1965-1998: Lintasan Kenangan

Ilustrasi

Pada malam 30 September 1965, saya mendengar suara dar-der-dor dari arah rumah Jenderal A.H. Nasution. Rumah orang tua saya ketika itu memang di Jalan Teuku Umar, Jakarta, kurang-lebih hanya 150 meter dari rumah Jenderal Nasution.

Namun, pada pagi harinya, saat saya pergi ke sekolah, saya tidak melihat ada yang aneh di jalan depan rumah dan jalan-jalan lain. Jalan depan rumah sepi saja seperti biasanya.

Baru di sekolah, saya mendengar teman-teman membicarakan suara letusan senjata itu. Saya pun terlibat dengan pembicaraan mereka. Hebatnya, kita anak anak SMA sudah bisa berkesimpulan bahwa ini ulah PKI  karena yang diserang adalah rumah Jenderal A.H. Nasution, yang kita semua tahu musuh bebuyutan PKI.

Rata-rata, kawan-kawan saya, anak Menteng, memang sudah muak terhadap PKI. Karena, kader-kader PKI itu umumnya militan, provokatif, dan kasar kepada orang-orang di lingkungan mereka. Mereka juga memboikot film Amerika Serikat, musik The Beatles, dan melarang orang berambut gondrong. Jadi, saat Soeharto mengambil alih RRI dan Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma, kami semua gembira dan mendukung Soeharto.

Waktu terus bergulir. Saya sempat ikut demo bersama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Saat itu, nalar politik kami belum berjalan, sehingga tak tahu arah demonstrasi itu sesungguhnya. Apalagi, setelah 11 Maret 1966, arah demonstrasi bukan hanya ke PKI, tapi sudah ke Bung Karno, Presiden, Panglima Tertinggi, dan Pemimpin Besar Revolusi.

Memasuki pertengahan tahun 1966 dan seterusnya, kami merasakan kebebasan yang lebih luas. Bisa mendengarkan lagu-lagu The Beatles, bisa pesta dansa setiap malam Minggu, lucunya dengan pakaian lengkap jas dan dasi.Tapi, mana bisa kawan-kawanSMA zaman dulu bikin jas sendiri? Jadi, yang dipakai adalah jas bapaknya yang tua dan out of date di-vermaak di tukang jahit di Pasar Boplo atau yang lebih mahal di Pasar Cikini. Kami juga sudah bisa lagi menonton film-film Barat.

Namun, yang menyedihkan, Jakarta dipenuhi tentara. Dan, kami sebagai anak muda menjadi harus berhati-hati sekali bersikap di depan para tentara itu. Bila kami menyetir mobil dan mereka ingin menumpang, kami harus bersedia memberi tumpangan. Kalau tidak, kami akan digampar.

Begitupun kalau antre, para tentara tak mau antre, mereka akan langsung kedepan. Kalau ditegur, mereka akan menggampar orang yang menegur. Antre bensin juga begitu.

Begitu pula kalau naik angkutan umum. Para tentara tak mau membayar. Coba coba saja kondektur menagih, pasti kena gaplok.

Kalau kami pakai sepatu Beatles (yang sedang ngetren saat itu) danberambut gondrong , rambut kami langsung digunting. Jadi, bukan respek yang ada, tapi rasa takut. Memang, tidak semua tentara seperti itu, ada juga yang baik.

Kebetulan, di SMA saya banyak anak jenderal,juga banyak tetangga jenderal.Mereka dijaga oleh para tamtama. Jadinya, kalau kami mau kebut-kebutan di jalan, kami ajak tantama-tantama itu, agar kami aman dan terhindar dari tumpangan atau tempelengan tentara yang lain. Akhirnya, walau kami masih muda, kami sudah sadar bahwa “perkawanan” sangat penting, baik dengan sesama pelajar maupun ABRI sekalipun. Beberapa dari mereka masih bertemu dengan saya pada tahun 1980-an dan ada yang sudah menjadi perwira. Kami pun berkawan baik.

Demi Tuhan, ini kisah benar, bukan mengada-ada. Kawan-kawan saya pasti akan membenarkan cerita ini.

