenuhi sebelum kesepakatan apa pun dapat disetujui.

Ketiga, strategi AS yang awalnya memfokuskan perhatiannya pada Ukraina mungkin telah salah dinilai. Gedung Putih meyakini Zelenskyy adalah hambatan bagi perdamaian. Para diplomat Barat lalu mengakui pemerintah Ukraina lambat menyadari seberapa besar dunia telah berubah dengan kedatangan Trump.

Namun, tekanan AS terhadap Kyiv, yang menyebabkan konfrontasi di Ruang Oval, telah menghabiskan waktu, tenaga, dan modal politik. Hal itu juga merusak hubungan transatlantik, membuat Eropa dan AS berselisih, dan menyebabkan masalah diplomatik lain.

Penyelesaian masalah-masalah tersebut membutuhkan waktu. Sementara itu, Putin duduk santai dan menikmati pertunjukan, menunggu waktu yang tepat.

Keempat, kompleksitas konflik yang sangat besar membuat penyelesaian apa pun menjadi sulit. Tawaran Ukraina awalnya adalah gencatan senjata sementara di udara dan di laut, karena ini akan relatif mudah dipantau.

Akan tetapi dalam perundingan minggu lalu di Jeddah, AS bersikeras gencatan senjata tersebut juga harus mencakup garis depan sepanjang lebih dari 1.200 km di timur. Hal itu langsung membuat logistik untuk memverifikasi gencatan senjata menjadi lebih rumit. Dan tentu saja, Putin menolaknya.

Bahkan persetujuan terhadap usulan yang lebih sederhana, yakni untuk mengakhiri serangan ke infrastruktur energi, juga bermasalah. Rincian tentang usulan itulah yang akan menjadi pembahasan utama dalam negosiasi teknis di Riyadh, Arab Saudi pada Senin (24/03/2025).

Pakar militer dan energi akan menyusun daftar terperinci tentang pembangkit listrik potensial, seperti nuklir atau lainnya, yang mungkin harus dilindungi. Mereka juga akan mencoba mengusulkan sistem persenjataan mana yang tidak boleh digunakan.

Mencapai kesepakatan untuk infrastruktur energi dan infrastruktur sipil lainnya mungkin memerlukan waktu, mengingat Ukraina dan Rusia tidak berbicara satu sama lain. Masing-masing dari mereka hanya berinteraksi secara bilateral dengan AS.

Kelima, fokus AS pada manfaat ekonomi dari gencatan senjata mengalihkan perhatian dari prioritas untuk mengakhiri pertempuran.

Trump telah menghabiskan waktu mencoba mencapai kesepakatan kerangka kerja yang memberikan perusahaan AS akses ke mineral penting Ukraina. Beberapa orang melihat ini sebagai investasi AS untuk masa depan Ukraina, namun yang lain memandangnya sebagai pemerasan sumber daya alam negara itu.

Zelensky awalnya menyetujui usulan tersebut, dengan syarat AS berjanji memberikan jaminan keamanan kepada Ukraina untuk mencegah agresi Rusia di masa mendatang. Gedung Putih menolak, dengan mengatakan kehadiran perusahaan pertambangan dan pekerja AS akan cukup menjadi pencegah.

Akhirnya, Zelensky mengalah dan menyetujui kesepakatan mineral tanpa jaminan keamanan. Namun AS belum menandatangani perjanjian tersebut dan malah berharap untuk memperbaiki ketentuannya lagi, mungkin dengan memasukkan akses atau bahkan kepemilikan pembangkit listrik tenaga nuklir Ukraina.

Mengakhiri perang bisa jadi rumit dan memakan waktu. Negara-negara Barat mengakui mereka tidak akan sampai sejauh ini tanpa dorongan Trump, tetapi kemajuannya tidak secepat atau sesederhana yang diyakininya. [BP]