Koran Sulindo – Jauh sebelum bangsa ini mengenal pemilihan umum yang njlimet dan rumit untuk memilih para pemimpin bangsa, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan suara bulat menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama.
Sederhana dan begitu luwes mufakat dicapai, bahkan itu dilakukan hanya sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945.
Lalu, tanggal 3 November 1945 melalui Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta, mendorong pembentukan partai politik termasuk melegitimasi parpol yang sebelumnya telah terbentuk sejak zaman Belanda dan Jepang.
Maklumat juga mengatur rencana penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR paling lambat akan digelar pada bulan Januari 1946.
Belakangan, rencana itu urung karena ketiadaan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilu, stabilitas keamanan yang goyah serta tercurahkannya fokus pemerintah dan rakyat semata-mata untuk mempertahankan kemerdekaan.
Rencana mengelar pemilu kembali mulai digagas pada tahun 1953 menyusul terbit Kepres No 188 tahun 1953 yang mengatur pembentukan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).
Sementara PPI memulai penghitungan daftar pemilih tetap sejak Mei-November 1954, tercatat jumlah pemilih mencapai 43.104.464 orang dari jumlah 77.987.879 penduduk di tahun 1955. Dari jumlah itu tercatata 45,6 persen populasi hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Pada bulan April 1955, PPI akhirnya mengumumkan Pemilu Parlemen akan digelar pada 29 September 1955 yang diikuti oleh 29 partai politik dan individu dan Pemilu Konstituante akan digelar pada 15 Desember 1955.
Dua Tahapan
Ketika akhirnya pemilu benar-benar terlaksana, sedikitnya 39 juta orang mendatangi TPS di seluruh pelosok negeri.
PPI mencatat untuk Pemilu DPR tercatat 37.875.299 orang atau 87,65 persen pemilih menggunakan hak pilihnya. Dari jumlah yang menggunakan hak pilih itu tercatat 91,54 persen suara dianggap sah dan 6 persen tak menggunakan hak suaranya. Itupun hanya meliputi orang yang sangat tua dan sangat sakit serta mereka yang terancam keamanannya dan 2,5 persen yang tak menggunakan hak pilihnya karena meninggal dunia.
Pemilu itu memperebutkan 257 kursi di DPR yang diikuti 36 partai politik, 34 organisasi, dan 48 calon perorangan.
Sedangkan pada Pemilu Konstituante tercatat 89,33 persen pemilih menggunakan hak pilihnya dengan surat suara sah sebesar 87,77 persen. Pemilihan ini memperebutkan 514 kursi yang diikuti 39 partai politik, 23 organisasi dan 29 perorangan.
Kala itu anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih sedangkan bagi mereka yang tengah bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan.
Pemilu akhirnya memunculkan empat besar partai pemenang yakni juara pertama PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI.
Ya, meski secara nasional Pemilu 1955 itu merupakan yang pertama, sejatinya pemilu legislatif secara regional sudah pernah digelar. Sebelumnya pada tahun 1946 pemilu regional pernah digelar di Kediri dan Surakarta.
Pemilu serupa juga digelar tahun 1951 dan 1952 di Minahasa, Sangir-Talaud, Makassar, dan Yogyakarta. Pemilu-pemilu regional itulah yang menjadi rujukan pemilu nasional.
Sampai sekarang orang masih menyebut pemilu itu sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Padahal kala itu, pemilu dilaksanakan di tengah keamanan yang kurang kondusif akibat kekacauan yang diakibatkan oleh pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.
Pemilu itu sekaligus menjadi ajang pembuktian Indonesia sebagai negara demokratis. Sanggup menggelar pemilu yang demokratsi menunjukkan di mata dunia bahwa Indonesia sudah matang sebagai bangsa. Jelas ini soal kebanggaan nasional.
Pertaruhan
Herbert Feith dalam The Indonesian Election of 1955 menyebut pemilu itu digelar tanpa pengalaman berdemokrasi sebelumnya. Bahkan PPI yang merupakan penyelenggaran hajatan itu berisi orang-orang dari banyak partai.
Cendekiawan asal negeri kanguru itu tahu betul tentang Pemilu 1955 karena ia memang dipekerjakan Kementerian Informasi Indonesia 1951 hingga 1953 dan tahun 1954 sampai 1956. Dalam suasana pemilu itulah ia berkeliling Indonesia dari Jawa hingga Sumatra.
