Koran Sulindo – Petit Muharto dan Bob Freeberg kembali bersua ketika tanggal 6 Juni 1947 markas AURI di Yogyakarta menerima pesan mengejutkan.
“Sebuah pembom Belanda, dengan pilot Belanda mendarat di sebuah pantai selatan Tasikmalaya.”
Belum juga diputuskan tindakan apa yang bakal diambil, datang ralatnya. Itu bukan bomber Belanda tapi sebuah pesawat angkut Dakota dengan pilot AS dan si pilot mengaku kenal Opsir III Petit Muharto.
Atas perintah Suryadarma, Petit terbang ke Tasikmalaya dari Maguwo dan menemui Pang Soeparto, seorang letnan dari Divisi Siliwangi yang bertanggung jawab di daerah itu. Dengan jip dan bahan bakar cadangan mereka langsung meluncur ke Cikalong.
Petit sama sekaki tak terkejut bertemu Bob di sana. Ia sudah menduganya mengingat tak sembarang orang sanggup mendaratkan DC-47 itu di pantai berpasir.
“Dua hari yang lalu saya terus berguling-guling ketika saya mendarat. Tapi sekarang pesawatnya tidak bergerak sedikitpun, bahkan ketika aku menggunakan kekuatan penuh,” kata Bob kepada Petit.
Itu keberuntungan khas Bob, pasir saat pendaratan menejelang malam basah oleh ombak dan menjadi kompak. Tapi setelah dua hari terpapar matahari, pasir mongering dan membuat roda pesawat amblas hingga 20 sentimeter. Burung besi itu lumpuh tak bisa terbang.
Bagi penduduk setempat sebuah Dakota yang mogok di pasir jelas menjadi tontonan gratis. Pesawat yang mereka kenal selama ini hanyalah titik di angkasa yang sesekali melintas. Tempat pendaratan segera dipenuhi mereka.
Dengan mata-mata Belanda ada di mana-mana, patroli udara Belanda bisa datang kapan saja dan itu berarti mereka harus bergegas.
Tanpa peralatan cukup Petit dan Bob berimprovisasi menggunakan apa pun yang ada di sekitarnya. Pertama kali anyaman daun kelapa dicoba.
Cara itu segera gagal mengambil alih beban pesawat dari pasir yang gembur. Dakota tetap tak begeming, bahkan setelah seharian dicoba.
Menjelang sore usaha sia-sia itu dihentikan dan jalan keluar lain dipikirkan. Pilihan lain jatuh pada jaro, serupa gedék yang umumnya menjadi dinding rumah di pedesaan Jawa. Bilah bambu di-jajar loro ini lebih tebal dan kuat dibanding gedék.
Memanfaatkan otoritasnya sebagai perwira Siliwangi, Pang Suprapto memobilisasi warga 15 desa untuk membuat 400 jaro berukuran 2 meter kali 2 meter sebagai landas pacu dadakan. Kepada Pang, Petit dan Bob meminta pesanan itu tuntas sebelum fajar.
Terbang menjelang fajar jelas memperingan daya angkat Dakota dari udara pagi yang dingin.
Benar saja, pesanan itu dikirim tak meleset dari jadwal mewakili kerja luar yang sepenuhnya sukarela para petani dan nelayan yang miskin itu.
Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 tulisan Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito dkk menulis anyaman bambu itu disusun membentuk jalur untuk roda pesawat.
Bukan kerja main-main karena itu sepanjang 300 meter, yang menurut Bob cukup untuk lepas landas Dakota ‘ringan. Itu menjelaskan muatan berupa bahan bakar selama 30 menit dengan lima penumpan.Bob, Petit, dua mekanik Filipina dan Pang Suparto.
Kerumunan petani dan nelayan miskin yang tulus itu beramai-ramai menyingkirkan pasir di depan roda sekaligus mendorong pesawat ke atas anyaman dengan posisi siap terbang.
