Paradoks Messi

Lionel Messi sebagai kapten Argentina dan Barcelona [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Bersikap jujur dan adil atau sportivitas adalah kunci dalam pertandingan olahraga. Terutama untuk olahraga yang beradu fisik. Sepak bola, misalnya, selain sportif, pemain juga dituntut bermental “baja” agar mampu menghadapi berbagai tekanan sehingga tak mengganggu pemain ketika sedang berlaga di lapangan hijau.

Barangkali itulah yang dimiliki tim nasional Argentina, terutama Lionel Messi dalam perhelatan Piala Dunia 2018. Tekanan terhadap Messi menarik untuk disoroti karena performanya yang buruk di awal penyisihan Grup D Piala Dunia. Ia menjadi sasaran kritik dan kemarahan masyarakat dan pendukung timnas Argentina. Legenda sepak bola negeri itu, Diego Armando Maradona membela Messi. Yang patut disalahkan, demikian Maradona, adalah organisasi sepak bola Argentina.

Di samping performa buruk, “tekanan” terhadap timnas Argentina sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum babak penyisihan grup dimulai. Itu terkait dengan rencana laga pemanasan antara Argentina dengan Israel yang sedianya digelar di Yerusalem. Palestina bersama negara-negara yang tergabung di Liga Arab memprotes rencana laga persahabatan itu. Mereka “menekan” timnas Argentina untuk membatalkan rencana pertandingan itu.

Lagi-lagi yang menjadi sasaran kritik adalah Messi. Sebagai kapten tim sekaligus bintang Argentina, Messi disebut memiliki ribuan penggemar di Arab. Karena kritik dan tekanan itu, Messi mewakili timnas Argentina menolak laga persahabatan dengan Israel. Alasan Messi, di samping lokasi pertandingannya diadakan di Yerusalem, juga karena timnas Argentina lebih mengutamakan kemanusiaan ketimbang laga persahabatan ini.

Sebagai seorang duta Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), demikian Messi, ia tak bisa bermain melawan orang yang membantai anak-anak Palestina yang tak bersalah. Itu sebabnya pertandingan persahabatan itu harus dibatalkan karena tim Argentina lebih mengutamakan kemanusiaan ketimbang menjadi pesepak bola.

Jadwal pertandingan persahabatan antara Israel dan Argentina sudah dirancang jauh hari dan sedianya akan digelar di Tel Aviv. Lokasi laga kemudian berubah seiring Presiden Donald Trump menyatakan Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. AS lantas memindahkan kedutaannya ke Yerusalem dan peristiwa itu pula yang memicu protes luas dari rakyat Palestina.

Perubahan tempat laga persahabatan antara Argentina dan Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem berdasarkan sebuah tulisan I would have preferred to play in Barcelona’ not in Israel, says Argentina coach, diduga sebagai alat untuk melegitimasi penjajahan Israel terhadap Palestina. Jika Argentina menerima laga persahabatan itu, maka la albiceleste dinilai tidak berperikemanusiaan dan tidak sensitif terhadap rakyat Palestina.

Sebelum pernyataan Messi itu, Argentina merupakan salah satu negara yang ikut mengecam keputusan Trump. Dan kemungkinan sikap Argentina itu menjadi pertanda hubungan kedua negara di masa mendatang akan berubah. Jadwal pertandingan laga persahabatan tersebut juga hanya berselang beberapa bulan setelah pasukan Israel menewaskan setidaknya 123 orang rakyat Palestina dan puluhan ribu terluka sejak protes besar dilakukan 30 Maret 2018.

Sikap politik tegas tim nasional Argentina itu juga pernah terjadi pada 2014. Ketika itu, tim tango menggelar laga persahabatan dengan Slovenia di Stadion La Plata, sebelah utara Buenos Aires. Messi dan kawan-kawan membentangkan spanduk bernuansa politik yang berbunyi Las Malvinas Son Argentinas atau penduduk Malvinas adalah rakyat Argentina.

Kepulauan di Samudra Atlantik Selatan itu diperintah Inggris sejak 1833. Selanjutnya, Argentina mengklaim pulau itu masuk dalam teritorinya sehingga mencoba merebutnya pada 1982. Sempat terjadi perang singkat antara Argentina dan Inggris. Argentina kalah sehingga kepulauan itu hingga hari ini masih di bawah kekuasaan Inggris. Itu sebabnya, penduduk Malvinas masih mengibarkan bendera Inggris di kepulauan itu.