Ia juga menceritakan pada pelaksanaannya petugas partai di masing-masing TPS itu ternyata banyak yang buta huruf, meskipun tetap disiapkan dua orang yang bisa membaca di masing-masing TPS.
“Indonesia berani mempertaruhkan proses Pemilu pada tingkat kecerdasan penduduk desa yang buta huruf, dan… pertaruhan itu terbayar tunai,” kata Irene Tinker dan Mil Walker, peneliti pemilu di Indonesia dan India seperti dikutip oleh Feith.
Pujian peneliti itu tentu bukan isapan jempol. Ratusan tahun terbelenggu oleh sistem feodal yang dilanggengkan Pemerintah Hindia Belanda, Pemilu 1955 itu ibarat keajaiban bagi rakyat awam.
Juga lumrah jika kemudian terjadi fenomena salah coblos partai lambang atau gambar partai. Maklum, partai-partai kecil sengaja membuat lambang yang dimiripkan dengan partai besar untuk menggaet suara.
Kisah paling terkenal adalah cerita salah satu kandidat di Jawa Timur bernama Koesadi Palus Maria. Meski tak terlalu dikenal, ia sukses mendulang suara hingga 64.522 gara-gara lambangnya di surat suara yakni palu-kapak mirip lambang palu-arit milik PKI.
Cerita seperti yang dialami Koesadi juga terjadi pada Partai Rakyat Indonesia Merdeka di Jawa Barat. Perolehan suara partai itu menggelembung gara-gara gambar banteng yang menjadi lambangnya mirip dengan lambang PNI.
Kegembiraan
Dalam kenangan Ayoy Wikarlan, wartawan sekaligus pemilih di masa itu, Pemilu 1955 identik dengan kegembiraan. Ia ingat betul bagaimana gembira dan euforianya masyarakat kampungnya di Garut, Jawa Barat ketika Indonesia menggelar pemilu perdana itu.
Ia juga masih mengenang bagaimana dua kampung yang masing-masing menjadi basis Masyumi dan PKI tetap akur meski beda pilihan politik. Layaknya hajatan massal, pada Pemilu 1955 semua orang antusias terlibat. “Meriah dulu mah, mungkin suasananya kaya 17-an gitu kalau sekarang,” kata Ayoy seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Ia juga masih ingat kala itu beberapa partai juga menerbitkan koran masing-masing sebagai media memberitakan perkembangan dan media propagandanya masing-masing. “Jaman dulu mah juga udah ada hoaks, tapi istilahnya bukan itu. Fitnah mungkin ya? Polanya mah sama aja ya kalau saya perhatikan setiap pemilu,” kata Ayoy.
Di Kota Bandung, banyak pemilih yang dongkol dan kesal saat melakukan pemungutan suara. Hingga sore hari sekitar pukul 18.00 WIB, masih banyak pemilih yang belum menggunakan hak suaranya.
Berdasarkan pantauan wartawan Pikiran Rakjat saat Pemilu berlangsung hujan lebat mengguyur Kota Bandung.
Tidak diketahui apakah faktor alam ini mempengaruhi lambannya pemungutan suara berlangsung. Lebih parahnya lagi, pemungutan suara bahkan baru selesai hingga pukul 21.00 WIB.
Bukan Obat Mujarab
Ya, dengan 1001 permasalahannya, Pemilu 1955 pada akhirnya berlangsung lancar dan aman. Itu patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali itu berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu itu bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.
Belakangan, meski Pemilu 1955 dan hasilnya itu tak memuaskan berbagai kelompok dan golongan serta gagal menciptakan stabilitas politik, Herbeth Feith keadaan itu sebagai kewajaran belaka.
Ia menyebut Pemilu 1955 itu bukanlah ‘obat mujarab’ bagi sistem politik Indonesia yang kala itu sedang gonjang-ganjing.
“Dinamika politik Indonesia tak berubah gara-gara Pemilu. Namun demikian parlemen yang terpilih secara demokratis seperti itu adalah langkah awal bagi evolusi bangsa yang demokratis, sekaligus merepresentasikan capaian penting,” tulis Feith dalam bukunya itu.
Dinamika politik juga tak berubah drastis ketika akhirnya konstituante hasil Pemilu 1955 itu dibubarkan Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sementara Indonesia kembali kepada UUD 1945, pada tahun 1960 Sukarno juga membubarkan DPR setelah mereka menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah.[TGU]