Koran Sulindo – Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis pada masanya pernah berkata tentang negeri Tiongkok: Ici repose un géant endormi, laissez le dormir, car quand il s’éveillera, il étonnera le monde (Di sinilah seekor raksasa tertidur, biarkan ia tidur, karena ketika ia terbangun, ia akan mengejutkan dunia). Beberapa abad lalu, Napoleon sudah memprediksi akan kebangkitan negeri Tiongkok .
Kini ramalan Napoleon yang bernada khawatir itu menjadi kenyataan. Tiongkok sudah menggeliat menjadi kekuatan ekonomi, politik, dan militer di pentas dunia. Tiongkok kini tumbuh menjadi kekuatan raksasa dunia baik dari segi persenjataan, politik, maupun ekonomi. Karena itu, selain Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Tiongkok kini menjadi emerging power yang sulit dibantah dalam hubungan internasional.
Buktinya dari 2008 hingga 2014, ekonomi Tiongkok berkontribusi sebesar 30 persen bagi pertumbuhan ekonomi global, atau hampir 40 persen dalam 3 tahun terakhir. Singkat kata, investasi Tiongkok di luar negeri saat ini telah memberikan kontribusi terbesar bagi ekonomi dunia. Situasi yang dialami Tiongkok tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Sejak akhir 1970-an, terutama sejak kematian Mao Tse Tung pada 1976, Deng Xiaoping yang memimpin Tiongkok kala itu mulai menerapkan politik ekonomi terbuka.
Deng menyebutnya sebagai reformasi kapitalisme atau restorasi kapitalisme. Salah satu ucapan Deng yang terkenal saat itu berbunyi: “Tidak penting kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus”. Maksudnya, apapun sistem ekonomi yang diterapkan, kapitalisme sekalipun, harus membuat pertumbuhan ekonomi Tiongkok meningkat pesat. Meski kebijakan tersebut berdampak luas terhadap rakyatnya, seperti kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar di masyarakat Tiongkok.
Lalu, pada tahun ini, pemerintahan revisionis Tiongkok di bawah Presiden Xi Jinping memperingati 40 tahun restorasi kapitalisme di negeri itu. Dan Jinping memastikan, tidak ada yang bisa mendikte kebijakan pembangunan negaranya. Selain memperingati restorasi kapitalisme itu, pernyataan Jinping tampaknya sebagai penegasan terhadap AS yang menjadi seteru utama Tiongkok hingga saat ini.
Dalam pidatonya, Jinping berjanji untuk terus melanjutkan pembangunan reformasi ekonomi dan memastikan tidak akan mengubah sistem satu partai hanya karena dikte negara lain. Tentu saja penegasan itu ditujukan kepada AS kendati tidak menyebutnya secara langsung. Juga penting diingat, Tiongkok, kata Jinping, tidak akan menjadi ancaman kepada negara mana pun. Mengutip pernyataan Mao Tse Tung, Jinping mengatakan, tidak seorang pun bisa mendikte rakyat Tiongkok untuk melakukan apa boleh dan apa yang tidak. “Kita harus tegas apa yang harus kita ubah dan apa yang tidak dapat diubah,” kata Jinping seperti dikutip Channel News Asia pada pertengahan Desember 2018.
Akan tetapi, benarkah Tiongkok tidak menjadi ancaman dan tetap menjadi sekawan bagi negara-negara Dunia Ketiga? Sebelum menyimpulkannya, ada baiknya kita menelusuri tranformasi Tiongkok dari sekutu utama negara-negara Dunia Ketiga menjadi investor terbesar di negara-negara yang sama pula.
Nicholas R. Lardy, peneliti senior dari Peterson Institute for International Economics pada 2003 mengatakan, peningkatan pasar perdagangan global Tiongkok terjadi dalam 25 tahun sejak Deng membuka pintu politik ekonomi terbuka. Sejak itu, kata Lardy, kinerja perdagangan Tiongkok menjadi lebih kuat, meski di saat yang sama perdagangan global sedang melambat. Pada 2001 dan 2002, untuk pertama kali pertumbuhan ekonomi Tiongkok melampaui Kanada dan Inggris.
