Koran Sulindo – Ribuan orang rakyat Aceh memperingati 14 tahun bencana tsunami yang disebut sebagai salah satu bencana terparah dalam sejarah dunia. Tsunami besar yang disebabkan gempa bumi berkekuatan 9,1 skala richter menghancurkan banyak bangunan dan menewaskan hampir 170 ribu jiwa.
Bencana yang terjadi pada 2004 ini juga menghantam pantai Somalia dan menewaskan sekitar 50 ribu jiwa di berbagai negara. Dengan demikian, jumlah korban total yang tewas akibat bencana ini diperkirakan mencapai 220 ribu jiwa.
Seperti yang dilaporkan Channel News Asia pada Rabu (26/12), peringatan tsunami Aceh kali ini dibayang-bayangi kesedihan serupa yang menghantam pesisir Selat Sunda pada Sabtu lalu. Tsunami yang diduga karena longsoran tanah dari Gunung Anak Krakatau itu menewaskan lebih dari 400 orang dan ribuan orang terluka.
Kembali pada peringatan tsunami Aceh. Ribuan orang tampak berziarah ke pemakaman massal di Kabupaten Aceh Besar, tempat sekitar 47 ribu korban tsunami Aceh dimakamkan. Makam yang ditanami rumput dan batu-batu hitam yang dimaksudkan sebagai lambang malam.
Seorang pengunjung, Dewina mengatakan, keluarganya meupakan korban tsunami pada 2004. Namun, tidak seorang pun anggota keluarganya ditemukan dan ia yakin bahwa mereka dimakamkan di lokasi itu. Seperti Dewina, Kharuddin juga meyakini keluarganya yang hilang juga dimakamkan di tempat yang sama.
“Saya kehilangan ibu dan 3 saudara kandung saya. Saya selamat setelah melayang ke laut dan diselamatkan oleh perahu nelayan,” kata Kharuddin. “14 tahun telah berlalu dan kehidupan terus berjalan. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa.”
Pada pekan lalu, penduduk desa menemukan sisa-sisa korban tsunami 2004 yang tak jauh dari komplek perumahan yang baru dibangun di Aceh. Belasan lainnya juga ditemukan di tempat yang sama. Korban yang berhasil diidentifikasi adalah istri dari Taufik Alamsyah. Itu teridentifikasi karena surat izin mengemudi ditemukan dalam dompat yang berada di kantong celana.
Taufik Alamsyah tak percaya dengan kejadian itu. Ia bersyukur bisa menemukannya karena telah bertahun-tahun mencari dan mendoakan istrinya. “Aku sudah menunggu dan ingin melihat dengan mataku sendiri,” kata Taufik.
Taufik yang berusia 50 tahun dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil itu lalu menguburkan istrinya di belakang rumahnya. Rumah baru yang ia tempati bersama istrinya yang sekarang. Selain istri, Taufik juga kehilangan putrinya yang berusia 5 tahun bersama dengan mertuanya. Sejak 2004, Taufik sempat mengalami depresi. Ia putus asa dan selalu kembali ke rumah lamanya untuk berdoa dan berusaha menyelamatkan putrinya dari bencana itu.
“Jika ia masih hidup, mungkin sudah kuliah hari ini,” kata Taufik. [KRG]