OPINI – Sejak pandemi COVID-19 melanda dunia, banyak aktivitas masyarakat mengalami pergeseran ke ruang digital. Tidak hanya pekerjaan dan pendidikan, tetapi juga aspek-aspek yang selama ini melekat erat pada budaya dan spiritualitas seperti upacara, silaturahmi, hingga doa bersama.
Pergeseran ini tidak serta-merta hilang pasca-pandemi. Justru, praktik digitalisasi tradisi kian berkembang dan menjelma menjadi kebiasaan baru. Pertanyaannya, bagaimana perubahan ini memengaruhi nilai dan makna dari tradisi itu sendiri?
Tahlilan hingga Pernikahan, Kini Daring
Di berbagai daerah, masyarakat mulai terbiasa mengikuti kegiatan keagamaan secara daring. Tahlilan, misa, pengajian, bahkan pernikahan kini dapat diakses melalui Zoom, YouTube, atau aplikasi percakapan daring seperti WhatsApp dan Telegram.
Misalnya, dalam prosesi tahlilan, pihak keluarga cukup membagikan tautan undangan virtual, lengkap dengan jadwal. Peserta dapat mengikuti dari rumah masing-masing, bahkan dari lintas kota atau negara. Lalu tahlilan di siarkan dalam live Youtube atau zoom.
Meskipun dianggap lebih praktis dan efisien, tak sedikit pula yang mempertanyakan sejauh mana nilai khidmat dan kebersamaan dapat tercapai dalam ruang virtual.
Budaya silaturahmi juga mengalami transformasi. Saat lebaran, banyak keluarga memilih mengganti kunjungan fisik dengan panggilan video atau ucapan digital. Foto keluarga, menu makanan khas, hingga ucapan maaf lahir batin disebarkan melalui media sosial dan aplikasi pesan.
Bagi sebagian orang, interaksi semacam ini dirasa cukup untuk menjaga hubungan kekeluargaan. Namun, ada juga yang merindukan suasana kebersamaan yang hanya bisa dihadirkan melalui tatap muka—berbincang langsung, saling mencicipi hidangan, dan duduk bersama dalam waktu yang tidak dibatasi oleh sinyal atau kuota internet.
Doa dan Duka dalam Format Digital
Pergeseran paling signifikan terjadi dalam praktik menghadapi kehilangan. Selama masa pandemi, banyak keluarga harus menerima kenyataan bahwa upacara pemakaman dan doa tujuh harian hingga empat puluh harian tidak bisa dihadiri secara fisik oleh kerabat. Karena pada saat pandemi, seluruh warga dilarang membuat kerumunan.
Sebagai alternatif, kegiatan melayat yang biasa dilakukan diganti dengan ucapan belasungkawa yang dibanjiri oleh caption, postingan, stiker serta emoji.
Bahkan, setelah pandemi usai kegiatan seperti tahlilan juga ada yang dilaksanakan secara daring atau virtual.
Bagi keluarga yang ditinggalkan, ini menjadi pengalaman yang kompleks. Di satu sisi, mereka tetap mendapat dukungan moral. Di sisi lain, kehadiran fisik yang selama ini menjadi bagian penting dari proses berduka tidak bisa tergantikan.
Namun, masyarakat perlu menyadari bahwa bentuk luar dari tradisi memang bisa berubah, tetapi nilai-nilai di baliknya tetap bisa dipertahankan melalui sikap, ketulusan, dan penghargaan terhadap momen-momen penting dalam kehidupan.
Transformasi digital terhadap tradisi adalah bagian dari dinamika sosial yang terus bergerak. Teknologi hadir sebagai alat bantu untuk menjembatani jarak, waktu, dan keterbatasan. Namun, penting untuk memastikan bahwa kedekatan emosional dan nilai kebersamaan tetap dijaga.
Dalam masyarakat yang semakin terdigitalisasi, menjaga ruh dari sebuah tradisi menjadi tantangan tersendiri. Di sinilah peran kesadaran kolektif diperlukan, bahwa ritual, doa, dan pertemuan bukan sekadar rutinitas daring, melainkan ruang bagi pertemuan batin dan penghormatan akan makna hidup itu sendiri. [UN]