Finks: How the CIA Tricked the World’s Best Writers [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Munculnya sebuah buku Finks: How the CIA Tricked the World’s Best Writers yang ditulis Joel Whitney menandai 50 tahun badan intelijen Amerika Serikat (AS) menyusup ke ranah sastra dan kebudayaan. Kendati bukan pertama yang menguak hal itu, buku yang diterbitkan akhir tahun lalu mengungkap bagaimana CIA merekrut sastrawan Eropa dan di berbagai belahan dunia untuk melawan pengaruh komunisme.

Kali pertama fakta ini terungkap lewat reportase wartawan New York Times Tom Wicker pada April 1966. Kemudian, dilanjutkan oleh majalah Ramparts melalui reportase wartawannya bernama Warren Hinckle. Selanjutnya, Frances Stonor Saunders meneliti dokumen-dokumen yang termasuk “deklasifikasi” menemukan hubungan CIA dengan Congress for Cultural Freedom (CCF) yang kemudian dibukukan sebagai Who Paid the Piper? CIA and the Cultural Cold War pada 1999.

Jejak CIA melalui CCF dapat ditemui di berbagai negara termasuk Indonesia. Setidaknya lembaga ini disebut memiliki kantor perwakilan di 35 negara. Mereka juga menerbitkan lebih dari 20 majalah bergengsi dan mendanai penulis serta sastrawan ternama yang anti-komunis.

Dalam buku itu, Whitney merinci bagaimana CIA merancang operasi budaya semasa Perang Dingin. Salah satunya membongkar karya-karya sastra yang dimuat dalam majalah The Paris Review. Di majalah itu kerap memuat wawancara beberapa nama sastrawan dunia seperti Ernest Hemingway, William Faulkner, T S Eliot, Thornton Wilder dan Vladimir Nabokov. Juga menerbitkan karya fiksi dan puisi seperti Jean Genet, Samuel Beckett, Philip Larkin, V S Naipaul dan Philip Roth.

Ketika majalah tersebut diluncurkan pada 1953, salah satu dari tiga pendirinya yaitu novelis Peter Matthiessen diketahui bekerja untuk CIA. Majalah itu rupanya hanya dijadikan sebagai kedok. Pendiri lainnya, George Plimpton menyadari sumber dana majalah berasal dari CCF yang didanai CIA.

Di buku yang sama, CIA disebut terlibat langsung dalam usaha menerbitkan karya klasik sastrawan Rusia Boris Pasternak. Karyanya yang terkenal berjudul Doctor Zhivago. Ia sosok yang mengaku independen ketika Revolusi Rusia berkecamuk pada 1917. Pemerintah Uni Soviet kala itu berusaha menekannya karena karyanya itu.

CIA melakukan berbagai cara untuk mempromosikan Doctor Zhivago. Bahkan lembaga tersebut memborong ribuan bukunya agar masuk dalam daftar best-seller. Dari situ kemudian, CIA melobi panitia Nobel agar sosok Paternak mendapatkan Nobel Sastra. Meski akhirnya Paternak mendapatkan Nobel Sastra, ia kemudian menolaknya.

Selain di Eropa, dalam bukunya itu, Whitney juga menuliskan secara gamblang bagaimana CIA menyusup ke Amerika Latin lewat majalah del Congreso por la Libertad de la Cultura atau sering disebut sebagai Cuadernos. Ini dimaksudkan untuk menangkal pengaruh Revolusi Kuba yang dilandasi semangat marxisme. Majalah ini pada akhirnya mampu membujuk kelompok kiri radikal agar yakin bahwa AS pernah melakukan sejumlah kebaikan di Amerika Latin.

Tampaknya, wacana di publikasi mampu meredam kebencian orang-orang kiri moderat terhadap AS. Memang, orang-orang kiri moderat ini secara praksis tidak terlalu komunis. Setelah Revolusi Kuba, orang-orang seperti inilah yang menjadi target CIA. Ketimbang berhadapan langsung dengan kiri radikal, CIA justru memilih “bersekutu” dengan kelompok penulis “kiri” moderat yang dapat menjangkau lebih banyak orang.

“Itu sebabnya, kenapa operasi kebudayaan penuh kerahasiaan. Tanpa diskusi publik mengenai tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya, tidak akan ada akuntabilitas, dan kamu bisa leluasa mengganti-ganti targetnya,” kata Whitney dalam sebuah wawancara di vice.com pada awal tahun ini.