Waktu berjalan terus. Hubungan tentara dan pelajar/ mahasiswa tidak mesra. Syukurnya, secara perlahan, jumlah tentara di Jakarta berkurang. Namun, perasaan takut berubah menjadi perasaan anti-militer. Ketika saya menjadi mahasiswa, perasaan anti-militer ini juga terasa di kampus-kampus.

Saya kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di ITB, tahun 1970-an, kami bahkan konflik dengan Taruna Akabri, gara-gara pertandingan sepakbola dan biasalah mulut anak ITB, membuat naik emosi para teruna dan tawauranlah kami.Mereka ngamuk pakai kopel. Anak ITB mana bisa berantem dan kemudian kabur cerai-berai, ha-ha-ha-ha…. Namun,seorang mahasiswa ITB jurusan Elekktro angkatan 1969, Rene Louis Conrad, meninggal dunia akibat tawuran tersebut. Civitas akademika ITB marah.

Kami berdemonstrasi naik truk dari Bandung ke Jakarta dan mampir dulu ke Akabri Kepolisian di Sukabumi sambil memaki-maki, setelah itu berdemonstrasi ke rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta. Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Syarif Tando, dan rekan-rekan senior, seperti Wimar Witoelar dan Bernard Mangunsong, memimpin demonstrasi tersebut. Ketika itu, ada beberapa kawan yang mengusulkan, agar demonstrasi kami dianggap penting harus ada Arif Rahman Hakim “kedua”—maksudnya ada yang ditembak seperti mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Arif Rahman Hakim, yang wafat ditembak sewaktu berdemonstrasi tahun 1966. Tapi, tak ada satu pun dari kami waktu itu yang mau dijadikan “martir”, he-he-he-he….

Rasa sentimen terhadap militer terus berkembang. Apalagi, kemudian, mahasiswa diwajibkan ikut latihan militer atau wajib militer, yang disebut Wajib Latihan Mahasiswa (Walawa).

Sebenarnya, program tersebut merupakan hal yang positif. Tapi karena dasarnya sudah tidak senang militer, akhirnya sering kali terjadi kesemrawutan.

Berlanjut sampai saya lulus dan kemudian menjadi dosen di Fakultas Teknik UI. Ternyata, perasaan anti-militer tetap berkembang dikampus. Bahkan, lebih luas lagi menjadi anti-Golkar—kecuali mahasiswa yang mau ikut berkolaborasi dengan rezim Soeharto, yang menurut kami merupakan sikap yang pragmatis.

Saya ingat, untuk meredam masalah ini dibuatlah program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) oleh pemerintah. Ini juga sebenarnya program positif. Namun, karena dasarnya sudah sentimen, penerimaan mahasiswa terhadap program itu juga menjadi melenceng. Dari sini kemudian bersambung ke Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Sebagai dosen, saya diwajibkan ikut. Jujur saya akui, banyak hal positif di dalam program Penataran P4.

Namun, pembelaan terhadap rezim Soeharto begitu berlebihan, meski pendiskreditan terhadap masa Soekarno sudah jauh berkurang. Kemudian ada juga program Bersih Lingkungan dari rezim Soeharto. Dengan adanya program ini, kawan-kawan saya yang punya otak brilian dan jenius tidak bisa menjadi pegawai negeri karena pernah ikut berdemonstrasi tahun 1978. Bahkan, mereka yang orang tuanya dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965 diberhentikan dari tempat kerjanya. Bahkan walau hanya kakek atau neneknya dianggap terlibat pun, mereka akan mengalami nasib serupa.

Kemudian ada program Dwifungsi ABRI. Kita mengetahui, pada masa rezim Soeharto, mulai dari lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, irjen, dirjen, sekjen, sampai menteri didominasi oleh ABRI. Yang  mutakhir adalah kegiatan yang dinamakan Penelitian Khusus atau Litsus. Untuk pekerjaan dan tugas apa pun, pemimpinnya harus di-litsus.

