Koran Sulindo – Mungkin ini memang pesimistis: menjadikan Indonesia sebagai negara maju tampaknya bak jauh panggang dari api. Karena, tak mungkin bisa tercapai keinginan tersebut kalau industri baja di dalam negeri kedodoran, apalagi bila riset metalurgi-nya ngos-ngosan.
Karena, industri baja itu induk dari semua industri (mother of industry). Industri baja merupakan fondasi bagi perkembangan begitu banyak industri lain, yang akan membuat maju suatu negara.
Sementara itu, industri baja di Indonesia terus kalang-kabut. Lihat saja, impor besi dan baja pada tahun 2018 saja naik begitu tajam dibanding tahun 2017. Pada tahun 2017, nilai impor besi dan baja Indonesia mencapai US$ 7,99 miliar dan di tahun 2018 menjadi US$ 10,25 miliar. Naik 28,31%. Padahal, di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan impor besi dan baja justru negatif.
Dari sisi neraca perdagangan, defisit yang dialami akibat impor baja mencapai US$ 4,56 miliar. Karena, nilai ekspor baja Indonesia US$ 3,34 miliar, sementara nilai impornya US$ 7,99 miliar.
Impor besi dan baja Indonesia umumnya dari Cina. Kenaikan impor ini tak bisa dilepaskan dari diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja.
Peraturan ini dimanfaatkan pengimpor dengan mengubah nomor harmonied system (HS) dari produk baja karbon menjadi alloy steel. Caranya: carbon steel dicampur dengan unsur kimia boron kurang dari 1%. Maka, volume impor baja karbon menurun, yang kemudian disubstitusi dengan naiknya impor baja paduan.
Importir pun mendapat bea masuk yang rendah. Karena, bea masuk impor carbon steel sebesar 15%, sementara alloy steel bebas bea masuk. Jelas, negara dirugikan, bahkan sampai puluhan triliun rupiah.
Permendag tersebut juga membuat pemeriksaan barang menjadi lebih longgar. Sebelumnya pemeriksaan berada di Pusat Logistik Berikat (PLB), yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sejak ada permendag itu, pemeriksaan dialihkan ke post border inspection, yang dilakukan oleh kementerian/lembaga.
Industri baja dalam negeri pun menjadi kewalahan dengan membanjirnya baja impor, apalagi harganya lebih murah. Ini diakui oleh Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim.
Silmy mengatakan, BUMN yang ia pimpin pun terus mengalami kerugian. Ia pun mengusukan agar permendag tersebut diubah. “Ada upaya untuk bisa pengambil kebijakan mendukung indusri baja nasional, ini berubah dari Permendag 22 jadi Permendag 110,” kata Silmy dalam sebuah wawacancara yang disiarkan CNBC TV Indonesia, 4 Januari 2019 lalu.
Memang, Permendag Nomor 22 akhirnya direvisi, menjadi Permendag 110. Dengan aturan ini, pemerintah akan mengendalikan impor baja mulai hari ini, 20 Januari 2019, dengan pengawasan post border.
“Post border itu, sudah selesai Permendag 110 dan akan berlaku mulai 20 Januari,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Senin (7/1), sebagaimana dikutip dari detik.com.
Akankah Permendag 110 membuat industri baja dalam negeri kembali bergairah? Kita tunggu dan lihat saja hasilnya. [RAF]