Whitney mengatakan, alasan CIA merekrut penulis “kiri’ seperti Gabriel Marquez karena mereka ingin menjadi wasit dari berbagai perdebatan intelektual antara kiri progresif dan kiri moderat terutama di bidang sastra dan kebudayaan. Majalah yang mereka bangun itu kemudian menjadi wasit yang selalu memenangkan salah satu pihak. Maka, tidak usah heran ketika kiri moderat selalu menguasai pemberitaan media massa ketimbang kiri progresif yang anti-perang justru terpinggirkan.

Kata Whitney, ini mirip semacam trik Kuda Troya, ketika mereka menggunakan figur Garcia Márquez, peraih Nobel dengan karyanya One Hundred Years of Solitude itu. Sastrawan yang dibina CIA selalu menguasai debat kebudayaan, semisal selama Revolusi Kuba. Tentu hal ini terkesan alamiah. Tapi, tentu saja ini tidak demokratis dan tidak dapat dipertanggunggjawabkan. Ketika para sastrawan ini menyadari mereka dimanfaatkan CIA, posisinya tentu saja tidak enak.

Terkadang untuk menutupi kedoknya, kritikus asal Uruguay, Emir Rodríguez Monegal – pengelola majalah Mundo Nuevo (Dunia Baru) setelah Cuadernos disudahi pada 1963 – menerbitkan esai anti-perang Vietnam. Itu sekadar meyakinkan publik bahwa ia bukanlah antek CIA.

Jalan Keras Kebudayaan
Buku serupa yang ditulis Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan  Budaya Pasca 1965 menemukan jejak CIA melalui CCF di Indonesia. Untuk menelusuri jejaknya, mau tidak mau, kita harus menelusuri sejarah pembentukan kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu). Lewat buku terjemahan yang diterbitkan kali pertama pada 2013 itu, Wijaya membuka mata kita bahwa pendirian lembaga tersebut tidaklah murni untuk kebudayaan. Manikebu dibentuk sesungguhnya untuk memberangus paham komunisme di Indonesia, pemberangusan yang menjadi bagian politik kapitalisme global AS.

Jauh sebelum Manikebu dideklarasikan, untuk mempromosikan liberalisme sebagai upaya melawan komunisme di bidang kebudayaan, pemerintah AS mendirikan CCF di Berlin pada 1950 melalui agen CIA Michael Josselson. Misinya jelas. Agar para seniman dan intelektual di seluruh dunia lepas dari komunisme. CCF dikendalikan oleh unit khusus CIA  dengan nama Office of Policy Coordination yang dikepalai Frank Wisner.

Mochtar Lubis sebagai pemimpin harian Indonesia Raya (1949-1974) dikenal cukup dekat dengan pemimpin Partai Sosialis Indonesia seperti Sjahrir dan Sumitro Djojohadikusumo dan juga berpengaruh membangun jaringan dengan Barat. Pada tahun 1951 Mochtar merupakan anggota lembaga International Press Institute yang yang dibiayai AS dan bermarkas di Zurich. Ia juga dekat dengan diplomat AS seperti Willard Hanna, ahli sejarah, budaya, dan politik Indonesia.

Bersama dengan elite PSI itu, Mochtar menjadi akrab dengan CCF dan akhirnya menjadi anggota pada 1954, setahun sebelum kongres pertama CCF di Asia. Mochtar bersama Sutan Takdir Alisjahbana menghadiri kongres itu. Sedangkan Sumitro ditunjuk sebagai ketua kehormatan konferensi CCF di Asia. Dari sinilah bermula terjalin kedekatan Mochtar Lubis dengan Ivan Kats, perwakilan CCF untuk Asia. Bahkan kedekatan hubungan tersebut berlanjut hingga generasi setelahnya, yakni Goenawan Mohammad.

Lewat Ivan Kats itulah Mochtar Lubis dan kawan-kawan memperoleh banyak karya yang disponsori CCF dengan gagasan liberalisme seperti majalah, pamflet, dan karya sastra. Misalnya, karya-karya penulis antikomunis seperti Albert Camus dan Miguel de Unamuno. Goenawan Mohammad malah mengakui ketika itu mereka sangat antusias membaca buku-buku CCF dan menjualnya kembali.

