PELAPORAN ke polisi terkait dugaan pencemaran nama baik relatif banyak di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Pelapornya mulai dari artis sampai anggota masyarakat biasa pengguna media sosial di Internet. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 29 Mei 2017 melaporkan Ketua Umum Solidaritas Merah Putih Silvester Matutina untuk perkara yang sama. Pasalnya, Silvester Matutina dalam demonstrasi di depan Mabes Polri pada 15 Mei 2017 mengatakan, banyaknya masyarakat yang miskin saat ini disebabkan adanya korupsi yang dilakukan keluarga Jusuf Kalla.
Kasus pencemaran nama baik yang pernah begitu mencuat dan menjadi pembicaraan publik dalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari pada tahun 2008 silam. Ketika itu, pihak Rumah Sakit Omni International, Tangerang, Banten melaporkan gugatan pidana terhadap Prita Mulyasari ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polri pada 5 September 2008. Prita dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit itu karena mengirimkan e-mail yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke kerabatnya yang lain dengan judul “Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra”. Emailnya menyebar ke beberapa mailing list dan forum online serta juga kemudian dikirimkan ke Surat Pembaca detik.com.
Namun, kemudian, pihak rumah sakit melakukan gugatan perdata ke Prita. Tanggal 11 Mei 2009, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata Rumah Saki Omni. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan rumah sakit itu dan divonis membayar kerugian materil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateril. Prita langsung mengajukan banding.
Tanggal 13 Mei 2009, Prita mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga dilaporkan Omni. Pada 2 Juni 2009, penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang.
Publik pun kemudian geger. Sampai-sampai, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla memberi perhatian terhadap kasus Prita, termasuk juga dari Dewan Pers. Perpanjangan penahanan Prita pun ditangguhkan. Statusnya diubah menjadi tahanan kota.
Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang pada 4 Juni 2009. Oleh jaksa penuntut umum, Prita didakwa dengan menggunakan tiga pasal: Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE, khususnya tentang pencemaran nama baik di dunia maya; Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, dan; Pasal 311 KUHP tentang fitnah.
Namun, majelis hakim kemudian memvonis Prita bebas, 25 Juni 2009. Pada 29 September 2010, Mahkamah Agung juga membatalkan putusan Pengadilan Negeri tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang sebelumnya mengabulkan gugatan perdata Omni dan memerintahkan Prita membayar ganti rugi Rp 204 juta atas perbuatan pencemaran baik. Sidang kasasi dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa.
Tanggal 30 Juni 2011, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Majelis hakim yang dipimpin oleh Imam Harjadi, Zaharuddin Utama, dan Salman Luthan ini memvonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun kepada Prita. Prita tidak dipenjara sepanjang tidak mengulangi perbuatannya dalam waktu satu tahun ke depan. Tapi, Hakim Salman menyatakan beda pendapat. Menurut dia, Prita tidak bersalah.
Akhirnya, pada 17 September 2012, Mahkamah Agung membebaskan Prita dari semua dakwaan alias bebas murni. Putusan itu dibacakan dalam sidang Peninjauan Kembali oleh majelis hakim agung yang diketuai Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko, yang beranggotakan hakim anggota Hakim Agung Surya Jaya dan Suhadi. Majelis hakim agung memerintahkan agar Prita dipulihkan nama baik, harkat, dan kedudukannya.