Pengumuman Brigadir Jenderal Hartono mendapat perhatian dari media internasional. Pada 18 November 1964, misalnya, Radio Australia mengumumkan “Indonesia mampu membuat reaktor atom”.

Pada Desember 1964, Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Payung hukumnya: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom.

Pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung dilakukan pada tahun 1965. Pada Kongres Muhammadiyah di Bandung, akhir Juli 1965, Bung Karno mengatakan dalam pidatonya, “Insya Allah dalam waktu dekat ini, kita akan berhasil membuat bom atom sendiri. Bom atom itu bukan untuk mengagresi bangsa lain, tetapi sekadar untuk menjaga kedaulatan tanah air kita dari gangguan gangguan tangan jahil. Akan kita gunakan kalau kita diganggu atau diserang. Bila kita diganggu, seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakkan seluruh senjata yang ada pada kita. Sudah kehendak Tuhan, Indonesia akan segera memproduksi bom atomnya.“

Dunia gempar, terutama negara-negara Barat dan sekutu mereka. “Pernyataan ini tak boleh disepelekan,” kata Menteri Pertahanan Australia masa itu, Shane Paltridge.

Bahkan, Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak mengatakan, Malaysia merasa sangat terancam dengan pernyataan Bung Karno. Malaysia juga menyerukan agar ada penyelidikan serius terhadap reaktor nulir Indonesia.

Yang terusik dengan pidato Bung Karno juga adalah Amerika Serikat. Pemerintahnya kemudian melakukan penyelidikan diam-diam. Hasilnya, menurut mereka: kemampuan nuklir Indonesia belum mencukupi untuk memproduksi bom.

Itu sebabnya, menurut Matthew Fuhrmann dalam Atomic Assistance: How ‘Atom for Peace’ Programs Cause Nuclear Insecurity, Amerika Serikat tetap melanjutkan bantuannya kepada program nuklir Indonesia. Perjanjian kerja sama nuklir pun ditandatangani lagi antara Indonesia dan Amerika Serikat pada September 1965, dengan syarat Indonesia harus mengizinkan reaktor nuklirnya diinspeksi IAEA. Tujuannya: untuk mengendalikan Indonesia yang dikhawatirkan tak mengembalikan uranium suplai dari Amerika Serikat dan menggunakan uranium tersebut untuk membuat bom.

Namun, tampaknya, Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya masih takut dengan Bung Karno. Maka, kemudian, terjadilah Prahara September 1965. Bung Karno digulingkan dari kursi kepresidenannya. Rezim Orde Baru berdiri. Dan, Indonesia sampai kini tak memiliki bom nuklir. [Purwadi Sadim]