Tunisia. (Foro: anzianiliberi.it)

Setiap tanggal 25 Juli, Tunisia memperingati hari penting dalam sejarah bangsa mereka yaitu Hari Republik. Tanggal ini bukan sekadar angka dalam kalender nasional, tetapi menjadi simbol kebangkitan rakyat Tunisia dalam menolak monarki dan membangun sistem pemerintahan republik yang mandiri.

Menurut laman National Today, pada 25 Juli 1957, melalui pemungutan suara bersejarah, rakyat Tunisia secara resmi menghapuskan monarki dan mengukuhkan berdirinya Republik Tunisia.

Hari itu menjadi titik balik dalam sejarah politik negara yang sebelumnya selama puluhan tahun berada di bawah bayang-bayang kolonialisme dan sistem kerajaan.

Pemungutan suara yang diadakan pada tanggal tersebut menandai awal baru. Tunisia yang sebelumnya berada dalam struktur monarki konstitusional akhirnya berubah menjadi negara republik.

Sosok penting dalam proses transformasi ini adalah Habib Bourguiba, pemimpin gerakan kemerdekaan yang kemudian menjadi presiden pertama Tunisia. Bourguiba memerintah selama lebih dari tiga dekade dan menjadi arsitek utama dalam pembentukan identitas nasional Tunisia yang modern.

Setiap peringatan Hari Republik, bendera nasional Tunisia dikibarkan di mana-mana, dari gedung-gedung pemerintahan, rumah pribadi, hingga tempat usaha. Seluruh elemen masyarakat, tua dan muda, ikut merayakan momen ini.

Acara patriotik seperti pameran, parade budaya, festival rakyat, dan bazar kerajinan tangan menjadi bagian dari perayaan yang meriah. Hari Republik juga ditetapkan sebagai hari libur umum nasional, memberi ruang bagi masyarakat untuk berkumpul dan meresapi makna perjuangan yang telah dilalui bangsa mereka.

Namun, kisah kelahiran Republik Tunisia tidak terlepas dari sejarah panjang yang dimulai sejak masa kolonial. Prancis secara resmi mengambil alih Tunisia pada tahun 1881, dan pada tahun 1883 status Tunisia berubah menjadi protektorat Prancis. Dalam kondisi ini, Tunisia masih memiliki struktur kerajaan, namun dengan kontrol kuat dari pemerintah kolonial Prancis.

Gerakan kemerdekaan mulai mengemuka pada tahun 1920, ditandai dengan munculnya partai politik Destour. Partai ini menjadi wadah awal bagi aspirasi rakyat untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme.

Seiring waktu, perlawanan semakin menguat. Pada tahun 1934, Habib Bourguiba mendirikan partai politik baru bernama Neo Destour. Partai ini membawa semangat baru dalam memperjuangkan kemerdekaan yang lebih tegas dan menyeluruh.

Akhirnya, pada tahun 1956, Tunisia berhasil memperoleh kemerdekaan dari Prancis. Negara ini awalnya berbentuk monarki konstitusional dengan Muhammad VIII al-Amin sebagai raja, dan Habib Bourguiba menjabat sebagai Perdana Menteri.

Namun, banyak pihak di Tunisia yang menilai sistem monarki konstitusional ini sebagai bentuk kompromi politik Prancis yang tetap mempertahankan pengaruhnya. Raja Muhammad VIII al-Amin dianggap terlalu pro-Prancis, sehingga wacana penghapusan monarki kembali menguat.

Desakan politik tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika Majelis Nasional Tunisia memutuskan untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi republik. Pada 25 Juli 1957, keputusan itu disahkan dan raja secara resmi menyerahkan kekuasaan.

Tunisia pun resmi menjadi republik, dengan Habib Bourguiba sebagai presiden pertama yang menjabat selama lebih dari 30 tahun. Pemerintahannya berakhir melalui apa yang disebut sebagai “kudeta medis”, ketika Bourguiba dinyatakan tidak mampu secara fisik dan mental untuk memimpin negara.

Hari Republik Tunisia bukan hanya tentang transformasi politik, tapi juga tentang refleksi identitas dan akar sejarah bangsa yang sangat dalam. Tunisia adalah negeri yang sejak zaman kuno telah menjadi pusat peradaban. Wilayah ini awalnya dihuni oleh suku asli Berber.

Pada abad ke-12 SM, bangsa Fenisia bermigrasi dan mendirikan koloni penting bernama Carthage. Carthage kemudian menjadi kekuatan besar yang bersaing dengan Kekaisaran Romawi, khususnya dalam Perang Punisia Kedua.

Namun, kejayaan Carthage runtuh pada tahun 149 SM setelah Romawi menghancurkannya dalam Pertempuran Carthage. Kekaisaran Romawi kemudian menguasai wilayah ini dan membawa pengaruh besar terhadap budaya, agama, serta arsitektur Tunisia. Bukti peninggalan Romawi seperti amfiteater El Djem masih berdiri megah hingga kini, menjadi saksi kejayaan masa lalu.

