Paolo Duterte anak Presiden Filipina Rodrigo Duterte [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Presiden Filipina Rodrigo Duterte membayangkan dirinya ketika memasuki masa lanjut usia. Ketika tiba di masa itu, ia sulit mempercayai kedua putranya yang salah satunya adalah Paolo Duterte. Kendati, kedua putranya itu mendukung kebijakannya soal “perang terhadap narkoba” yang menyebabkan ribuan orang tewas.

Pernyataan itu disampaikan Duterte ketika berbicara tentang pentingnya memberantas narkoba demi generasi muda yang akan berbakti untuk bangsa dan orang tuanya. Karena itu, lanjut Duterte, ketika masa tuanya tiba, ia hanya akan percaya kepada putrinya yang kini menjabat sebagai Wali Kota Davao, Sara Duterte.

Seperti yang dilaporkan philstar.com pada Jumat lalu, ketidakpercayaan Duterte kepada putranya terutama Paolo karena digambarkan sebagai “gangster”. Paolo berdasarkan laporan Bea Cukai negara itu tahun lalu sempat dituduh terlibat dalam penyelundupan sabu senilai US$ 125 juta dan karena isu itu, ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Wali Kota Davao.

Masalah narkoba ini, Duterte acap menggunakan anak-anaknya untuk memacu semangat masyarakat dalam menyelamatkan generasi muda dari dampak buruk narkotika. Para generasi muda ini, kata Duterte, sulit berbakti kepada orang tuanya jika mereka terlibat dalam narkoba.

Seorang staf Bea Cukai Filipina pada tahun lalu bersaksi di depan sebuah komite Senat menyebutkan telah mendapat uang sekitar lima juta peso untuk “mengamankan” transaksi Paolo Duterte. Transaksi tersebut diduga berkaitan dengan penyelundupan sabu yang diduga mencapai sekitar 605 kilogram senilai US$ 125 juta.

Senat lantas mendalami kesaksian staf Bea Cukai itu sehingga memutuskan untuk memanggil Paolo Duterte. Di hadapan anggota Senat Paolo Duterte membantah terlibat dalam penyelundupan itu dan menyatakan tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar.

Selain isu yang menimpa anaknya itu, kebijakan Duterte yakni perang terhadap narkoba juga mendapat perhatian dari masyarakat luas di Filipina. Sejak kebijakan perang terhadap narkoba itu diberlakukan pada 2015, jumlah korban yang tewas disebut telah mencapai sekitar 13 ribu jiwa.

Jumlah tewas ini disebut melebihi jumlah korban semasa kediktatoran Marcos pada 1980-an. Dari jumlah itu, mereka yang tewas dengan kategori “pengedar” mencapai 3.451 orang hingga Juli 2017. Umumnya mereka tewas dalam baku tembak dengan kepolisian. Sedangkan dua ribu orang tewas karena dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata.

Sementara sekitar 8.200 kasus sedang dalam penyelidikan. Karena jumlah ini, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di bawah PBB menaruh perhatian terhadap kasus itu dan mulai menyelidikinya. Kasus kematian di luar pengadilan ini dianggap menjadi bagian dari kejahatan kemanusiaan. [KRG]