Arab Saudi yang salah berhitung dan kini kehilangan pengaruh di Timur Tengah bahkan kalah dibanding Iran [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Bukan dengan senjata, tank atau jet tempur. Pilihannya adalah senjata yang lebih kuat. Minyak. Pada tanggal 11 September 2014 itu, Menteri Luar Negeri AS John Kerry khusus terbang ke Arab Saudi menemui Raja Abdullah, penguasa negeri itu dan salah satu orang terkaya di dunia. Bertemu Kerry, Abdullah mengundang mantan kepala intelijen Saudi, Pangeran Bandar.

Pengamat menyebut dalam pertemuan itu disusun rencana untuk menghancurkan musuh bersama mereka: Rusia dan Iran. Minyak adalah komoditas utama dunia dan Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar dan memiliki kontrol atas harga minyak dunia. Pertemuan itu menyepakati Arab Saudi bakal membanjiri pasar minyak sekaligus memangkas harga hingga separuh. Anjloknya harga minyak, diharapkan memukul ekonomi Rusia dan Iran yang sangat tergantung pada penjualan minyak.

Rusia menjadi sasaran karena mendukung musuh regional mereka, Presiden Suriah Bashar al-Assad. Alasan yang sama berlaku untuk Iran, selain karena negara itu merupakan musuh abadi Saudi. Akhir tahun 2014 dunia menjadi saksi anomali pasar minyak. Dengan intentisitas konflik di kawasan Teluk yang tinggi, harga minyak justru anjlok. Minyak murah Saudi itu memicu perang harga di OPEC setelah Iran juga ikut menurunkan harga minyaknya. Saudi berpaling ke pasar Asia khususnya Cina dengan menawarkan diskon. Minyak mentah mereka ditawarkan hanya US$ 50-60 per barel, separuh dibanding harga pasar yang mencapai US$ 100.

Dari Saudi, perang minyak itu dikoordinasikan dengan operasi peperangan Departemen Keuangan melalui Kantor Terrorism and Financial Intelligence. Mereka menggandeng beberapa pemain dalam di Wall Street yang mengontrol perdagangan derivatif minyak. Cina beruntung membeli minyak murah, namun Rusia dan Iran terpukul telak.

Secara umum strategi ini berhasil. Harga minyak anjlok lebih dari 70 persen sejak pertemuan rahasia Kerry dan Abdullah bulan September 2014 itu. Masalahnya, perang ekonomi tidak selalu berjalan sesuai rencana.

Cadangan Terkuras
Rusia jauh-jauh hari sudah mengambil langkah-langkah strategis menggandeng Cina dan beberapa negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada Barat. Perang minyak justru memacu Rusia makin fokus pada kepentingan nasional dengan mengurangi ketergantungannya pada dolar. Jika dolar berhenti digunakan sebagai mata uang perdagangan dunia khususnya minyak, Departemen Keuangan AS-lah yang justru menyongsong bencana.

Untuk alasan ini, strategi perang minyak Kerry-Abdullah dianggap blunder. Dampak bagi Saudi tampaknya tak perlu menunggu terlalu lama. Mereka tertusuk pedangnya sendiri karena memainkannya dengan berlebihan. Dengan 90 persen kontribusi penjualan minyak sebagai pendapatan negara. Memangkas harga jelas bakal menyakiti diri sendiri. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah menguras cadangan devisa.

Di sisi lain lebih dari tiga dekade, negeri itu mematok mata uangnya di level 3,75 riyal per dolar AS. Mempertahankan mata uang di level itu terus menerus Saudi perlu tumpukan besar dolar AS di tangan. Selama ini dengan cadangan dolarnya, Saudi tak pernah mendapat masalah. Namun, ketika anggaran berada di bawah tekanan serius dan pemerintah hanya bertahan dengan cadangan devisa, kemampuan negeri itu menopang nilai mata uangnya terancam.

Jika Saudi terpaksa melepas patokan mata uangnya, devaluasi riyal akan meningkatkan biaya hidup seluruh kalangan di Saudi dan ini meningkatkan potensi kerusuhan sosial. Di sisi lain, negara itu juga terus kehilangan miliaran dolar akibat perang mereka di Yaman dan Suriah. Dalam perang sipil di Suriah, dengan mendukung pemberontak bersenjata Saudi berpikir bisa menggulingkan Presiden Bashar al Assad dalam hitungan bulan. Mereka berasumsi, Assad jatuh semudah Gadhafi di Libya tahun 2011. Kalkulasi Saudi meleset total.