Seperti di negara lain, Wijaya juga mencatat salah satu media yang begitu antusias menyambut diplomasi kebudayaan AS pada masa Perang Dingin. Jurnal kebudayaan Konfrontasi, namanya. Sejak berdiri pada 1954, Konfrontasi secara reguler menerbitkan terjemahan esai dan sastra dari sumber-sumber internasional.

Redakturnya merupakan para simpatisan PSI seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Beb Vuyk dan Hazil Tanzil. Konfrontasi kemudian disebutkan sebagai media lalu lintas kebudayaan antara Indonesia dan Barat dalam kaitannya dengan pencarian identitas kebudayaan Indonesia dalam konteks nasionalisme pasca-perang.

Sutan Takdir dan juga Emir Rodríguez Monegal sama-sama menyatakan media yang mereka kelola independen dari pengaruh asing seperti CCF dan AS. Akan tetapi, justru sikap ketidakberpihakan mereka itu yang terasa janggal. Monegal melalui Mundo Nuevo, misalnya, jelas-jelas bertujuan menandingi pengaruh jurnal kebudayaan Kuba de las Americas yang merayakan pembebasan negara-negara Dunia Ketiga, gerakan Black Power di AS, perjuangan gerilya dan tradisi anti-imperiliasme Amerika Latin.

Sementara Konfrontasi yang dikelola Sutan Takdir, menurut Wijaya, justru sejalan dengan tujuan diplomasi kebudayaan AS. Kendati kerap mengeluarkan pernyataan bahwa tidak mewakili pandangan redakturnya, jurnal tersebut secara implisit dan konsisten merefleksikan pandangan internasionalisme yang berorientasi Barat sesuai dengan sikap partisan PSI.

Pengaruh CCF ini membuat kelompok Mochtar Lubis menemukan tempat untuk melawan langsung praktik kebudayaan kiri progresif di Indonesia yang ketika itu didominasi kaum kiri progresif. Seniman kiri yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) juga memperkuat komitmen politik mereka di bidang seni dan sastra sejalan dengan politik revolusioner Sukarno. Melihat itu, kelompok Goenawan pada Agustus 1963 mendeklarasikan Manifes Kebudayaan.

Dari semua itu, lewat kebudayaan, AS melalui CIA ingin mengontrol dunia. Dan AS tidak peduli apakah itu harus mengeluarkan biaya miliaran dolar atau mengorbankan jutaan nyawa umat manusia. Taktik demikian, kata Whitney, untuk saat ini bukanlah sesuatu yang baru. Tapi, jangan lupa kesadaran ini muncul karena maraknya pengungkapan operasi terselubung semacam CCF selama Perang Dingin. Sementara di Indonesia, Wijaya melihat produk kebudayaan setelah Perang Dingin justru digunakan untuk membenarkan kekerasan-kekerasan terhadap umat manusia terutama kasus pembantaian 1965 hingga 1966.

Celakanya, produk kebudayaan yang membenarkan kejahatan kemanusiaan itu digagas oleh mereka yang menamakan diri pendukung humanisme universal. Hal penting lainnya yang dikemukakan Wijaya lewat bukunya bahwa kekerasan tidak melulu soal fisik dan pembunuhan. Kekerasan bisa lebih mengerikan lewat kebudayaan karena membenarkan pembantaian berjuta umat manusia menjadi lumrah dan lazim.

Sejak pembantaian 1965-1966 itu kebudayaan menjadi produk yang efektif untuk melanggengkan ideologi anti-komunis. Itu sebabnya masyarakat umum bahkan melihat komunisme sebagai horor. Mereka selalu mengangap komunisme adalah hal yang menakutkan dan harus diberangus.

Bahkan karena anggapan itu, masyarakat kini mengidap penyakit ketakutan yang parah soal komunisme. Ideologi itu dianggap menjadi jelmaan iblis yang selalu siap menghantam mereka yang menantangnya. Itu pula sebabnya bagi sebagian orang, membunuh manusia lain yang berbeda paham, semisal komunisme, adalah kewajaran, bahkan keharusan.

Karena itu, kekerasan lewat kebudayaan lebih mengerikan ketimbang tindakan fisik. Karena membekas hingga berpuluh tahun dan tidak tahu kapan akan berakhir. [Kristian Ginting]