Setelah masa Romawi, Tunisia mengalami penaklukan oleh bangsa Arab pada abad pertama Hijriah. Islam menyebar luas dan menjadi agama mayoritas yang membentuk wajah budaya Tunisia hingga kini.

Kemudian, pada tahun 1534, wilayah ini dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah yang memerintah selama lebih dari tiga abad. Baru pada abad ke-19, Prancis mengambil alih, menjadikan Tunisia bagian dari wilayah protektorat mereka hingga merdeka pada 1956.

Pengaruh panjang dari penjajahan dan berbagai peradaban menjadikan karakter masyarakat Tunisia sangat kompleks dan beragam. Identitas Arab-Muslim mereka berpadu dengan pengaruh Eropa, khususnya Prancis, yang kuat selama 75 tahun masa protektorat.

Bahkan, kota Tunis sebagai ibu kota, memperlihatkan sintesis budaya yang menarik: masjid-masjid kuno berdampingan dengan gedung-gedung pemerintahan modern bergaya Eropa. Pasar-pasar tradisional hidup berdampingan dengan kafe dan toko modern, menjadikan Tunis sebagai salah satu kota paling menawan di kawasan Afrika Utara.

Tunisia juga menjadi tempat hidup beragam komunitas agama. Selain Muslim sebagai mayoritas, komunitas Yahudi dan Kristen telah lama hidup berdampingan di wilayah ini, menjadikan Tunisia sebagai salah satu contoh keberagaman yang lestari.

Secara geografis, Tunisia juga memiliki ciri khas yang tak kalah menarik. Sebagian besar wilayahnya diliputi oleh Gurun Sahara—gurun terbesar di dunia yang membentang dari Samudra Atlantik hingga Laut Merah.

Kata “Sahara” berasal dari bahasa Arab aḥrāʾ yang berarti gurun, dan aṣḥar yang melambangkan warna kemerahan dari dataran yang kering dan tandus. Beberapa bagian gurun memiliki nama lokal seperti Tanezrouft di barat daya Aljazair dan Ténéré di tengah Niger yang berasal dari bahasa Berber.

Sahara bukan hanya menjadi bentang alam yang megah, tetapi juga berperan penting dalam karakter geografis Tunisia, yang sebagian besar kering dan panas, namun menyimpan keindahan eksotis dan kekayaan budaya dari masyarakat gurun.

Satu hal yang tak kalah penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial Tunisia adalah minyak zaitun. Di kawasan Mediterania, minyak zaitun dikenal sebagai emas hijau. Ia bukan hanya komoditas, tapi juga bagian dari identitas kuliner masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang Tunisia tidak bisa lepas dari minyak zaitun. Setiap makanan, dari yang sederhana hingga hidangan mewah, selalu mengandalkannya sebagai bahan utama.

Secara ekonomi, minyak zaitun menyumbang sekitar 40 persen dari total ekspor pertanian Tunisia. Negara ini bahkan pernah menjadi eksportir minyak zaitun terbesar di dunia pada tahun 2015, mengalahkan negara-negara besar seperti Italia dan Spanyol.

Kejadian ini terjadi ketika dua negara raksasa minyak zaitun itu mengalami panen terburuk akibat cuaca ekstrem dan serangan hama. Namun, sayangnya, sebagian besar minyak zaitun Tunisia yang diekspor dikemas ulang di negara-negara lain dan dijual dengan label asing. Hal ini membuat Tunisia tidak mendapatkan pengakuan penuh sebagai produsen utama.

Kini, pemerintah dan pelaku industri Tunisia mulai melawan dominasi tersebut dengan melakukan kampanye pemasaran global.

Mereka mengekspor minyak zaitun dalam kemasan berlabel “Made in Tunisia” ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran konsumen global tentang kualitas dan asal-usul minyak zaitun Tunisia yang sesungguhnya.

Sejak revolusi pada tahun 2011 yang menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali, Tunisia terus berproses membangun demokrasi yang stabil.

Hari Republik Tunisia kini bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menjadi pengingat tentang pentingnya menjaga identitas, memperjuangkan keadilan, dan membangun masa depan yang lebih mandiri di tengah dunia yang terus berubah.

Dengan segala dinamika sejarah, geopolitik, dan budaya yang dimilikinya, Tunisia berdiri sebagai negara yang memiliki warisan luar biasa, baik dari segi peradaban kuno, tradisi Islam, pengaruh Eropa, maupun kebanggaan nasional modern.

Dan pada setiap tanggal 25 Juli, seluruh rakyat Tunisia kembali diingatkan akan keputusan besar yang pernah mereka ambil untuk menjadi sebuah republik yang bebas dan berdaulat. [UN]