Suluh Indonesia – “Sibuk UISSI, Lupa Nurani.” Itulah bunyi grafiti besar yang dipasang para mahasiswa di baliho jumbo yang tergelar di depan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat, awal Agustus lalu.
Para mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa IAIN Cirebon itu memprotes pihak rektoriat. Mereka menganggap rektor lebih sibuk mengurus transformasi lembaga dari IAIN menjadi Universitas Islam Siber Syaikh Nurjati Cirebon (UISSI) ketimbang mengurus mahasiswanya.
Beberapa sarana dan prasarana telah dibangun dan siap digunakan untuk menunjang program UISSI, yang sedia pendaftaran mahasiswa barunya akan dibuka mulai September. Target tersebut dikebut dengan dalih dalam rangka mengembangkan visi kampus yang lebih bermartabat.
Namun, menurut pihak Aliansi Mahasiswa tersebut dalam siaran persnya, pihak kampus lupa bahwa ada ribuan mahasiswa yang sedang sekarat tak mampu membayar uang kuliah di tengah karut-marut perekonomian keluarga yang menurun drastis akibat pandemi.
Pun ihwal transparansi anggaran, mahasiswa tidak diberikan akses untuk mengetahuinya. Tidak hanya itu, kata mereka, semangat UISSI tak terwujudkan pada kegiatan kampus seperti perkuliahan daring. Aplikasi smart campus sering eror, sehingga berbagai kegiatan daring tidak berlangsung mulus.
Namun, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tak peduli dengan protes tersebut. Dengan bangga dia memperkenalkan pendirian universitas berbasis online tadi di rapat dengan Komisi VIII DPR RI, di Senayan Jakarta, Kamis (2/9/2021). Seluruh kegiatan belajar di sini disebutnya akan digelar sepenuhnya online atau virtual.
“Cyber Islamic University ini kita desain seratus persen virtual. Jadi tidak ada pertemuan fisik di sana, kecuali wisuda, mungkin,” kata Yaqut seraya menyebut Hankuk University of Foreign Studies Korea Selatan sebagai rujukan kerjasama pendiriannya.
Kampus Islam online yang pendafataran mahasiswa mulai dibuka bulan ini berbeda dengan Universitas Terbuka (UT). “Ini menjadi antitesis Universitas Terbuka, ini akan seratus persen daring,” tegasnya. Pihaknya sudah melakukan studi bersama Hankuk University Korea, yang memiliki sekolah online terbesar di dunia.
Universitas Terbuka disebutnya sudah berubah menjadi fisik. Mereka sudah melakukan kegiatan perkuliahan melalui pertemuan-pertemuan fisik di gedung-gedung yang mereka dirikan. “Kampus kita sebaliknya,” sebut Menag.
Pembentukan universitas online itu, jelasnya, bertujuan mulia untuk memberikan kesempatan kepada para guru madrasah mengenyam pendidikan tingkat tinggi. Pasalnya, banyak guru madrasah tidak memiliki kesempatan kuliah karena berbagai keterbatasan mereka.
Selain menjawab tantangan zaman, pendirian kampus online itu dimaksud untuk afirmasi kepada para guru madrasah sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Pesantren. Mereka selama ini memiliki keterbatasan biaya, waktu, dan tempat, sehingga mereka tak memiliki kesempatan melanjutkan studi secara murah dan mudah.
Guru-guru madrasah, misalnya, tak sedikit yang menerima gaji hanya Rp 200-300 ribu per bulan. “Untuk kuliah ya tak mungkin, Pak. Untuk beli beras saja kurang, bagaimana kuliah,” sebut Menag menambahkan.
Hanya saja Menag tak menyebut berapa biaya kuliah di kampus online hasil transformasi IAIN itu. Dia hanya memastikan, gelar sarjana dari kampus itu diakui. “Guru-guru madrasah bisa kuliah dari rumah saja, tapi akan mendapatkan gelar sarjana yang di-recognize,” pungkasnya.
Nama kampus online itu aslinya Universitas Islam Siber Syekh Nurjati Indonesia. Lantas nama ini diinggriskan menjadi Cyber Islamic University. “Supaya agak keren,” kata Menag. Kita pun berharap, semoga ia tak hanya keren di nama saja, tapi juga tak kalah penting mesti keren di mutu lulusannya. [AT]
Baca juga