Kebetulan, pada suatu ketika, saya menjadi kontraktor di Pertamina. Agar bisa memulai pekerjaan, saya harus lulus Litsus dulu. Tiga bulan lamanya saya harus menunggu, sehingga pekerjaan menjadi terbengkalai, tugas-tugas banyak yang dihentikan. Baru kemudian saya memperoleh clearance. Mungkin karena saya berasal dari keluarga Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan Bung Karno. Namun, kuat dugaan saya, itu karena saya mengatakan dalam proses Litsus bahwa Dwifungsi ABRI sah-sah saja selama masih dibutuhkan. Dengan berkata begitu, saya artinya tidak membenarkan pernyataan pemerintah yang mengatakan Dwifungsi ABRI harus tetap jalan selama negara ini masih hidup.

Satu hal yang selalu melekat dalam ingatan saya, tahun 1980, kami dosen-dosen UI disuruh masuk Golkar. Di Fakultas Teknik UI ada dua dosen yang menolak, yakni saya dan Sri Bintang Pamungkas.

Bintang Pamungkas memang sangat vokal. Saya tidak sevokal dia. Namun, dalam perkualiahan, saya sangat kritis terhadap pemerintah, sampai-sampai ada pejabat rektorat yang mengatakan, “Emir Moeis tidak benar, dosen teknik kok mengajari politik.” Itu sebabnya, pada tahun 1998, tatkala marak demonstrasi menentang Soeharto, saya menjadi dosen UI yang sering berorasi, mengajak orang untuk menjatuhkan rezim penguasa yang otoriter.

Bahkan, bersama-sama dosen dari fakultas lain, terutama dari FISIP UI—saya satu-satunya dari FTUI—kami melakukan demonstrasi ke DPR dan membuat seminar-seminar yang menentang rezim Soeharto. Klimaksnya: mendatangi Soeharto saat dia ke UI. Dan, seorang yang paling senior dari kami, Pofesor Dr. Miriam Budiardjo, mengusulkan ke Soeharto agar mengundurkan diri sebagai presiden—mungkin itu usulan yang pertama kali dan nekat. Kawan-kawan saat itu—Ani Kuntjoro Jakti, Abipriga, Smita Notosutanto, Akmal Taher, Mulya Lubis, Sony Panigoro, dan Faisal Basri,dan lain-lain—selalu bersama-sama melakukan kegiatan ini.

Jadi, kembali ke soal PKI, dalam rentang 1965 sampai 1998 dalam kehidupan saya, nama “PKI” selalu hilang tapi selalu juga muncul kembali.

Ada satu nostalgia lain dalam rentang waktu tersebut yang juga tak saya lupa. Suatu hari, saya sempat menonton parade drumband dari Pemuda Rakyat. Yang mengejutkan saya adalah yang menjadi mayoretnya. Dia adalah anak perempuan tetangga saya di Jalan Teuku Umar. Ibunya seorang aktivis kiri, orang Belanda keturunan Yahudi. Ayahnya orang Jawa. Wajar jika menjadi gadis yang cantik, tidak kalah cantiknya dengan Sophia Latjuba, Tamara Bleszynski, dan Ida Iasha—bahkan dia menurut saya lebih cantik dari para artis itu. Sekolahnya di St. Theresia.

Kami cukup akrab karena memang bertetangga sejak kecil. Namun, pascaG30S, dia menjadi aktivis Gereja Paulus di Taman Sunda Kelapa. Alhamdulillah, dia selamat, walaupun ayahnya ditahan dan kemudian ibunya juga.

Karena rasa kasihan, saya menjadi kerap mengunjungi dia, sampai akhirnya saya kuliah di Bandung, di ITB. Waktu terakhir kami bertemu, dia mengatakan akan pindah ke London setelah ibunya bebas dari penjara. Namun, sampai kini saya tak tahu nasib ayahnya. Semoga Tuhan memberkati mereka. Juga memberkati semua yang menjadi korban seraya memaafkan dosa-dosa mereka yang menjadi algojo pada masa rezim Soeharto. [Emir Moeis]

* Tulisan ini pertama dimuat pada Oktober 2017