Melawan Imperialisme
Tentu saja menarik melihat sikap Messi itu. Dari 2 fakta tersebut, sikapnya jelas berpihak kepada kemanusiaan. Dengan kata lain, ia menentang penjajahan. Apalagi eksistensi negara Zionis dan Inggris di Malvinas semata-mata karena topangan kepala imperialisme yakni Amerika Serikat. Ketika Messi menolak pertandingan persahabatan dengan Israel di Yerusalem atas nama kemanusiaan, maka ia sesungguhnya menentang imperialisme AS.

Sikap Messi itu sesungguhnya menggambarkan sikap ribuan rakyat Argentina yang menolak kucuran pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga keuangan internasional yang berada di bawah kendali imperialisme AS. Ribuan orang yang memulai demonstrasinya sejak Mei lalu dan puncaknya ketika puluhan ribu massa berkumpul di Plaza de Mayo, Buenos Aires, Ibu Kota Argentina pada awal Juni lalu. Massa marah karena pemerintah memotong anggaran publik senilai US$ 780 juta. Juga karena harga-harga kebutuhan masyarakat naik secara tajam.

Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, pemerintahan sayap kanan Argentina di bawah Presiden Mauricio Macri bersedia menerima pinjaman dari IMF senilai US$ 50 miliar. Dalam tahap pertama, IMF akan mengucurkan US$ 15 miliar yang akan digunakan untuk menutupi defisit anggaran negara Argentina. Inilah yang ditolak ribuan rakyat yang berkumpul di Plaza de Mayo itu. Di spanduk mereka jelas tertulis “Bread and Work” and “Out with the IMF.”

Sikap kemanusiaan Messi dan ribuan rakyat Argentina itu memang patut dihargai dan dihormati. Messi akan tetapi agaknya memiliki sikap paradoks terhadap tragedi kemanusiaan. Tragedi kemanusiaan seperti pemecatan secara sepihak terhadap 1.300 buruh PT Panarub Dwikarya, Messi sama sekali tidak pernah bersuara. Padahal, perusahaan ini yang memproduksi sepatu merek Adidas dan Mizuno. Diketahui Messi telah mendapatkan kontrak senilai sekitar Rp 45,1 miliar dari Adidas akhir 2017.

Pemecatan secara sepihak itu berawal dari sekitar 6 tahun yang lalu. Ketika itu, para buruh mendirikan serikat buruh independen dan melakukan pemogokan pada Februari 2012 lantaran kondisi kerja yang buruk dan menuntut pelaksanaan upah sektoral. Aksi buruh itu justru direspons pemecatan sepihak kepada 1.300 buruh oleh perusahaan. Selanjutnya, PT Panarub Dwikarya juga memasukkan nama-nama pengunjuk rasa itu dalam “daftar hitam” sehingga mereka tidak bisa melamar kerja ke perusahaan-perusahaan lain di Tangerang.

Atas persoalan ini, Messi yang lebih mengutamakan kemanusiaan ketimbang profesinya itu entah mengapa tidak mau bersuara. Jika ia mengaku sebagai duta UNICEF, pernahkah Messi memikirkan penderitaan anak-anak dan keluarga ribuan buruh yang dipecat secara sepihak oleh PT Panarub Dwikarya itu? Di samping soal kemanusiaan, sikap paradoks Messi juga tampak ketika sedang menggocek bola di lapangan.

Ketika sedang mengenakan kostum klubnya, Messi acap memboyong trofi ke Barcelona. Setidaknya sepanjang kariernya di sana, Messi mencetak 8 rekor di antaranya menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang masa dengan 349 gol; menjadi pencetak gol terbanyak dalam sejarah El Clasico (23 gol di semua kompetisi); pengoleksi terbanyak penghargaan Ballon d’Or (5 kali); dan menjadi pemain dengan rekor gol beruntun terpanjang dalam sejarah La Liga (21 kali).

Sementara bersama Argentina, prestasi Messi bisa dibilang minim. Bahkan ia diragukan bisa menjadi seorang legenda. Betul, ia telah menjadi legenda bersama Barcelona. Tapi, untuk Argentina, ia setidaknya harus menyamai prestasi Maradona yang mampu membawa trofi Piala Dunia pada 1986. Atas semua kritik dan hujatan itu, Messi tak peduli. Ia memilih untuk percaya atas kemampuannya ketimbang mendengarkan cibiran orang.

Karena sikap paradoksnya itu, maka kita perlu serukan Don’t Cry for Me Argentina kepada Messi. Agar ia tahu lagu tersebut sesungguhnya bercerita tentang kisah tragis anak manusia seperti yang dihadapi rakyat Argentina, rakyat Palestina dan perlawanan ribuan buruh yang dipecat itu. Dan kita tentu saja tidak ingin karier Messi berakhir dengan tragis. [Kristian Ginting]