Di Yaman, Saudi meluncurkan mesin perang menyerbu tetangganya yang miskin itu Maret 2015. Saudi ingin mengembalikan pemerintahan yang ramah kepada Riyadh. Skenarionya, intervensi hanya berlangsung beberapa bulan dan segera mengumumkan “misi selesai” dan pulang. Bukan itu yang kemudian terjadi.

Mesin perang Saudi terjebak gerilya Houthi dan intervensi berkepanjangan negara terkaya di Arab itu hanya menciptakan bencana kemanusiaan. Setidaknya 6.000 orang tewas termasuk 3.000 warga sipil. Di sisi lain, intervensi itu menciptakan kekosongan yang membuka jalan Al Qaeda atau ISIS membangun basis-basis pertahanan di Yaman. Faktanya, hampir sebagian besar senjata Saudi itu berakhir di gudang-gudang Al Qaeda dan ISIS.

Jebakan Suriah
Setelah setengah abad membangun diri sebagai kekuatan utama di Timur Tengah, dalam tahun-tahun terakhir Saudi justru menemukan dirinya frustasi hampir di semua front. Mereka tertinggal jauh dibanding Iran yang tampil sebagai pemain kunci di Timur Tengah. Dukungan Saudi pada pemberontak dan meningkatnya tekanan militer, justru membuat Assad mencari lebih banyak bantuan ke Rusia dan Iran. Dan kedua negara itu tak mau setengah-setengah membantu. Total.

Ketika jet-jet tempur Rusia masuk ke Suriah September 2015, sekutu utama Saudi yakni AS tak siap untuk menentang aksi itu. Kekalahan makin telak ketika sekutu Saudi di Suriah gagal mempertahankan basis terakhir mereka di Aleppo. Direbutnya Aleppo oleh Tentara Suriah dan kemungkinan jatuhnya Mosul oleh Tentara Irak hanya berarti kemenangan Iran di wilayah yang membentang dari Asia Tengah hingga Mediterania sekaligus menjepit posisi Saudi. Dan tentu saja, Suriah bakal menyiapkan pembalasan. Ini yang ditakuti Saudi sejak awal.

Bocoran memo diplomatik WikiLeaks tahun 2012 yang dimuat Albawabanews yang berbasis di Amman mengungkapkan Presiden Bashar al Assad harus diturunkan sebelum ia menuntut balas dendam ke Saudi. Memo itu juga menyarankan Saudi harus ‘berbaik-baik’ dengan Rusia sekaligus mengarahkan media agar tak menentang tokoh Rusia. “…dalam kasus di mana rezim Suriah mampu melewati krisis, mereka akan mengejar balas dendam pada negara-negara yang menentangnya dengan Kerajaan dan beberapa dari negara-negara Teluk berada di daftar teratas.”

Pejabat Saudi menghitung Assad bakal menggunakan segala cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan itu. Mencegah situasi itu Saudi harus, “..mencari dengan segala cara yang tersedia dan semua cara yang mungkin untuk menggulingkan rezim Suriah saat ini.” Mengejar tujuan itu, Saudi memperkuat retorikanya pada Suriah termasuk mengancam intervensi militer langsung dengan mengirim pasukan khusus dalam ‘misi kemanusian’ sekaligus berpartisipasi dalam ‘perang melawan teror’.

Banyak pakar mengamati, pameran kekuatan persenjataan yang dipertontonkan Saudi bukanlah berasal dari kepercayaan diri, lebih sebagai langkah putus asa karena pemberontak anti-Assad yang merupakan proxy Saudi tak berdaya digencet sayap udara Rusia dan pasukan darat Suriah. Perang sipil di Suriah tak berjalan mengikuti skenario Saudi. Pilihan menjadi sangat terbatas hanya melindungi pemberontak di wilayah Suriah Utara sambil berharap masih ‘tersedia cara’ menggulingkan Assad atau setidaknya membagi negara itu dalam konflik sektarian permanen.

Mengutip Laporan Terorisme Departemen Luar Negeri AS pada 2014, jumlah teroris asing  yang masuk Suriah dalam beberapa tahun terakhir belum pernah terjadi sepanjang sejarah. “Kedatangan pejuang asing ke Suriah –lebih dari 16.000 orang dari 90 negara pada akhir Desember- melebihi kedatangan pejuang asing ke Afghanistan, Pakistan, Irak, Yaman, atau Somalia dalam 20 tahun terakhir.”

