Koran Sulindo – Ada 2.691 orang yang terindikasi sebagai bagian dari gerakan teroris di Indonesia yang sedang dipantau Badan Intelijen Negara (BIN). “Perlu saya sebut, ada 2.691 nama yang sedang dalam posisi diawasi,” kata Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto dalam acara diskusi di Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6). Dari jumlah itu, 467 di antaranya merupakan mantan narapidana kasus terorisme dan 30 orang tidak diketahui keberadaannya.
Sembilan orang di antara 30 orang itu, tambah Wawan, kemudian diketahui telah meninggal dunia dalam beberapa insiden baku tembak dengan aparat keamanan di sejumlah daerah di Indonesia. “Sebanyak 21 sisanya sampai sekarang ini masih tidak diketahui rimbanya. Ternyata, salah satunya, ya Bahrun Naim, yang sekarang di Suriah,” katanya.
Wawan juga menjelaskan, dari 2.691 orang itu ada beberapa yang sudah bertobat dan kembali ke kehidupan normal. Kendati begitu, aktivitas mereka tetap dipantau.
BIN, kata Wawan lagi, akan terus mendorong program deradikalisasi agar mereka kembali ke jalan yang benar. “Cara kami merangkul, kami merendah, itu one stop service inteligent. Itu yang yang sedang kami kembangkan di intelijen dan saya mendorong,” ujarnya.
Secara garis besar, one stop service intelligence adalah pendekatan secara personal kepada teroris. Juga upaya membimbing mereka kembali ke jalan yang benar. “Saya secara pribadi bertemu dengan teman-teman eks Afganistan, eks latihan militer Moro [Filipina], dan eks ISIS. Saya mendapatkan kepercayaan dari mereka,” tutur Wawan.
Kepercayaan adalah tahap pertama konsep tersebut. Dengan cara itu, tanpa diduga, Wawan mengaku malah banyak mendapat informasi seluk-beluk aktivitas kelompok mereka, mulai dari penyebaran pemahaman radikal dari Suriah ke Indonesia hingga metoda penyelundupan senjata.
Setelah kepercayaan didapat, kata lagi, dirinya mulai memperdebatkan dan mempertentangkan pemahaman radikal teroris itu. “Begitu mereka blak-blakan, saya peluk dia. Saya lalu bilang, ‘Hei, kita ini mau jadi bangsa gila yang akan terus menyulut dendam berkepanjangan atau mau selesai? Lupakan dan tatap masa depan.’,'” kata Wawan.
Menurut dia, kalau mereka tetap memendam dendam sejarah, kita akan kembali ke zaman Ken Arok. “Lalu apa gunanya? Padahal, kalau kita bicara, ketemu kok masalahnya. Ada hitung, mari kita hitung. Ada rembuk, mari kita rembuk bareng,” ujarnya.
Wawan juga mengungkapkan, para teroris yang mau mau bertobat harus dibantu dari sisi finansial. Misalnya memberikan pekerjaan yang disukai. Perlahan-lahan, mereka akan sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Dengan menjalankan program berbasis one stop service intelligence itu, Wawan mengklaim, deradikalisasi berhasil 95%. Hanya 5% teroris yang kembali ke kelompok lamanya. “Hanya lima persen yang gagal. Tapi, yang lima persen inilah yang terus memviralkan diri. Catatan kami, ada 46.000 akun Twitter dan 4.800 situs yang digunakan ISIS untuk memublikasikan ajaran mereka,” katanya.
Ia pun berpandangan, pendekatan melawan terorisme bukan melulu lewat penindakan hukum. Kendati tidak berhasil 100%, konsep one stop service intelligence itu bisa menjadi model baru Indonesia dalam memberantas terorisme dengan cara-cara yang lebih humanis. Karena itu, BIN berharap konsep tersebut diakomodasi juga di dalam Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang sekarang ini sedang dibahas di DPR RI. [PUR]