“Sekarang, perhatikan kecepatan udara,” kata Bob kepada mekanik, “Segera setelah kita mencapai enam puluh, keluarkan flap penuh, oke?”
Ketika mesin menderu dan flap turun, pesawat terangkat dan mendaki dengan landai di atas Samudra Hindia. Menengok ke bawak ketika berbalik melewati landasan, anyaman bambu porak-poranda oleh putaran baling-baling.
Tiga puluh menit berikutnya Dakota itu sudah mendarat di Tasikmalaya, tentu saja tanpa bahan bakar di tangkinya.
Menyerahkan Dakota kepada mekanik untuk diisi ulang dan inspeksi menyeluruh, Bob dan Petit terbang ke Yogyakarta bertemu KSAU Suryadarma. Mereka diantar Soenario alias Betet, pilot otodidak dengan sebuah Nishikoren tua peninggalan Jepang.
Pertemuan dengan Suryadarma hanya butuh waktu kurang dari 30 menit sebelum kembali ke Tasikmalaya.
Pertemuan itu sudah termasuk penasbihan Dakota C-47 sebagai RI-002 dan perintah untuk terbang ke Manila malam itu juga dengan misi mengangkut 29 peti ‘kina dan vanili’.
Bob semula menolak penamaan RI-002, sebagai pesawat sipil pertama Republik ia mestinya berhak atas nomor itu. Ia baru mengalah setelah diberi tahun, RI-001 dicadangkan untuk pesawat kepresidenan yang belum lagi terbeli.
Jadi begitulah, Dakota sisa perang itu menyandang nama resmi RI-002 pada 9 Juni 1947.
Setelah menunggu sebentar untuk pengisian bahan bakar dan muatan, RI-002 segera terbang ke Yogyakarta untuk pengepakan ulang dan mengecat ekor dengan nomor penerbangan. Lima belas menit sebelum tengah malam, pesawat mengudara menuju Manila.
Mendarat di Manila 10 Juni 1947, RI-002 langsung memicu kegemparan. Selain karena nomor registrasi RI tak pernah di kenal, pesawat itu jelas-jelas terbang dari tempat yang bahkan belum mendapat pengakuan kedaulatan. Selain itu penerbangan juga tanpa pemberitahuan sama sekali.
Hampir semua koran di Manila menulis pendaratan itu dengan menyolok dan bernada positif. Mereka tertarik dan menyanjung penerbangan misterius Freeberg serta anak buahnya dari Jawa. Mereka juga menulis ‘mahasiswa kedokteran yang beralih menjadi pilot’ untuk menggambarkan sosok Petit.
Tak cuma wartawan, Women Lawyers Association juga tertarik mendengar cerita langsung dari para pelaku revolusi di Indonesia. Itu menginspirasi, kata mereka.
Tentu saja penerbangan itu tak hanya menarik para penyanjung. Konsulat Belanda mendesak polisi agar menyita pesawat sekaligus muatannya. Mereka mengklaim barang-barang itu dicuri dari perkebunan di Hindia Belanda.
Diadili di negara yang rakyatnya bersimpati pada revolusi Indonesia, sebulan kemudian pengadilan memutuskan bahwa muatan dan pesawat adalah hak para awaknya.
Lolos dari bui bukan berarti semua masalah usai, karena menjual muatan menjadi masalah lain. Termasuk ketika Budiardjo jatuh sakit lantaran malaria yang memicu seloroh simpatisan Republik di Filipina, “punya kina satu pesawat terbang, kok sakit malaria!”
Ketika akhirnya semua barang terjual dan Bob mendapat bayarannya, wesel dan telegram segera dikirim ke Kansas untuk agen mobil Buick di Kansas. “Model cabriolet, warna biru langit, untuk Nyonya Freeberg.”
Ya, sebagai anak pertanian Bob memang anak mami dan Nyonya Freeberg itu adalah ibunya.(TGU)