Di Balik IPO Aramco
Selain berinvestasi, tur Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz ke Asia terutama ke Cina, Jepang, Malaysia dan Indonesia dalam rangka penawaran perdana (IPO) Aramco, perusahaan minyak milik Saudi dan sekutunya. Saudi berharap bisa melepas saham Aramco lima persen pada 2018. Ini disebut sebagai pelepasan saham terbesar di dunia mengingat kapitalisasinya diperkirakan mencapai US$ 2 triliun.

Saudi membutuhkan pendanaan untuk proyek-proyek pembangunan di dalam negerinya. Negeri itu sedang mengalami krisis keuangan sejak 2015. Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun itu bahkan memprediksi Saudi akan mengalami kebangkrutan dalam lima tahun ke depan. Pasalnya, Saudi mengalami defisit anggaran selama dua tahun terakhir. Pada 2015, misalnya, defisit anggaran Saudi mencapai 21,6 persen dan tahun berikutnya mencapai 19,4 persen.

IMF prediksi Arab Saudi bakal bangkrut dalam lima tahun ke depan
IMF prediksi Arab Saudi bakal bangkrut dalam lima tahun ke depan

Menurut IMF, prospek ekonomi kawasan Timur Tengah dipengaruhi beberapa faktor utama antara lain konflik regional yang berkepanjangan serta harga minyak dunia yang merosot tajam. Konflik berkepanjangan justru menciptakan masalah besar seperti meningkatnya jumlah pengungsi dan belum pernah terjadi sejak awal 1990-an. Sulit mencapai kesinambungan fiskal di kawasan tersebut dalam jangka menengah, apalagi akan ada lebih dari 10 juta orang yang mencari pekerjaan pada 2020.

Harga minyak diperkirakan tidak akan banyak berubah dalam waktu dekat ini. Itu menyebabkan menurunya penerimaan negara yang cukup besar termasuk bagi Arab Saudi. Pada 2015 saja misalnya, penurunan pendapatan negara-negara di kawasan tersebut mencapai US$ 360 miliar per tahun. Ini merupakan kali pertama Saudi mengalami defisit anggaran sejak 2009. Penurunan harga minyak sangat berdampak pada perekonomian Saudi, terlebih 80 persen penerimaan negara berasal dari penjualan minyak.

Aset bersih Saudi pada Januari hingga Agustus 2015 turun sekitar US$ 82 miliar. Pemerintah menjual surat utang negara senilai US$ 15 miliar. Akibat defisit anggaran itu menyebabkan pengangguran dan penundaan proyek-proyek infrastruktur. Berkaitan dengan IPO Aramco, Moelis & Co ditunjuk sebagai penasihat investasi. Perusahaan ini didirikan konglomerat Yahudi bernama D. Moelis pada 2007 yang kini bermarkas di Beijing.

Aramco merupakan perusahaan minyak yang awalnya bernama Standard Oil Company of California (SOCAL) yang mendapat konsesi minyak di Timur Tengah pada 1930. Awal beroperasi, Perang Dunia II pecah, Presiden Roosevelt berusaha untuk menasionalisasi SOCAL, namun berhasil digagalkan Kongres berkat lobi Yahudi. SOCAL kemudian melibatkan Texaco yang berubah menjadi Caltex. Untuk memperluas operasi bisnis minyak tersebut, bergabung lagi Standard Oil of New Jersey (Exxon) dan Standard Oil of New York (Mobil). Aliansi ini kemudian menjadi Arab America Corporation (Aramco), perusahaan minyak terbesar di dunia.

Pendiri perusahaan minyak itu rata-rata Yahudi yang bermitra dengan badan usaha milik negara Arab Saudi. Selama beroperasi, Aramco merupakan perusahaan tertutup dan kini akan dilepas ke publik. Mengapa? Pasalnya, minyak tidak lagi menjadi produk strategis sejak ditemukannya energi alternatif. Karena itu, perusahaan perlu merestrukturisasi bisnisnya jika tidak ingin bangkrut. Dengan demikian, kelak tidak lagi bergantung pada minyak.

Perubahan geo-politik terutama kekalahan mereka di Timur Tengah, memaksa Saudi untuk mencari jalan keluar untuk mencari pijakan baru. Selain untuk mengatasi defisit anggaran itu, Saudi ingin menciptakan wilayah baru untuk bersaing dengan Rusia dan Iran. Tentu saja langkah Saudi itu tidak akan mudah mengingat Rusia dan Iran telah melangkah lebih dulu ke Asia. [Teguh Usia, Kristian Ginting]