Selanjutnya pada 2003, perekonomian Tiongkok melampui perekonomian Prancis. Sejak itu ekonomi Tiongkok tercatat sebagai terbesar ketiga di dunia. Sebelum akhir 1970-an itu, kata Lardy, perdagangan komoditas Tiongkok seluruhnya direncanakan negara. Termasuk soal impor dan ekspor. Sejumlah perusahaan juga dikelola negara, terutama untuk komoditas yang berkaitan dengan rakyat. Itulah satu-satunya perdagangan resmi.
Ekspansi Tiongkok
Ekspansi perekonomian Tiongkok juga mendapat perhatian dari kolumnis kenamaan The New York Times Fareed Zakaria. Menurut Fareed dalam Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika (2015), kendati Tiongkok bukan satu-satunya negara yang memiliki cadangan devisa di atas US$ 100 miliar, tapi hanya negeri ini yang memiliki cadangan devisa mencapai US$ 2,5 triliun. Kebanyakan memang dalam bentuk mata uang dolar AS. Dan yang membedakan Tiongkok dan Amerika Serikat saat ini, adalah pemerintahnya banyak menimbun uang dalam bentuk investasi. Terutama investasi paling aman di dunia: surat utang yang diterbitkan pemerintah AS.
Sementara itu, Pao Yu Ching, profesor emeritus Marygrove College, Amerika Serikat mengatakan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok itu menjadi penting untuk dianalisis secara kritis. Terutama sejak bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001, Tiongkok memainkan peran paling penting dari negara berkembang menjadi negara maju walau “prestasi” itu kemudian meningkatkan kesenjangan baik di tingkat regional maupun di dalam negeri.
Dalam China and Chinese People in this New Phase of Imperialism, Pao Yu Ching menyebutkan, jumlah buruh industri Tiongkok meningkat pesat dari 20 juta pada 2004 menjadi 80 juta pada 2014. Dengan demikian, Tiongkok menjadi pemasok buruh industri global dan berupaya menekan secara intensif upah buruh di semua negara. Lalu, konsumen berpendapatan menengah ke atas di Tiongkok mampu membeli 24 juta unit mobil pada 2016. Jumlah ini melebihi penjualan mobil dunia pada 1979.
Selain Menyasar Asia Tenggara, ekspansi modal Tiongkok telah menancap terlebih dulu di Afrika. Investasi tersebut oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai bentuk penjajahan baru. Itu sebabnya, Barat yang masih mendominasi negeri-negeri Afrika wajar tidak menyukai perkembangan modal Tiongkok di Afrika. Apalagi perusahaan Barat disebut tidak mampu bersaing dengan perusahaan asal Tiongkok.
Investasi Tiongkok di Afrika mencapai US$ 101 miliar pada 2014. Selama tahun itu pula perdagangan bilateral mencapai US$ 221,9 miliar. Tiongkok juga menawarkan pinjaman sekitar US$ 60 miliar, termasuk US$ 5 miliar dana hibah dan pinjaman tanpa bunga dan berbagai pinjaman-pinjaman lainnya. Selain berinvestasi secara ekonomi, Tiongkok kini mulai membangun pangkalan militernya di Djibouti, Afrika dan Vanuatu, negara kecil di kawasan Pasifik.
Dari fakta itu, Pao Yu Ching menyimpulkan Tiongkok sebagai negara yang sedang berkembang menjadi kekuatan imperialis baru. Tak rasanya itu tak berlebihan bila merujuk kepada apa yang dikatakan Vladimir Lenin tentang 5 ciri imperialisme. Dalam Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme, Lenin mengatakan, ciri pertama imperialisme adalah konsentrasi produksi dan kapital telah mencapai tingkat demikian tingginya hingga membangun monopoli, yang memainkan peranan menentukan dalam kehidupan perekonomian negara kapitalis.
Kedua, berlangsung penggabungan monopoli kapital bank dengan monopoli kapital industri, atas dasar ini terbentuk kapitalisme finansial dan oligarki finansial. Ketiga, mempunyai arti yang istimewa pentingnya adalah ekspor kapital yang berbeda dengan ekspor barang dagangan. Keempat, proses monopolisasi sudah mencapai taraf terbentuknya monopoli internasional yang perkasa hingga di antara mereka terjadi pembagian daerah perekonomian dunia. Kelima, telah berakhir pembagian wilayah antara para penguasa kapitalis yang kuat. Dari 5 ciri ini, sulit memungkiri kenyataan bahwa Tiongkok kini sedang berkembang menjadi kekuatan imperialis. [Kristian Ginting]