Teror Saint Petersburg dan “Wajah Ganda” Eropa

Solidaritas Israel atas serangan teror di St. Petersburg, Rusia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Ketika Khalid Masood menciptakan teror dengan mobil sewaan di London 22 Maret lalu seluruh penjuru Eropa bangkit berdiri di belakang Inggris. Teroris dikutuk dan dukungan dalam berbagai bentuk ditawarkan dari doa, simpati atau sekadar hastag di twitter.

Di Paris, Menara Eiffel mematikan lampu sementara di Berlin Gerbang Bradenburg dihiasi Union Jack. Sebelumnya, monumen itu secara teratur memajang bendera sebagai bentuk solidaritas kepada korban. Hampir semua, termasuk untuk serangan teror Paris, Brussels hingga Istambul. Hampir semua kecuali untuk korban teror di St. Petersburg. Tak ada bendera Rusia di Gerbang Bradenburg, juga Menara Eiffel yang tetap terang benderang.

Menghadapi tekanan publik besar-besaran di media sosial, Anne Hidalgo, Wali Kota Paris belakangan mengumumkan akan mematikan lampu menara sebagai solidaritas korban serangan di St. Petersburg.

Jika Paris mengalah, Berlin ngotot dan menyebut belum ada rencana untuk ‘memasang’ bendera Rusia. Juru bicara Senat Berlin seperti dikutip stasiun RBB Jerman berkelit, Gerbang Bradenburg hanya ‘diwarnai’ dengan warna khusus untuk korban teroris atau kasus luar biasa yang terjadi di “kota mitra”.

Juni tahun lalu Gerbang dinyalakan dengan warna pelangi setelah seorang pria bersenjata menembak mati 49 orang di sebuah klub malam di Orlando, Florida. Juga ketika sebuah truk bajakan menyerang tentara Israel di Yerusalem. Keduanya toh juga bukan kota mitra.

Kecaman untuk Jerman
Di akun twitternya Jon Worth seorang penulis di Berlin dengan sinis menyayangkan sikap pemerintahnya. “Argumen seperti ini tak terelakkan. Serangan London di Gerbang Brandenburg serangan London, tapi tidak untuk St. Petersburg.”

Kepala Penyiaran Deutsche Welle untuk Rusia Ingo Mannteufel pengabaian korban serangan St. Petersburg tak bisa diterima saat pemerintah mengklaim menghargai orang Rusia bahkan jika mereka tak menyetujui kebijakan Kremlin.

Mannteufel menyebut Jerman punya kewajiban baik secara moral maupun politik menunjukkan solidaritas pada korban terorisme. Ia menyebut Gerbang Brandenburg minus bendera Rusia setelah serangan St. Petersburg sebagai salah dan bahkan skandal. Kecaman serupa juga disampaikan Andreas Petzold, penerbit mingguan Stern di Jerman. Ia menganggap pemimpin di Berlin berpikiran ‘sempit’.

Israel sejauh ini justru menjadi salah satu dari beberapa negara yang mengirim penghormatan pada para korban serangan di St. Petersburg. Balai Kota Tel Aviv dihiasi dengan bendera tiga warna milik Rusia. Wali Kota Ron Huidal di Twitter menulis, “Dalam solidaritas dengan teman-teman kita di #SaintPetersburg, balai kota #TelAviv malam ini menyala dengan warna-warna bendera #Rusia.”

Media Rusia, RT dan Sputnik menyebut minimnya simpati internasional pada teror St. Petersburg menunjukkan standar ganda negara-negara Eropa merespons teror. Korban dari Eropa Barat atau AS umumnya mendapat respons cepat dan perhatian luas dibanding wilayah lain. Tak pernah ada ungkapan solidaritas bagi korban teror dari negara-negara di Timur Tengah, bahkan jika serangan itu menewaskan lebih banyak korban.

Jika narasi ketidakpercayaan terhadap Rusia sebagai negara bisa dimengerti kurangnya respons internasional dan berkembangnya teori konspirasi jelas sangat mengganggu, bahkan bagi kritikus Kremlin sekalipun. Analis keamanan Rusia asal Inggris Mark Galeotti di Moskow Times menyebut sikap apatis internasional menunjukkan Eropa masih berada dalam suasana Perang Dingin. Mereka punya 1001 alasan memusuhi Rusia, dari pencaplokan Krimea, keterlibatan intelijen yang ekstensif hingga aksi Kremlin membela Assad di Suriah. [TGU]