Reforma Agraria sampai di Mana?

Lahan di Gandusari, Blitar. Foto: @SeknasKPA

Koran Sulindo – Banyak lahan dengan Hak Guna Usaha di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang telantar atau tidak dimanfaatkan. “Dengan kondisi yang tidak termanfaatkan tersebut, saya dipanggil oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, ATR/BPN, agar HGU itu diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola dalam upaya peningkatan kesejahteraan,” kata Bupati Sukabumi Marwan Hamami di Sukabumi, Ahad (24/3), sebagaimana diberitakan Antara.

Terkait soal itu, Pemerintah Kabupaten Sukabumi pun akan memberikan empat lahan perebuinan dengan HGU yang tidak lagi berproduksi dan terbengkelai diserahkan kepada masyarakat. Diungkapkan Marwan, dari empat HGU perkebunan tersebut, satu di antaranya masih dalam kondisi bermasalah, karena lokasinya berada di area pembangunan jalur ganda kereta api jurusan Sukabumi-Bogor.

“Dengan diserahkannya HGU perkebunan kepada masyarakat tentunya lebih bermanfaat dan lahannya bisa berfungsi dan berproduksi lagi, sehingga tidak terbengkelai,” tutur Marwan lagi.

Potensi perkebunan di Kabupaten Sukabumi, lanjutnya, cukup tinggi sehingga pihaknya juga terus mengembangkan potensi-potensi tersebut. Misalnya membangun sentra perkebunan buah-buahant.

Untuk pengembangan perkebunan tersebut, masyarakat pun diharuskan terlibat penuh, mulai dari penanaman hingga panen. Dengan demikian,  kata Marwan lagi, sebagian besar keuntungannya nanti untuk warga.

Ke depannya, perkebunan itu juga bisa dijadikan skala industri. Apalagi, Pemerintah Kabupaten Sukabumi sekarang ini memang sedang beralih ke sektor industri tidak berbasis pabrik, antara lain ke ke pariwisata, perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Sementara itu, di Gandusari, Blitar-Jawa Timur, lain lagi persoalannya. Masyarakat di sana telah menguasai lahan eks HGU PT Kruwuk Rotorejo sejak 2009 lampau, bertepatan dengan habisnya masa berlaku HGU perusahaan. Namun, seperti dilaporkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) lewat akun Twitter-nya pada 18 Maret 2019 lalu, pihak PT Kruwuk Rotorejo terus mengintimidasi warga, untuk menguasai lahan itu kembali.

Memang, pemerintah belum mengakui lahan tersebut sebagai hak milik masyarakat. “Pemerintah seharusnya mengakui tanah tersebut sebagai hak milik masyarakat melalui program Reformas Agraria,” demikian ditulis di akun KPA itu.

Pada Kamis lalu (21/3), pihak KPA juga mendatangi Kantor Kementrian ATR/BPN di Jakarta. Mereka menanyakan perkembangan dari tindaklanjut Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang telah diusulkan sejak 2017.Karena, KPA menilai, memasuki tahun kelima, perkembangan pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya tindaklanjut data usulan masyarakat, masih jalan di tempat.

Diterima Direktur Jenderal Penataan Agraria Muhammad Ihksan Saleh dan Direktur Landreform Arif Pasha, Dewi Kartika dari KPA memaparkan perkembangan LPRA di beberapa wilayah usulan KPA. “Beberapa lokasi LPRA di antaranya sudah dikunjungi oleh pemerintah, seperti LPRA di Jambi. Satu di antaranya kunjungan Bupati Tebo pada kegiatan panen raya Serikat Tani Tebo pada Februari lalu,” kata Dewi, sebagaimana dikutip dari kpa.or.id.

Tanah itu sendiri masih berstatus konflik.“Lokasi-lokasi yang telah dikunjungi langsung oleh pemerintah mestinya segara ditindaklanjuti penyelesaian konflik dan redistribusinya,” ujar Dewi lagi.

Di beberapa wilayah organisasi/serikat tani anggota KPA, lanjutnya, juga telah dilaksanakan audiensi yang membahas Peraturan Presideng tentang Reforma Agraria dan mendorong pembentukanGugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang melibatkan masyarakat sipil di dalamnya.

KPA sendiri telah mengusulkan pembentukan GTRA di 16 provinsi dan 81 kabupaten. Namun, sampai kini, tindak lanjut dari usulan tersebut tak jelas.

Muhammad Ihksan Saleh mengakui, ada banyak sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang mesti digali lagi. “Tantangannya hanya kendala-kendala klasik, jadi harus kita keroyok,” katanya.Ia pun meminta KPA wilayah berkoordinasi dengan kepala bidang masing-masing sektor untuk mempercepat tindak lanjut di 10 lokasi LPRA yang tersisa.

Diungkapkan Ihksan, dirinya juga menginginkan pelaksanaan Reforma Agraria harus memanfaatkan regulasi yang ada, seperti Undang-Undang Pembaruan Agraria Tahun 1960, Peraturan Pemerintah No. 11/2010 tentang Pendayagunaan dan Penertiban Tanah Terlantar, dan Peraturan Presiden No. 86/2018 tentang Reforma Agraria. “Kementrian ATR/BPN telah melakukan rotasi sebanyak 20 orang staf dan jajaran yang punya kemampuan di atas rata-rata untuk melaksanakan Reforma Agraria demi memperkuat daerah. Selain itu, kepala daerah juga mesti ikut berpartisipasi mendukung kerja-kerja di bawah dan tidak arogan,” ujarnya.

Ia berjanji akan mengoptimalkan GTRA di setiap jenjang. “Harus ada sinergi dan kolaborasi dari bawah. Untuk usulan tim GTRA daerah dapat langsung ke pemerintah terkait,” kata Ikhsan.DARI situs KPA dapat diketahui, KPA sejak 2017 telah mengusulkan 462 lokasi konflik agraria dengan luas 668.109 hektare, yang melibatkan 148.286 Rumah Tangga Petani (RTP). Wilayah konflik itu tersebar di 98 kabupaten dan 20 provinsi di Indonesia. Dari usulan tersebut hanya 11 lokasi yang ditanggapi Kementrian ATR/BPN.

Yang bikin prihatin, dari 11 lokasi itu baru Desa Mangkit yang telah berhasil melaksanakan redistribusi tanah. Artinya, tidak ada perkembangan yang siginifikan mengenai tindak lanjut dari data usulan masyarakat tersebut.

Menurut KPA, persoalan klasik yang menjadi penghambat adalah sikap Kementrian ATR/BPN yang kukuh dengan konsep yang disebut sebagai clean dan clear, yakni wilayah yang secara klaim atau statusnya sudah tidak lagi berkonflik. Pandangan ini di mata KPA bertentangan dengan tujuan Reforma Agraria, yang justru bertujuan menyelesaikan konflik agraria, yakni desa dan kampung yang masih terjadi pertentangan klaim atau status antara petani kecil dengan kelompok korporasi maupun pemerintah. [PUR]